Menu Close

KTT Keagamaan G20 pertama akan dihadiri organisasi militan India Rashtriya Swayamsevak Sangh: langkah berani NU untuk wujudkan perdamaian global

Pengurus Besar Nahdlatul Ulama memberikan keterangan pers tentang agenda KTT Keagamaan G20 (Religion-20/R20). NU Online

Indonesia, negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, akan menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Keagaman (Religion-20/R20) menjelang konferensi G20 mendatang di Bali.

KTT R20, yang akan berlangsung pada 2-3 November 2022, adalah forum internasional keagamaan pertama yang masuk menjadi bagian dari penyelenggaraan G20 tahun ini. Organisasi Muslim terbesar di tanah air, Nahdlatul Ulama (NU), menjadi inisiator sekaligus panitia penyelenggara pertemuan tersebut.

R20 bertujuan untuk memantik diskusi antara para pemimpin agama global demi menemukan solusi bersama terkait masalah ekstremisme agama, dengan mempromosikan nilai-nilai kesetaraan bagi manusia. Melalui acara ini pula, Indonesia bermaksud menegaskan bahwa agama dapat berperan besar dalam memberi solusi bagi masalah ekonomi dan politik global.

Acara tersebut akan menghadirkan lebih dari 400 peserta, termasuk 160 tokoh antaragama dari 20 negara ekonomi terbesar di dunia.

Organisasi keagamaan yang diundang untuk hadir termasuk Gereja Katolik Roma (Roman Catholic Church) sebagai Gereja Kristen terbesar di dunia, Gereja Anglikan (the Anglican Church), Aliansi Injili Dunia (the World Evangelical Alliance) sebagai organisasi yang mewadahi umat gereja-gereja dan lembaga Injili di dunia, serta Liga Muslim Dunia (the World Muslim League).

Satu hal yang mengejutkan adalah bahwa Rashtriya Swayamsevak Sangh (RSS) – organisasi paramiliter nasionalis Hindu sayap kanan asal India – juga termasuk dalam daftar undangan yang telah mengkonfirmasi kehadirannya.

Sebagai pakar hubungan internasional yang fokus pada politik India, saya menilai bahwa keputusan NU untuk mengundang RSS adalah langkah berani. Kelompok tersebut terkenal atas peran dan keterlibatannya dalam konflik kekerasan antara umat Hindu dan Muslim di India.

Namun, terlepas dari kontroversi RSS, saya berpendapat bahwa NU tetap dapat memimpin diskusi yang produktif antara para pemimpin agama global di forum R20, selama kehadiran RSS dapat dimanfaatkan dengan baik secara diplomatis.

Merangkul RSS dapat mendorong kerukunan beragama

Di India, RSS telah menolak untuk mengakomodasi kepentingan kelompok minoritas, khususnya Muslim. Bersama dengan Partai Bharatiya Janata (BJP) yang berkuasa di India, RSS justru mendorong prinsip “Akhand Bharat”, sebuah visi geopolitik yang mendiskriminasi identitas Muslim dan menginjak-injak narasi sejarah Muslim India.

Berdasarkan latar belakang tersebut, banyak yang skeptis dengan kehadiran RSS di forum R20. Namun, dengan perspektif yang lebih optimis, kita dapat melihat bahwa pelibatan RSS sebenarnya dapat mendorong gerakan global komunitas agama untuk mewujudkan kerukunan antaragama.

Ada beberapa langkah yang perlu NU lakukan untuk memastikan kehadiran RSS menjadi momentum untuk mencapai tujuan tersebut.

Pertama, NU harus menyadari sepenuhnya bahwa tidak semudah itu bagi RSS untuk memoderasi pemikiran keagamaan dan politiknya. RSS juga masih berusaha meredam pemikiran ekstremisme yang eksis di dalam organisasinya.

Dengan demikian, NU harus lebih dulu mengangkat topik tentang moderasi agama dalam diskusi antara RSS dengan komunitas Hindu secara umum, sebelum masuk ke pembicaraan lebih lanjut antara RSS dengan komunitas Muslim.

Indonesia dapat berbagi kisah sukses dalam menjaga demokrasi dan kerukunan antarumat beragama. Selama ini, komunitas dan organisasi berbasis Islam – sebagai agama mayoritas – di tanah air cenderung dapat berkomitmen mempraktikkan dan menyebarkan Islam yang moderat.

Langkah pertama tersebut berpotensi berhasil. Meski perlahan, RSS sendiri mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa ia membuka diri untuk mengubah dan memoderasi posisi politiknya.

Terlepas dari dukungan RSS terhadap serangkaian kebijakan “Islamofobia” di India, misalnya, organisasi tersebut baru-baru ini terlihat makin intens mendekati komunitas Muslim India.

Kedua, NU harus mendekati kelompok-kelompok Muslim India yang memiliki pola pikir yang sejalan, yakni mau mempromosikan ide-ide Islam moderat. Di antaranya adalah tiga organisasi yang berbasis di Delhi, India – All India Imam Organization, the Center for Peace and Spirituality, dan All India Ulama & Mashaikh Board. Ada juga organisasi Markazu Saqafathi Sunniya yang berbasis di Kerala, India, dan diakui oleh Universitas Al-Azhar.

NU harus memahami bahwa masing-masing organisasi Muslim memiliki otoritas spiritual, pemahaman agama, dan posisi politik yang berbeda-beda. Artinya, NU harus berhati-hati dalam membangun relasi dengan komunitas Muslim India.

Sebaiknya NU tidak hanya merangkul ulama Muslim India, tetapi juga para intelektual Muslim India yang dikenal atas kontribusinya terhadap negara tersebut. Mereka termasuk mantan Menteri Luar Negeri India, Salman Khurshid; visiting fellow dari Observer Research Foundation, Rasheed Kidwai; dan sekretaris Forum for the Promotion of Moderate Thought in Islam, A. Faizur Rahman.

Pada acara R20 nanti, NU harus mengajak semua umat beragama untuk bersama-sama mengatasi dan memerangi kebencian berbasis agama.

Upaya untuk mewujudkan perdamaian dan membangun kepercayaan di antara komunitas yang berkonflik seharusnya hanya dilanjutkan atas dasar penghapusan diskriminasi, tidak hanya terhadap komunitas Muslim India, tetapi juga komunitas minoritas lain seluruhnya.

Dengan menerapkan pendekatan-pendekatan tersebut dalam forum R20, sangat mungkin bagi NU – bersama dengan RSS dan berbagai ormas keagamaan lainnya – untuk menginspirasi perubahan berarti yang akan berkontribusi membangun masyarakat yang lebih kohesif, terutama di daerah rawan konflik.

Tantangan berikutnya bagi India: menjadi tuan rumah G20

Sebagai negara ekonomi terbesar kelima dan salah satu negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, pemerintah India perlu mengubah pola pikir untuk dapat mengurangi meningkatnya potensi konflik antara komunitas Muslim dan Hindu.

NU, sebagai penyelenggara pertemuan KTT R20, dapat memfasilitasi dan menengahi terjalinnya hubungan baik antara RSS dan organisasi Muslim di India di masa depan. NU juga dapat membantu RSS menyusun kerangka kerja bersama dengan berbagai organisasi Muslim India dalam menyikapi berbagai isu, mulai dari sejarah permusuhan antara komunitas hingga ketidaksetaraan politik dan ekonomi.

Beberapa akademisi India telah menyerukan adanya kesepakatan baru yang dapat memperbaiki hubungan antara umat Muslim dan Hindu yang selama ini sarat konflik. Sebagai salah satu organisasi masyarakat sipil paling terkemuka di India, RSS bahkan merasa bertanggung jawab untuk merespons makin gencarnya ketegangan antarkelompok.

Ada dua alasan mengapa penting bagi RSS untuk memperbaiki hubungan dengan komunitas Muslim di India.

Pertama, India akan menjadi tuan rumah Presidensi G20 tahun 2023. Oleh karena itu, penting bagi India untuk menjaga stabilitas politik, sosial dan ekonomi agar agenda G20 dapat berjalan dengan lancar.

Kedua, India tengah berusaha meningkatkan perekonomiannya untuk mencapai target senilai US$ 5 triliun (Rp 77,9 kuadriliun) pada tahun 2028. Ini berarti pemerintah India harus punya pertumbuhan ekonomi yang konsisten setidaknya 9% per tahun selama lima tahun ke depan.

Untuk dapat mempertahankan angka tersebut, India perlu menjaga demokrasi multikultural dan kerukunan antarkomunitas guna memperkuat stabilitas politik dan ekonomi. Membangun kosepakatan baru antara umat Hindu dan Muslim menjadi salah satu langkah yang harus pemerintah India pertimbangkan untuk mencapai tujuan tersebut.

RSS sebaiknya bisa melihat forum R20 dan relasinya dengan organisasi keagamaan, termasuk NU, sebagai cara untuk menyembuhkan luka lama yang masih tersisa dari konflik komunal Pemisahan India-Pakistan tahun 1947.

Kekompakan dan rasa saling pengertian antara umat Hindu dan Muslim di India merupakan prasyarat bagi negara tersebut untuk menjadi kekuatan baru sekaligus kekuatan moral dalam politik global. Jika tidak, artinya India menyia-nyiakan kesempatan ini dan membuka peluang terjadinya konflik komunal berikutnya.


Muhammad Maulidan dari Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia (UII) ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now