Menu Close
Peta Israel-Palestina

Ladang gas raksasa hingga alternatif Terusan Suez: menelusuri bias ekonomi dalam konflik Israel-Palestina

Konflik Israel-Hamas di Gaza, Palestina, tengah menjadi gemuruh isu keamanan manusia dan terindikasi banyak melanggar nilai hak asasi manusia (HAM) dan perjanjian dalam hukum internasional. Di sisi lain, konflik tersebut juga dipengaruhi dan memengaruhi geoekonomi di kawasan Timur-Tengah.

Dalam ilmu hubungan internasional, geoekonomi adalah titik temu antara ekonomi dan keuangan dengan pertimbangan politik dan keamanan global, yaitu menggunakan ranah pasar sebagai kekuatan politik atau sebaliknya, dan tidak semata berdasarkan penggunaan kekuatan militer seperti analisis geopolitik klasik.

Serangan Kelompok Houthi asal Yaman ke kapal-kapal komersial yang melewati Laut Merah bisa menjadi contoh bagaimana kekuatan ekonomi dan geopolitik saling beririsan. Dengan alasan pembalasan dendam terhadap serangan Israel di Gaza, serangan kelompok yang didukung Iran ini mengganggu transportasi laut yang terhubung dengan Terusan Suez dan menjadi jalur bagi 12% perdagangan dunia dan 30% kontainer global.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan logistik dan minyak dan gas besar memutuskan untuk menghentikan pelayaran mereka di jalur tersebut, yang membuat terjadi kenaikan harga-harga di dunia. Serangan Kelompok Houthi ini diduga ingin melukai perekonomian Israel dan sekutunya.

Apa yang terjadi di Jalur Gaza tak hanya persoalan perampasan wilayah. Sebagai seorang pengajar ilmu hubungan internasional, saya akan menjelaskan bagaimana ekonomi politik pun turut menjadi kepentingan dalam konflik Israel dan Palestina.

Ambisi geoekonomi di tengah konflik Israel dan Palestina

Pasca-Arab Spring, aksi protes dan pergolakan bersenjata antara negara dengan kelompok kepentingan nonpemerintah di penjuru Jazirah Arab pada dekade 2010-an, Timur Tengah berupaya untuk memulihkan keamanan kawasannya melalui pembangunan jalur maritim sebagai kawasan integrasi ekonomi utama.

Hal ini tidak lepas dari ambisi Mesir dan Arab Saudi untuk mengoptimalkan potensi ekonomi wilayah Laut Merah sebagai zona keamanan maritim. Pengembangan koridor Terusan Suez terus dilakukan melalui proyek pembangunan Sinai sebagai kawasan terpadu yang dimulai sejak 1982 hingga 2014, serta investasi perancangan pembangunan Sinai Utara pada periode 2023-2024.

Sinai merupakan zona strategis yang mengubungkan Afrika dan Asia dan berada di bawah otoritas Mesir. Lokasinya diapit oleh Teluk Suez dan Teluk Aqaba, serta laut Merah di bagian selatan dan Laut Mediterania di bagian utara. Lebih luas, jalur ini memfasilitasi lalu lintas logistik, perdagangan, manusia, hingga energi dengan menghubungkan Laut Merah di selatan ke Laut Mediterania di utara melalui Terusan Suez.

Ambisi geoekonomi tak hanya milik Mesir semata, namun juga Arab Saudi. Hal ini dimanifestasikan ke dalam perjanjian yang disepakati oleh Kairo dan Riyadh pada 2016 yang mengalihkan dua pulau Laut Merah untuk Arab Saudi.. Hal ini membuka peluang investasi jangka panjang oleh negara-negara Teluk karena berpotensi tinggi menjadi kawasan ekonomi terpadu.

Ambisi pembangunan ekonomi Timur Tengah ternyata tidak luput dari perhatian Israel yang turut melakukan kerja sama pembangunan regional. Partisipasi ini juga merupakan upaya perdamaian Israel dengan negara-negara di kawasan sejak berperang dengan koalisi negara-negara Arab–terutama Mesir, Suriah, dan Yordania–pada 1967. Akibat perang tersebut, Terusan Suez ditutup selama delapan tahun.

Kepentingan ekonomi Israel di bumi Palestina

Kawasan Mediterania Timur yang meliputi Mesir, Lebanon, Turki, Israel, Palestina, Siprus, dan Yunani merupakan kawasan yang teridentifikasi kaya sumber daya energi gas.

Keinginan Mesir untuk menghubungkan Laut Merah dan Laut Mediterania melalui pengembangan Terusan Suez menjadi kesempatan Israel mengembangkan Leviathan, lapangan gas lepas pantai di Teluk Levant yang merupakan bagian dari Laut Mediterania Timur.

Harapan Israel untuk mengembangkan sektor energinya ini menjadi sisi lain atau bias ekonomi dari upayanya untuk menguasai bumi Palestina. Jalur Gaza yang berada di bawah pemerintahan Palestina dianggap menjadi hambatan besar bagi Israel untuk mengimplementasikan proyek Join the Red Sea with Mediterranean.

Lapangan gas Leviathan berada di Laut Mediterania dan merupakan ladang gas alam raksasa yang ditemukan pada 2010. Ladang gas ini memproduksi jutaan barel minyak dan terletak di perbatasan laut antara Israel, Lebanon, Jalur Gaza, dan Siprus.

Peta Teluk Levant, lokasi lapangan gas raksasa Leviathan. US EIA

Ini menimbulkan spekulasi bahwa alasan Israel menggempur Hamas adalah ambisi menguasai daerah berpotensi tinggi di Palestina, yaitu jalur Gaza. Sebab, Gaza berada di kawasan strategis yang terhubung langsung dengan Laut Mediterania.

Ambisi ekonomi Israel atas tanah Palestina ini sebenarnya telah diproyeksi sejak tahun 1960-an melalui Ben Gurion Canal Project. Proyek ini dirancang untuk menciptakan jalur alternatif dari Terusan Suez untuk menghubungkan Eropa dan Asia melalui Selatan Teluk Aqaba–lokasinya berada di antara Laut Merah, Arab Saudi, dan Semenanjung Sinai.

Peluang keuntungan geoekonomi inilah yang menggerakkan Israel menjalani hubungan diplomatik dengan negara sekawasan Timur Tengah. Hal ini didukung dengan NEOM Economic Zone yang merupakan kawasan ekonomi khusus yang dikembangkan oleh Arab Saudi. Kawasan ini melibatkan Mesir dan Yordania dengan turut mendorong Israel dan Otoritas Palestina terlibat ke dalam pembangunannya.

Ringkasnya, Israel tidak bisa menghilangkan pengaruh Mesir dan Arab Saudi dalam ambisinya mengembangkan Terusan Suez, lapangan gas Leviathan, hingga mewujudkan Ben Gurion Canal Project. Menormalisasi hubungan diplomatik dan melakukan kerja sama pembangunan ekonomi lalu menggempur wilayah berpotensi tinggi Palestina sebagai negara strategis penghubung akses sumber daya energi dan jalur ekonomi menjadi bias ekonomi Israel dalam konflik di Gaza.

Respons Timur Tengah terhadap dampak ekonomi konflik Israel-Palestina

Kawasan Timur Tengah adalah kawasan yang sarat kepentingan politik di atas kelimpahan sumber daya energinya. Konflik di Palestina turut memengaruhi asupan sumber daya minyak dan gas bumi Timur Tengah sebagai pengekspor energi unggulan dunia karena faktor ketidakstabilan geopolitik di kawasan tersebut..

Gejolak ini menambah peningkatan kekerasan dalam konflik Israel-Hamas dan menambah ketegangan di kawasan Timur Tengah. Negara-negara seperti Lebanon, Irak, Suriah, dan Yaman memberi dukungan terhadap Palestina.

Mesir, seperti konflik-konflik sebelumnya, masih berfokus mendorong diplomasi penyelesaian sengketa perbatasan dan penyaluran bantuan. Sementara, Arab Saudi menyatakan akan mengakui Israel sebagai negara berdaulat hanya jika konflik usai dan Palestina diakui sebagai negara.

Para pakar yang berkumpul di Doha Forum di Qatar menyebut bahwa negara-negara Timur Tengah enggan melakuan normalisasi dengan Israel. Sebab, genosida Israel di Gaza telah menciptakan dunia yang multipolar, merujuk pada kondisi banyaknya kutub-kutub kekuatan yang berpengaruh di percaturan politik internasional.

Ini terlihat dari keberpihakan Amerika Serikat (AS) terhadap Israel, yang ditunjukkan dengan menggunakan hak vetonya di Dewan Keamanan PBB untuk menolak seruan gencatan senjata. Genosida yang dilakukan Israel terhadap masyarakat sipil di Palestina turut mengubah haluan dukungan kebanyakan negara-negara Uni Eropa yang merupakan mitra penting perdagangan dengan Israel agar melakukan gencatan senjata.

Aksi protes Israel dalam masyarakat internasional turut dilakukan ke dalam berbagai gerakan transnasional, termasuk aksi boikot terhadap produk-produk pro-Israel yang menyebabkan sejumlah perusahaan multinasional di berbagai negara merugi.

Keberpihakan AS kepada Israel justru membuka peluang besar bagi Cina dan Rusia untuk memperluas pengaruh ekonomi politiknya di Timur Tengah–semakin menambah kutub-kutub kepentingan di kawasan tersebut–seperti Arab Saudi, Mesir, Iran, Uni Emirat Arab yang mulai merapat ke BRICS.. Dengan rivalitas antara Cina, Rusia, dan AS, ini akan menjadi sarat kepentingan ekonomi yang berpotensi menurunkan pengaruh AS sebagai sekutu utama Israel.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now