Menu Close

Krisis kemanusiaan Myanmar: alasan mengapa mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN tidak efektif

Sekretaris Jenderal ASEAN Kao Kim Hourn. Fikri Yusuf/Antara Foto

Komitmen ASEAN dalam upaya penyelesaian krisis kemanusiaan di Myanmar kembali dipertanyakan usai retreat Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-43 di Jakarta, 4 September lalu.

Pasalnya, dalam pertemuan yang ditujukan untuk meninjau ulang implementasi Lima Poin Kesepakatan (Five-Point Consensus/5PC) itu, ASEAN memutuskan akan tetap mempertahankan 5PC sebagai referensi utama dalam mengatasi krisis di Myanmar.

5PC merupakan hasil kesepakatan para pemimpin ASEAN mengenai situasi di Myanmar. Lima poin yang dimaksud adalah (1) penghentian aksi kekerasan, (2) penyelenggaraan dialog konstruktif antara semua pihak terkait untuk mencari solusi damai, (3) pembentukan utusan khusus ASEAN untuk memfasilitasi proses dialog dan mediasi, (4) pengiriman bantuan kemanusiaan, dan (5) kunjungan utusan khusus ke Myanmar.

Namun, dua tahun setelah 5PC mulai diimplementasikan, serangan bersenjata dan persekusi oleh junta militer Myanmar terhadap etnis Rohingya justru menunjukkan eskalasi.

Padahal, komunitas internasional telah berharap penuh pada ASEAN sebagai pihak utama yang bisa merumuskan solusi atas segala krisis yang terjadi di kawasan. PBB juga secara terang-terangan mendorong tindakan aktif ASEAN dalam menemukan solusi damai di Myanmar.

Selama ASEAN hanya sebatas mengedepankan negosiasi melalui cara-cara damai–yang terbukti tidak efektif dalam menangani krisis yang ada–tampaknya sulit untuk mengharapkan ada perkembangan berarti dalam resolusi konflik.

Mengapa ASEAN, sebagai organisasi regional justru tidak dapat berbuat banyak dalam mengatasi krisis di Myanmar?

Nihilnya mekanisme regional penyelesaian konflik

Ketidakefektifan resolusi konflik di Myanmar yang dirumuskan ASEAN dilatarbelakangi oleh aturan dan mekanisme penyelesaian sengketa yang tidak memadai. Sebagai contoh, ASEAN tidak memiliki mekanisme regional yang secara khusus mengatur krisis pengungsi Rohingya.

Di sisi lain, mayoritas negara anggota ASEAN juga bukan negara pihak dari Konvensi Pengungsi 1951 yang mengatur tentang status dan hak-hak pengungsi, sehingga respons yang dihasilkan terhadap masalah pengungsi Myanmar pun tidak seragam.

Sebelumnya, dugaan pelanggaran HAM di Myanmar telah diajukan ke Mahkamah Internasional (ICJ) berdasarkan Konvensi Genosida 1948. Pemohon kasus ini adalah Gambia, bukan negara anggota ASEAN. Hal ini semakin menunjukkan bahwa ASEAN belum sepenuhnya mengambil langkah serius terhadap konflik di Myanmar.

Absennya mekanisme penyelesaian konflik di kawasan ini jugalah yang memicu berlarutnya sengketa Laut Cina Selatan, misalnya, karena isu ini pada akhirnya justru direspons secara individu oleh masing-masing negara ASEAN yang terlibat melalui Pengadilan Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration).

Terlalu fokus pada ‘negosiasi yang bersahabat’

Dalam kerangka ASEAN, terdapat dua instrumen kunci yang berperan penting dalam menangani ancaman terhadap perdamaian di kawasan, yaitu Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia 1976 (TAC) dan Rules of Procedure of the High Council sebagai instrumen teknisnya.

Pada awal perumusan TAC, mayoritas negara anggota ASEAN sudah menunjukkan kecenderungan menghindari penyelesaian sengketa di kawasan melalui jalur yudisial. Hal ini terlihat dari usulan untuk membentuk pengadilan di tingkat regional pada akhirnya tidak disetujui. Akibatnya, prosedur hukum berupa arbitrase pihak ketiga atau ajudikasi oleh suatu pengadilan di tingkat regional Asia Tenggara tidak diatur secara eksplisit di dalam TAC.

Secara khusus, TAC mendorong penerapan prinsip-prinsip universal tentang hidup berdampingan secara damai dan kerja sama yang bersahabat di antara negara-negara Asia Tenggara. Pasal 13 TAC mewajibkan negara-negara anggota untuk menahan diri dari penggunaan ancaman atau kekuatan dan mendorong agar penyelesaian sengketa dilakukan di antara negara-negara yang berselisih melalui negosiasi yang bersahabat.

Maka, tidak heran ketika terjadi perselisihan yang mengancam perdamaian dan keharmonisan regional, negara anggota tetap mengutamakan negosiasi dan itikad baik (good faith). Apabila suatu kesepakatan tidak tercapai melalui negosiasi, Dewan Tinggi (High Council) ASEAN akan merekomendasikan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui jasa baik (good offices), mediasi (mediation), pencari fakta (inquiry) atau konsiliasi (conciliation).

Keempat cara tersebut merupakan bagian dari prinsip ASEAN Way (prinsip dan norma yang menjadi panduan interaksi antara negara-negara anggota ASEAN), yang pada dasarnya adalah cara-cara nonyudisial melalui negosiasi politik untuk menghasilkan suatu konsensus mengenai penyelesaian suatu sengketa.

Akan tetapi, jika konsensus masih juga tidak dapat tercapai, maka penyelesaian sengketa akan kembali diserahkan kepada KTT ASEAN untuk dibahas bersama seluruh anggotanya–yang biasanya berujung pada retorika diplomatik belaka dari masing-masing negara anggota.

Negara-negara anggota ASEAN juga cenderung menghindari penyelesaian sengketa antara para anggotanya melalui jalur yudisial, karena negara anggota cenderung tunduk pada perwujudan ASEAN Way.

Terhambat prinsip non-intervensi

Penyelesaian sengketa melalui cara damai juga merupakan bentuk dari penerapan prinsip non-intervensi ASEAN dalam menjalankan hubungan diplomasi antaranggota. Prinsip ini menekankan bahwa sesama anggota ASEAN tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh negara anggota lainnya.

Prinsip non-intervensi ini merupakan pedoman fundamental yang juga termasuk bagian dari doktrin ASEAN Way pada seluruh tatanan peraturan di ASEAN. Penerapan prinsip non-intervensi digunakan sebagai jaminan terhadap kedaulatan negara-negara anggota dalam hal mengurus permasalahan internal di negaranya.

Namun demikian, komitmen terhadap prinsip dan norma kedaulatan negara inilah yang justru kerap mengakibatkan terbatasnya pergerakan ASEAN dalam melakukan “intervensi” saat terjadi suatu krisis kemanusiaan di kawasan.

Padahal, prinsip non-intervensi juga seharusnya memiliki pengecualian.

Dalam tatanan hukum internasional, termasuk dalam Piagam PBB, prinsip non-intervensi juga biasa diterapkan dan menjadi norma dasar. Namun, Bab VII Piagam PBB memberikan pengecualian penerapan prinsip non-intervensi bagi langkah-langkah yang bertujuan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

Pada praktiknya, ada intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention) yang digunakan oleh Dewan Keamanan PBB dalam menangani berbagai krisis kemanusiaan yang terjadi pada beberapa negara, seperti di Rwanda dan Timor Timur. Ini dilakukan secara kolektif dengan tetap menghormati aturan hukum internasional yang berlaku.

Penggunaan intervensi kemanusiaan ini juga berkaitan dengan prinsip responsibility to protect (R2P) dalam norma hukum internasional, yang mewajibkan komunitas internasional untuk turut terlibat apabila suatu negara sudah tidak mampu melindungi penduduknya dari tindakan pelanggaran HAM.

Jika merujuk pada apa yang diterapkan oleh PBB, prinsip non-intervensi ASEAN tampaknya masih diinterpretasikan secara sempit, sehingga mengakibatkan tidak berjalannya fungsi ASEAN dalam menangani krisis kemanusiaan sebagai organisasi regional.

Penerapan prinsip non-intervensi ASEAN semestinya memiliki beberapa pengecualian dalam implementasinya. Dalam keadaan tertentu, ASEAN dimungkinkan untuk melakukan intervensi, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan kejahatan internasional (genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, perang dan kejahatan agresi) yang terjadi di kawasan.

Apa yang bisa dilakukan ASEAN ke depannya

ASEAN harus mengambil langkah-langkah konkret sebagai upaya menyelesaikan konflik di kawasan, dengan cara-cara berikut:

1. Melakukan revisi dan penyesuaian terhadap prinsip non-intervensi

ASEAN harus secara cermat mempertimbangkan kembali prinsip non-intervensi dan memperbarui ASEAN Charter untuk merinci kriteria yang lebih tepat mengenai “intervensi”. Ini akan memungkinkan ASEAN melakukan intervensi terhadap kasus pelanggaran HAM massal atau krisis kemanusiaan serius, terutama yang melibatkan tindakan represif oleh pemerintah terhadap warganya, tanpa melanggar kaidah dan norma diplomatik maupun hukum internasional.

2. Membentuk Pengadilan HAM regional

Penting untuk mendirikan sebuah pengadilan HAM yang berwenang mengadili kasus pelanggaran HAM dan krisis kemanusiaan di tingkat regional Asia Tenggara. Keberadaan badan ini akan meningkatkan penegakan hukum dan kepastian hukum di kawasan, membantu menyelesaikan sengketa antara negara anggota ASEAN dengan cara yang adil dan efektif, serta mendukung perlindungan HAM sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan sipil.

3. Tegas menjatuhkan sanksi terhadap junta Militer Myanmar

Negara-negara anggota ASEAN perlu mengambil tindakan serius dan tegas sebagai sanksi terhadap junta militer. Ini bisa dalam bentuk agresi ekonomi seperti yang telah diterapkan oleh Amerika Serikat dan beberapa negara di Eropa. Tindakan ini setidaknya akan melumpuhkan sumber ekonomi junta dan memaksa mereka untuk segera menghentikan tindakan represif terhadap kelompok Rohingya di Myanmar.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now