Menu Close
Presiden Joko Widodo berbincang dengan direktur IMF Christine Lagarde saat pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali beberapa waktu yang lalu. Made Nagi/EPA

Kutipan Avengers dan GoT dalam pidato Jokowi adalah hal yang biasa dalam ilmu hubungan internasional

Ketika Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo menggunakan film populer Hollywood Avengers: Infinity War dan serial televisi terkenal Game of Thrones sebagai referensi dalam pidato internasionalnya baru-baru ini, tanggapan publik terbagi menjadi pujian dan kritik.

Sebagian besar memuji gaya pidato Jokowi, tapi ada juga yang mengritiknya karena dianggap tidak relevan dan gegabah.

Namun demikian, referensi semacam itu mengingatkan para pakar hubungan internasional akan penggunaan film dalam memahami konsep dan teori di bidang tersebut.

Penggunaan film dalam hubungan internasional

Film adalah media yang umum dalam menjelaskan hubungan internasional.

Para akademisi mengadopsi film untuk mengajarkan peristiwa, isu, budaya dan teori dalam hubungan internasional.

Film dapat berkontribusi dalam menjelaskan peristiwa sejarah secara eksplisit. Genre dokumenter telah digunakan untuk tujuan ini. Film dokumenter memberikan informasi tentang cara kerja politik internasional, diplomasi, dan pembuatan kebijakan luar negeri. Salah satu contohnya adalah film The Fog of War, sebuah dokumenter tentang mantan Menteri Pertahanan AS Robert McNamara dan pendapatnya tentang keamanan internasional.

Film fiksi seperti Hotel Rwanda, tentang seorang pengusaha hotel yang menyembunyikan pengungsi di hotelnya untuk menyelamatkan mereka dari genosida, digunakan untuk menjelaskan isu genosida dalam hubungan internasional.

Film juga dapat digunakan untuk mengajarkan budaya dalam hubungan internasional. Salah satu contohnya adalah Valley of the Wolves: Iraq, sebuah film tentang tentara Turki yang ditahan oleh tentara Amerika pada invasi Irak tahun 2003. Film ini mencerminkan interpretasi kultural masyarakat Turki terhadap invasi AS.

Film juga digunakan untuk menjelaskan teori dalam hubungan internasional. Profesor hubungan internasional dan sutradara Cynthia Weber menyoroti cerita dalam film populer untuk menunjukkan konstruksi perspektif hubungan internasional.

Salah satu contohnya adalah Lord of the Flies, sebuah film tentang kelompok paduan suara anak laki-laki yang terisolasi di sebuah pulau di mana mereka berjuang untuk bertahan hidup tanpa kehadiran orang dewasa. Film ini mencerminkan teori realisme. Teori realisme yang berdasarkan atas pandangan sifat manusia yang konfliktual adalah perspektif dominan dalam hubungan internasional, yang menganggap tujuan utama negara adalah mencari kekuasaan.

Sementara itu, film Independence Day menggambarkan pandangan idealis tentang masyarakat internasional di mana manusia bekerja sama untuk melawan musuh bersama.

Dengan mempelajari konstruksi cerita dalam film, siswa juga dapat memahami bahwa perspektif dalam hubungan internasional juga merupakan konstruksi dan bergantung pada bagaimana suatu peristiwa diceritakan.

Kajian film dalam hubungan internasional

Objek kajian hubungan internasional tidak dapat disimpan di laboratorium untuk diamati atau ditanyai secara langsung.

Oleh karena itu, film menyediakan visual untuk membantu mengamati dan memahami peran para aktor dalam hubungan internasional. Masyarakay umum tidak selalu dapat mengakses secara konkret interaksi antara negara, organisasi, dan individu di seluruh dunia.

Penggunaan film dalam studi hubungan internasional telah berkembang pesat sejak akhir 1990-an. Ini disebabkan oleh kemajuan teknologi film digital yang memungkinkan orang banyak dapat menikmati rekaman film. Profesor hubungan internasional Robert Gregg menulis buku yang membahas daftar film yang dapat digunakan sebagai referensi untuk mengajar hubungan internasional.

Buku teks Weber International Relations Theory: A Critical Introduction, pertama kali diterbitkan pada tahun 2001, memperkenalkan teori hubungan internasional dengan cara yang inovatif dengan menggunakan film-film populer untuk menjelaskan masing-masing teori.

Sejak itu, ilmuwan terus mempromosikan penggunaan film dalam menjelaskan teori-teori hubungan internasional.

Risiko dan manfaatnya

Penelitian telah menemukan bahwa penggunaan film dalam studi hubungan internasional bukannya tanpa risiko.

Film adalah media komersial yang diisi dengan aspek drama dan emosional, yang dapat menyebabkan siswa menonton film sebagai hiburan belaka. Simplifikasi fakta dapat mengurangi perhatian siswa pada keseriusan dan kompleksitas masalah yang akan dibahas.

Namun, film masih berguna untuk memahami hubungan internasional. Akan lebih mudah, misalnya, untuk mengingat adegan dari medan perang di film The Lord of the Rings daripada penjelasan buku teks tentang cara kerja masyarakat internasional.

Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa Presiden Jokowi menggunakan referensi Avengers dan Game of Thrones untuk menarik perhatian khalayak internasional serta pemilih pemula dalam negeri mengingat pencalonannya pada pemilu presiden 2019.

Jokowi membandingkan keadaan dunia ekonomi dengan Infinity War di pertemuan ASEAN baru-baru ini. Ia mengibaratkan penjahat utama, Thanos, dengan negara-negara yang mengobarkan perang dagang dengan kebijakan proteksionis mereka.

Kemudian, selama sesi pleno di pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dan pertemuan tahunan Bank Dunia, Jokowi mengutip kutipan terkenal dari Game of Thrones, “musim dingin akan datang” (winter is coming), untuk menggambarkan ketidakpastian ekonomi global yang dipicu oleh koordinasi dan kerja sama yang lemah dari negara-negara maju.

Para pemimpin dan diplomat dunia memuji gaya unik Jokowi dan pesan filosofis yang kuat tentang perlunya dunia yang lebih baik dalam bahasa yang dapat dipahami semua pihak secara visual.

Pidato ini juga dianggap menarik perhatian para milenial terhadap masalah ekonomi global. Melalui pidatonya, Jokowi memberi kita gambaran untuk memahami keadaan dunia yang kita tempati sekarang. Gambaran tersebut akan tersimpan dalam ingatan kita dan mudah dimunculkan kembali ketika mengingat hubungan internasional.

Akibatnya, kita mungkin tidak akan pernah menonton film dengan cara yang sama lagi.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now