Menu Close
Pengukuran kotak ekskavasi arkeologi Gua Makpan, Alor. Author provided.

Kisah orang pertama Alor beradaptasi dengan perubahan iklim 43 ribu tahun lalu

Keunggulan evolusi manusia terletak pada kemampuan beradaptasi dan berinovasi. Ketika pertama kali mencapai garis pantai yang luas di wilayah Asia Tenggara sebelum 65 ribu tahun yang lalu, manusia dihadapkan pada perjalanan laut untuk bermigrasi ke area timur di Kepulauan Wallacea (migrasi Homo sapiens keluar dari Afrika ke Australia). Dalam perjalanan inilah, manusia berinovasi dan beradaptasi ke level yang lebih tinggi dari sebelumnya.

Studi kami menunjukkan bukti baru bahwa manusia mencapai dan menetap di pulau Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT) sekitar 43 ribu tahun yang lalu.

Alor adalah pulau kecil yang terletak di antara dua pulau besar Flores dan Timor—jalur selatan migrasi manusia prasejarah antara Asia Tenggara daratan dan Australia.

Jejak hunian pada masa itu menunjukkan bahwa begitu manusia mulai berpindah dari pulau ke pulau, mereka berdiaspora dan beradaptasi dengan cepat di lokasi hunian baru, terutama dalam hal memperoleh bahan makanan.

Jejak kehidupan di gua Makpan

Penelitian kami adalah proyek kolaboratif yang melibatkan arkeolog Australia dan Indonesia. Kami melakukan ekskavasi atau pemeriksaan arkeologis gua Makpan di pantai barat daya Alor pada pertengahan 2016.

Tim ekskavasi gua Makpan, Alor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Author provided.

Kami mengidentifikasi kehadiran manusia di gua Makpan melalui penemuan berbagai alat yang terbuat dari batu, kerang, dan karang. Ada juga sisa-sisa tulang hewan, kerang laut, kepiting, dan bulu babi/landak laut. Semuanya merupakan tinggalan sampah makanan manusia prasejarah.

Waktu penghunian manusia di Makpan kami tentukan melalui penanggalan radiokarbon dari arang dan kerang laut hasil ekskavasi. Kehadiran kedua temuan ini adalah bukti langsung dari aktivitas manusia, sehingga hasil penanggalan mereka dapat langsung dihubungkan dengan kapan orang tinggal di Makpan.

Tanggal Makpan yang kami dapatkan ini memperluas catatan pendudukan manusia di Pulau Alor dua kali lipat dari penggalian sebelumnya di situs Tron Bon Lei, Alor, pada tahun 2014. Hasil ekskavasi sebelumnya mendapatkan tanggal kira-kira 21 ribu tahun yang lalu.

Lapisan budaya di gua Makpan ditemukan hingga kedalaman 3.4 meter yang berasosiasi dengan umur hunian 43ribu tahun yang lalu. Author provided.

Temuan ini menunjukkan bahwa Alor dihuni pada waktu yang sama dengan Flores di barat dan Timor di timur. Ini mengonfirmasi posisi Alor sebagai ‘batu loncatan’ perjalanan manusia antara kedua pulau besar ini.

Tingkat paling dasar dari lapisan hunian di Makpan menemukan bukti pendudukan manusia (misalnya alat batu dan sisa makanan) menunjukkan bahwa orang-orang, ketika pertama kali tiba di Makpan, datang dalam jumlah sedikit.

Selama 43 ribu tahun pendudukan manusia, Makpan menyaksikan serangkaian peningkatan dan penurunan permukaan laut yang besar. Ini disebabkan oleh perubahan iklim ekstrem Zaman Es terakhir. Perubahan lingkungan ini membuat para penghuni gua Makpan mengalami beberapa kali fase adaptasi terhadap perubahan lingkungan.

1. Fase hunian awal

Pada periode 43 ribu hingga 14 ribu tahun yang lalu, ketika permukaan air laut lebih rendah, penghuni Makpan lebih banyak bersandar pada sumber daya pesisir dan darat karena lebih mudah didapat.

Pada masa Plestosen (zaman es), permukaan laut lebih rendah sehingga Pulau Alor masih menyatu dengan Pulau Pantar di barat. Ini menciptakan mega-pulau yang hampir dua kali lipat ukurannya.

Kondisi tersebut meniadakan Selat Pantar di antara Pantar dan Alor. Selat Pantar menjadi tempat berlalunya arus laut kuat yang menghubungkan laut Flores dan Savu. Lokasi Selat Pantar saat itu hanya berupa teluk besar yang terlindungi.

Penurunan muka air laut saat puncak zaman es terakhir juga menciptakan jarak dari situs Makpan ke pantai.

Saat jarak gua lebih dekat dengan pantai, komunitas awal hidup dengan mengkonsumsi kerang, teritip, dan bulu babi. Invertebrata di pesisir ini umumnya hewan yang bergerak lambat atau tidak bergerak. Hewan-hewan tersebut menjadi sumber makanan yang mudah dikumpulkan oleh orang-orang yang belum terbiasa dengan lingkungan baru.

Selain itu, komunitas pesisir awal di sebagian besar wilayah Wallacea dan Asia Tenggara kemungkinan besar memiliki pengalaman dalam mengumpulkan dan mengkonsumsi sumber daya ini.

Rekonstruksi Paleogeografi di bagian barat Pulau Alor dan Selat Pantar. Author provided.

Sementara, ketika jarak antara gua dan pantai melebar, para penghuni gua terpicu untuk menambah variasi makanan: dari sebelumnya mengandalkan sumber daya laut, menjadi mengonsumsi buah-buahan dan sayuran di daratan. Bahkan, analisis isotop gigi manusia dari Makpan menunjukkan bahwa mereka mungkin lebih banyak mengkonsumsi tikus besar—satu-satunya fauna daratan berukuran besar yang menghuni pulau saat itu.

2. Fase transisi Plestosen hingga awal Holosen

Ketika es mulai mencair sejak 14 ribu tahun lalu (masa transisi dari Plestosen hingga awal masa Holosen), seiring dengan naiknya muka air laut dan kestabilan iklim, eksploitasi sumber daya laut (baik pesisir maupun di bawah laut) meningkat signifikan.

Penduduk Alor pada masa itu mencari makan di wilayah teluk yang terlindung arus laut, garis pantai berbatu, terumbu karang, dan perairan lebih dalam di lepas pantai selatan Alor.

Akses yang meningkat ke berbagai sumber protein laut ditunjukkan oleh berbagai sisa makanan laut yang membentuk situs lapisan tengah yang padat antara 12 ribu-11 ribu tahun yang lalu. Situs ini menunjukkan bukti signifikan aktivitas penangkapan ikan pada periode ini. Sebab, situs ini berisi bukan hanya tulang dari berbagai spesies ikan dan hiu, tetapi juga berbagai bentuk dan ukuran artefak kail berbahan kerang.

Situs ini juga memuat artefak lain seperti pemberat dan alat pengasah dari karang untuk membuat kail. Kail-kail tersebut terbuat dari spesies kerang yang sangat berkilauan—mungkin untuk menarik perhatian ikan. Meskipun tidak ditemukan bahan organik karena usianya terlalu tua, keberagaman jenis kail ikan yang kami temukan menunjukkan kemampuan penghuni gua menangkap ikan di perairan dangkal dan dalam.

Teknologi penangkapan ikan menggunakan kerang laut dan karang (di sebelah kiri) serta ornamentasi (di sebelah kanan) dari Makpan. (A) kail putar (B) kail tikam (C) kail tikam kecil (D) umpan buatan (E) kail tikam besar (F) batu pemberat yang berlubang (G) alat karang (H) manik-manik cakram berlubang tunggal dan manik-manik oval berlubang dua yang terbuat dari spesies kerang Nautilus pompilius. Author provided.

3. Fase akhir hunian

Naiknya permukaan laut pada awal pertengahan Holosen turut membanjiri teluk sehingga Selat Pantar kembali terbuka. Akibatnya, sumber makanan dari teluk menghilang dari pola makan Makpan. Bersamaan dengan hal tersebut, ketergantungan pada makanan darat meningkat. Ini menyiratkan bahwa kegiatan melaut tidak seintensif periode hunian sebelumnya.

Pada periode ini juga terjadi penurunan intensitas okupasi. Puncaknya adalah sekitar 7 ribu tahun silam ketika manusia meninggalkan Makpan. Alasannya memang belum diketahui hingga saat ini. Namun, salah satu kemungkinannya adalah kenaikan permukaan laut yang membuat daerah lain di sekitar Alor menjadi lokasi pemukiman yang lebih menarik sehingga mendorong orang untuk pindah.

Gua Makpan baru dihuni kembali pada periode Neolitikum atau zaman batu muda (~3500 tahun yang lalu), kemungkinan karena stabilisasi permukaan laut pada masa Holosen akhir serta perubahan teknologi dan strategi penghidupan. Ini terbukti dengan munculnya tembikar dan hewan ternak dalam lapisan-lapisan di gua Makpan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now