Menu Close
Shutterstock

Kuliah dari rumah akibat COVID-19 banyak kendala: belajar dari keberhasilan Universitas Terbuka

Reportase ini merupakan bagian dari serial tulisan untuk memperingati Hari Pendidikan Nasional yang jatuh pada 2 Mei


Memasuki hampir dua bulan berlangsungnya pandemi COVID-19 di Indonesia, berbagai universitas telah memutuskan memfasilitasi kuliah dari rumah melalui pembelajaran daring.

Realita tersebut tampaknya belum akan berakhir dalam waktu dekat.

Provinsi Jawa Barat, misalnya, memperpanjang masa belajar dari rumah hingga 11 Mei. Kementerian Pendidikan (Kemendikbud) juga tengah mempersiapkan berbagai skenario apabila pembelajaran dari rumah harus berlanjut hingga akhir 2020.

Sayangnya, ketidaksiapan kampus serta kegagapan dosen dalam menggunakan teknologi daring menyebabkan proses belajar mengajar menjadi terhambat.

Banyak dosen pada akhirnya sekadar mengunggah materi dan memberikan tugas kepada mahasiswa tanpa ada interaksi maupun timbal balik.

Pemerintah tampaknya berusaha memberikan solusi ini dengan menawarkan pembelajaran lewat stasiun TVRI.

Sebenarnya ada langkah strategis lain yang bisa dilakukan pemerintah yaitu mengadopsi sistem pembelajaran Universitas Terbuka (UT), yang berpengalaman dalam menyediakan pendidikan jarak jauh kepada seluruh warga Indonesia sejak tahun 1984.


Read more: Tiga langkah strategis untuk dukung budaya pembelajaran daring pasca COVID-19


Selama pandemi COVID-19 ini, proses pembelajaran UT tetap berjalan normal.

“Pembelajaran daring relatif tidak banyak masalah. [Para tutor] yang biasa pembelajaran tatap muka pun juga beralih menuju pembelajaran daring, kemarin di berbagai daerah bagus sekali,” ungkap Daryono, Kepala Pusat Riset Inovasi Pendidikan Terbuka dan Jarak Jauh di UT.

Daryono membagi tiga strategi UT yang bisa menjadi contoh universitas lain di Indonesia untuk melaksanakan pembelajaran daring dengan lebih efektif:

1. Pembelajaran digital harus dipikirkan sejak awal

Tian Belawati, mantan rektor yang kini menjabat sebagai Ketua Dewan Guru Besar di UT, mengatakan memastikan sistem pembelajaran digital dari awal adalah kunci keberhasilan pembelajaran daring.

UT menerapkan perkuliahan yang hampir sepenuhnya berpusat pada sistem manajemen belajar daring (‘Learning Management System’, atau LMS) sejak tahun 2015.

“Jadi bahan ajar dan proses pembelajaran sudah dikembangkan secara sistematik, secara terencana, sehingga tidak tiba-tiba harus "hijrah” ke pembelajaran daring,“ kata Tian.

Cara UT terbilang sukses karena UT tidak hanya menyiapkan sistemnya tapi juga sumber daya manusianya.

Sayangnya, survey yang Tian lakukan pada 1.200 dosen dan mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia menemukan bahwa lebih dari 50% responden - terutama di universitas negeri - menyatakan belum pernah melakukan pembelajaran daring sebelumnya.

Hal tersebut terjadi karena sistem pembelajaran digital masih bersifat pilihan di beberapa universitas. Karena tidak memiliki kapasitas dan juga tidak diberi insentif oleh kampus, banyak dosen akhirnya tidak memanfaatkannya.

Jadi meskipun sebuah universitas sudah siap sistemnya, pembelajaran jarak jauhnya tidak akan maksimal jika tenaga pengajarnya tidak mendapat perhatian.

"Artinya, karena dosen-dosen ini harus gerak cepat, kelihatannya hanya memindahkan bahan perkuliahan menjadi PowerPoint dan sekadar di-upload saja,” ungkap Tian.

Oleh karena itu, Tian menganjurkan bahwa sebaiknya kampus mulai membekali staf pengajarnya untuk memahami sistem pembelajaran digital sebagai bagian kunci dari proses belajar mengajar.

Misalnya, sejak tahun 2018, IPB University telah mengirimkan 700 dosennya untuk mengikuti pelatihan pembelajaran jarak jauh di UT. Ketika COVID19 tiba, dosen-dosen tersebut sudah terbiasa memanfaatkan learning management system milik IPB.

2. Integrasi infrastruktur digital dengan proses administrasi akademik

Langkah lain yang bisa diterapkan oleh universitas di Indonesia adalah mengintegrasikan layanan LMS dengan sistem administrasi akademik mereka.

Tian menyarankan bahwa proses akademik sebaiknya mengalir tanpa terputus mulai dari pendaftaran akademik, pemilihan kelas ketika pengisian Kartu Rencana Studi (KRS), hingga proses belajar mengajar melalui LMS.

Dengan integrasi tersebut, harapannya dosen akan menganggap LMS bukan hanya sebagai layanan pendukung yang opsional, namun sebagai fasilitas utama dalam sistem akademik.

“LMS hanya platform pembelajaran, cuman kan apa yang terjadi di dalam LMS harus terhubung ke sistem administrasi akademik universitas,” ujarnya.

“Di UT sudah diterapkan, tapi kelihatannya universitas lain sekarang masih [terpisah].”

Tian mengatakan kebijakan seperti ini ideal untuk meringankan halangan bagi dosen yang enggan memanfaatkan fasilitas pembelajaran daring.

Menurut survey yang sebelumnya ia lakukan, misalnya, kurang dari 20% responden melakukan pembelajaran daring atas inisiatif sendiri.

Sisanya mengatakan bahwa mereka baru beralih melakukan pembelajaran daring setelah dimudahkan dengan kebijakan universitas.

3. Mahasiswa harus jadi fokus utama pelayanan

Daryono mengatakan bahwa terlepas dari berbagai strategi yang telah diterapkan UT, hal paling mendasar yang membuat UT lancar dalam menjalankan pembelajaran daring adalah filosofi UT dalam melayani seluruh mahasiswanya.

Sesuai mandat yang tertuang dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 1984, UT tidak boleh mendiskriminasikan layanan terhadap mahasiswanya berdasarkan kondisi geografis maupun ekonomi.

“Sejak awal kita misinya dari pemerintah adalah untuk buka akses,” kata Daryono.

“Karena itu yang jadi tulang punggung, layanan kami bervariasi begitu luas - dari luring hingga daring - dan lebih pentingnya lagi, fleksibel.”

“Saat terjadi pergeseran perubahan budaya mengajar menjadi daring, universitas yang terbiasa tatap muka menjadi challenging [menantang]. Tapi kami di UT terbiasa karena mahasiswa sebagai titik fokus dari layanan kami,” tambahnya.

Meskipun ia menyadari universitas lain di Indonesia tidak mungkin memiliki model yang sepenuhnya seperti UT - melayani mahasiswa di seluruh Indonesia tanpa diskriminasi - menurutnya semangat ini patut untuk mereka contoh.

Proses pembelajaran juga harus menjadi lebih inklusif - memudahkan misalnya mahasiswa yang harus kerja sambilan atau mahasiswa difabel.

“Fleksibilitas menjadi gaya dari UT yang memungkinkan antara mahasiswa dengan pengajar bisa menciptakan pendidikan yang ter-personalisasi. Ini memungkinkan supaya bisa belajar sesuai kebutuhan masing-masing mahasiswa,” ungkap Daryono.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now