Menu Close
Bakteri kusta menyerang jaringan kulit. The Lancet/Pieter/Grijsen

Kusta, penyakit terabaikan, sebuah kisah mengapa begitu sulit dihapus di Indonesia

Artikel ini untuk memperingati Hari Kusta Sedunia, Minggu 29 Januari 2023.

Penyakit kusta atau lepra berusia sekitar 4.000 tahun dan merupakan salah satu penyakit tertua di dunia.

Sampai kini, lepra, penyakit tropis yang terabaikan dan kerap dianggap sebagai penyakit orang miskin di lingkungan kumuh, masih terjadi di lebih dari 120 negara, dengan kasus baru tahunan mencapai 200 ribu kasus.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menargetkan penyakit ini bisa dihapuskan dari muka bumi pada 2030. Sementara pemerintah Indonesia menargetkan tahun depan, 2024, dapat memberantas penyakit kusta. Per Januari 2022, kasus kusta yang terdaftar mencapai sekitar 13.400 kasus dan ada 7.146 penderita kusta baru di negeri ini, dengan 11 persen di antaranya adalah anak-anak.

Masih ada enam provinsi yang belum bebas dari kusta, dengan prevalensi masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Kusta masih ditemukan di Papua Barat, Papua, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Utara, dan Gorontalo. Di level kabupaten dan kota, masih ada 101 kabupaten dan kota yang belum berhasil membasmi kusta, termasuk beberapa kota di Pulau Jawa.

Dari perspektif sejarah penyakit, sulitnya untuk memberantas (eliminasi) kusta di Indonesia tidak hanya dirasakan oleh pemerintah Indonesia saat ini saja. Bahkan sejak era kolonial atau tepatnya pada abad ke-16 dan 17, penyakit ini juga sulit diberantas.

Kebijakan isolasi

Sampai kini kusta merupakan masalah kesehatan masyarakat yang kompleks. Secara medis, penyakit kronik ini disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae, yang dapat menular melalui percikan ludah atau dahak penderita di udara dan terhirup orang lain yang kontak erat dan kontak kulit terbuka dengan penderita kusta.

Bakteri kusta menyerang jaringan kulit, saraf tepi dan saluran pernapasan. Secara kasat mata, penyakit ini ditandai dengan mati rasa di tungkai, kaki, dan diikuti munculnya lesi di kulit. Jika tidak diobati sejak dini, penderita bisa lumpuh tangan, kaki dan buta. Masa inkubasi bakter ini rata-rata berkisar 2-5 tahun setelah terinfeksi.

Secara sosial, stigma dan diskriminasi terhadap para pengidap kusta telah mempersulit penyembuhan pasien dan eliminasi penyakit ini. Saat ini, Indonesia masih menjadi penyumbang kasus kusta nomor tiga di dunia setelah India dan Brazil.

Sebagai sejarawan, saya intensif meneliti kusta di Indonesia. Salah satu kebijakan yang terkenal untuk para penderita kusta pada masa kolonial adalah pengasingan atau pengisolasian penderita kusta ke tempat khusus agar tidak menularkan kuman ke penduduk yang sehat. Hampir mirip dengan pengisolasi penderita COVID-19 di Wisma Atlet Jakarta.

Pada masa kolonial, orang-orang penderita lepra diasingkan di sebuah pulau terpencil di wilayah Jakarta (Batavia kala itu) yang sekarang dikenal sekarang sebagai Pulau Mutiara (Pulau Muara Angke) dan Pulau Pulmerend.

Kebijakan pengisolasian ini rupanya banyak diberlakukan bukan hanya untuk orang-orang penderita di kota Batavia (Jakarta). Kebijakan serupa juga diberlakukan oleh pemerintah kolonial kota-kota besar lainnya di Hindia Belanda pada rentang waktu abad ke-17 dan 18.

Bahkan dalam sebuah sumber tepercaya yang ditulis oleh Boenjamin di jurnal kedokteran Hindia Belanda terbitan 1937, Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, juga menyebutkan terdapat pengawasan kepada para penderita atau orang lepra, utamanya di pedesaan.

Laporan Boenjamin menyatakan dalam kasus desa di Tjigobang-Cheribon, para penderita lepra dikumpulkan dalam satu balai desa serta diawasi oleh seorang polisi desa.

Munculnya beberapa lembaga penampungan (leprozerie) atau leprosarium pada awal-awal abad ke-19 ternyata juga tidak digunakan secara baik oleh para penderita lepra. Satu sumber pada laporan kolonial menyatakan keberadaan leprozerie (leprosarium) tak lebih hanya digunakan sebagai tempat pengisolasian yang terlembaga dari pihak pemerintah kolonial.

Namun tidak semua pengisolasikan itu melalui paksaan. Riset saya tentang pengobatan penderita kusta di Surabaya pada abad ke-19 menunjukkan pemerintah kolonial kota Surabaya mengeluarkan penderita kusta dari kota tanpa paksaan, tapi mereka memilih beberapa tempat perawatan yang dipilih secara khusus.

Pengobatan kusta

Pada masa kini obat utama kusta adalah antibiotik. Obat tipe kusta kering diminum teratur setiap hari selama enam bulan dan tipe kusta basah selama 12 bulan. Antibiotik baru ditemukan pada 1928. Jika tidak diobati secara teratur sampai sembuh, penderita akan mengidap kusta bertahun-tahun.

Pada masa kolonial, pengobatan – dalam beberapa sumber tidak disebutkan jenis atau nama obatnya – hanya diberikan satu kali dalam dalam satu bulan saat kunjungan dokter Belanda. Selebihnya lebih banyak dilakukan oleh mantri pribumi, termasuk juga pemberian makan dan pakaian.

Realitas yang demikian perlahan-lahan sedikit mulai tertolong dengan hadirnya lembaga swasta yang bernaung di bawah lembaga internasional, the Salvation Army (Bala Keselamatan). Pertolongan diberikan dalam bentuk makanan dan pakaian, serta penempatan mereka dalam sebuah karantina.

Namun demikian peran dari lembaga ini juga tidak cukup banyak membantu dalam memberikan pertolongan pada orang-orang penderita lepra, apalagi jika keberadaan lembaga ini juga hanya terbatas di wilayah perkotaan.

Ini tampak dari penjelasan sebuah majalah tahunan kedokteran (medis), Geneeskundige Tijdschrift Nederlandsch Indie (GTNI, 1890) , bahwa semua fasilitas yang disediakan oleh Salvation Army, termasuk alat musik (piano), alat bercocok tanam, tidak banyak digunakan oleh para orang-orang penderita lepra yang ditangani oleh lembaga ini.

Masalah serupa juga masih terjadi pada 1945-an saat diperkenalkan penyembuhan melalui obat Dapson, sumbangan dari pemerintah Amerika Serikat. Tidak banyak yang mengunakannya mengingat penyebaran obat ini juga masih terbatas di sebuah klinik di Jakarta. Baru mulai tahun 1946-1948 penggunaan obat ini diberikan pada penderita lepra di kota besar saja seperti Surabaya.

Seorang ibu berusia 80 tahun yang menderita kusta yang hidup dalam lembaga penampungan penderita kusta di Benowo Surabaya menjelaskan keadaannya dalam bahasa Jawa yang saya terjemahkan ke bahasa Indonesia di bawah ini:

“Saya ini dianggap orang kotor. Makanya banyak orang tidak mau mendekat ke saya. Teman dekat saya juga tidak mau mendekat. Kalau mau membersihkan badan harus punya sabun dan pasta gigi sendiri. Orang di sini tidak punya uang untuk membeli sabun dan pasta gigi. Paling-paling dapatnya dari bantuan. Lingkungan di sini sejak dulu seperti ini. Bahkan dulu banyak orang yang merawat ayam.. bau (kotoran) ayam. Bagaimana lagi, lingkungan di sini tidak bisa bersih seperti orang normal.”

Seorang laki-laki berusia 90 tahun yang menderita kusta dan hidup di penampungan mengatakan “Kita ini seperti di penjara. Menurut kacamata mereka (orang lepra), pemerintah hanya sekadar memberi makan…setelah itu selesai.”

Minimnya pengobatan pada masa kolonial dan awal kemerdekaan boleh jadi menjadi satu alasan mengapa tidak banyak kemajuan yang dirasakan dalam proses penanganan kasus penderita kusta di Indonesia hingga saat ini. Stigma dan diskriminasi menimpa para penderita lepra makin mempersulit penyembuhan penyakit ini.


Read more: Seabad lebih Kongres Kusta pertama, pengidap kusta di Indonesia masih banyak dan didiskriminasi


Tak cukup intervensi medis

Berkaca dari realitas di atas, memang tidak mudah untuk bisa segera memberantas kusta di Indonesia. Apalagi jika melihat sejarahnya yang juga cukup panjang untuk bisa menerima para penderita lepra dalam sebuah komunitas masyarakat dan lingkungan.

Intervensi medis saja melalui pengobatan tidak cukup. Kita (pemerintah, petugas kesehatan dan masyarakat) perlu mengubah pandangan bahwa mereka sama dengan para penderita penyakit lainnya. Kita harus mengubah stigma ketakutan dengan rasa empati dan kemanusiaan untuk membantu mereka.

Mereka tidak hanya perlu pengobatan medis, yang kini biayanya ditanggung pemerintah, tapi juga butuh sentuhan kasih dan perhatian sebagai seorang manusia yang sama dengan yang lainnya.

Penyakit mereka bisa disembuhkan dan penyakit ini bisa dihapus jika ada kerja sama yang erat antara penderita kusta, keluarganya, masyarakat, petugas kesehatan dan pemerintah. Penderita kusta bukan jenis manusia atau anggota masyarakat yang berbeda yang membutuhkan pengisolasian.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now