Menu Close

“Kita tidak bisa diam!”: meski ditekan, akademisi dukung gerakan mahasiswa

Dosen semestinya menjadi pejuang kepentingan publik dan mendorong mahasiswanya untuk berkembang secara politik, kata akademisi. Luthfi Dzulfikar/The Conversation

Di tengah imbauan dari universitas dan ancaman dari seorang menteri, ribuan mahasiswa tetap turun ke jalan untuk memprotes berbagai undang-undang kontroversial yang mengancam demokrasi Indonesia.

Beberapa dosen juga memutuskan untuk mendukung mahasiswanya dalam demonstrasi yang melanda berbagai kota di Indonesia, meskipun Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Ristekdikti) menekan kampus untuk mencegah mahasiswa berdemonstrasi.

Hal tersebut menunjukkan gejolak dinamika politik dalam berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia.

Kementerian Ristekdikti kemarin mengancam akan menerapkan sanksi kepada rektor dan universitas yang “menggerakkan aksi mahasiswa” atau bahkan terlibat dalam demonstrasi.

Walaupun beberapa universitas memilih mengambil jarak dari gerakan mahasiswa dan mengimbau mahasiswa untuk tidak terlibat dalam demonstrasi, beberapa universitas lain mempersilakan mahasiswanya menyuarakan keresahan tentang kondisi sosial dan politik Indonesia saat ini.

Peran penting akademisi

Mahasiswa mulai turun ke jalan minggu lalu setelah pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang dianggap melemahkan lembaga anti-rasuah tersebut.

Berbagai media dan akun sosial media juga telah melaporkan dugaan kekerasan dari kepolisian dalam menangani gelombang demonstrasi mahasiswa. Setidaknya dua mahasiswa dari Universitas Halu Oleo di Sulawesi Tenggara dikabarkan tewas.

Ratusan akademisi di seluruh Indonesia juga telah menyuarakan keresahan mereka terkait revisi UU KPK.

Kunto Adi Wibowo, seorang dosen ilmu komunikasi di Universitas Padjadjaran adalah satu di antara 163 akademisi dari universitas tersebut yang menandatangani petisi yang menolak revisi UU KPK.

“Ketika terjadi gejala penyelewengan politik atau ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi sosial politik dalam sebuah komunitas atau negara, maka kaum akademisi menurut saya wajib hukumnya untuk kemudian membuat apa yang dia pelajari menjadi relevan bagi masyarakat,” katanya.

Rizqy Amelia Zein, seorang dosen psikologi sosial di Universitas Airlangga, mengatakan bahwa tokoh-tokoh di universitas memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam diskusi ruang publik.

“Pada dasarnya, kami yang dibayai pajaknya masyarakat, kalau urusan ruang publik kita tidak bisa diam, kita harus bicara. Apalagi kalau konteksnya misalnya urusannya dengan good governance, ini urusannya masyarakat. Urusannya orang banyak,” katanya.


Read more: Catatan aktivis '98 untuk demo mahasiswa 2019: lanjutkan perjuangan!


Menyalurkan dukungan lewat berbagai cara

Kunto berargumen bahwa keterlibatan akademisi dalam demonstrasi mahasiswa dan krisis politik bisa dalam berbagai bentuk.

“Jadi dosen punya andil lebih, pertama memberikan amunisi argumentasi [kepada mahasiswa]. Bisa juga dengan menulis, atau bikin analisis, atau bahkan membuat dukungan kepada mahasiswa di sosial media”, ujarnya.

Anisa Sri, Ketua BEM Fakultas Psikologi di Universitas Indonesia, mengatakan bahwa mahasiswa selalu menanti suara dari dosen dalam kondisi politik yang kacau, serta mengajak mereka untuk lebih terlibat.

“Mahasiswa punya kelebihan energi dan kepekaan, tapi kita masih punya kekurangan dalam hal pengetahuan dan juga kompetensi dalam membuat kajian yang lebih komprehensif”, katanya.

Amelia menambahkan, bahwa keterlibatan langsung dari dosen dapat menambah semangat juang mahasiswa ketika menyuarakan keresahan mereka tentang keadaan negara dan masyarakat.

“Misalnya dosen ikut langsung terjun demo, meskipun hanya sebentar, tapi setidaknya mereka [mahasiswa] tahu dosennya juga join the protest dan ini isu yang dosen bahkan meluangkan waktu bersama mahasiswa”, katanya.

“Kalau tidak pun, memberikan public support berupa petisi misalnya, atau di ruang kelas, setidaknya bikin mahaiswa sadar bahwa it’s good that you study hard, but it’s also good that you hear about the people.”

Amelia adalah satu di antara banyak dosen yang berpartisipasi dalam gerakan mahasiswa di Surabaya pada hari Kamis lalu.

Amelia dan rekan-rekan dosen lain turun ke jalan bersama dengan mahasiswa. Amelia Zein

Mega Nur, seorang mahasiswa di Universitas Gadjah Mada yang berbicara dalam gerakan mahasiswa di Yogyakarta juga mengatakan bahwa beberapa dosen tergabung dalam massa aksi.

“Ada dosen yang hanya hadir sebagai massa aksi, tapi juga ada dosen yang berorasi di depan,” katanya.

Mengakomodasi hak mahasiswa

Untuk memberikan ruang kepada mahasiswa untuk terlibat demonstrasi yang terjadi di seluruh Indonesia, beberapa dosen di berbagai universitas memutuskan untuk meliburkan kelasnya.

Beberapa lainnya juga memberikan nilai lebih bagi mahasiswa yang meliput demonstrasi melalui foto dan video.

Kunto mengatakan bahwa mahasiswanya dapat mengirimkan email kepadanya untuk diizinkan tidak mengikuti kelas dan turun ke jalan. Namun, ia tetap memastikan dia mengakomodasi mereka yang ingin tetap masuk kelas.

“Kalau saya sendiri, kenapa saya mendukung demonstrasi mahasiswa, yang pertama saya adalah seorang pendidik, saya mengajari mereka untuk kritis. Dan ketika mereka menjadi kritis, adalah tidak etis ketika saya melarang mereka,” katanya.

“Tapi saya tidak akan meliburkan karena ada hak-hak mahasiswa lain yang tidak ikut demo dengan berbagai alasan. Dan saya harus menghormati hak mereka. Tapi sebisa mungkin saya tidak membuat diskriminasi antara mereka yang ikut demo dengan mereka yang tidak.”

Amelia memilih cara lain yaitu memindahkan kelasnya ke lain hari sebagai jalan tengah mengakomodasi keinginan dari setiap mahasiswa.

“Saya bersyukur, posisi saya di psikologi mahasiswanya jarang-jarang mau ikut demo, mereka ngerti isu di luar aja udah bagus banget,” katanya.

“Saya mengapresiasi dengan cara kuliahnya dipindah hari lain, sehingga mahasiswa yang mau demo tetap bisa ikut demo tapi kalau tidak mau ikut demo juga tidak masalah,” ujarnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now