Menu Close

Lebih dari 82% penduduk punya kartu jaminan kesehatan, tapi ketidakadilan akses masih menganga

Petugas melayani peserta BPJS kesehatan di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, 12 Oktober 2021. Cakupan luas tapi masih ada yang belum terlayani. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/rwa

Artikel ini terbit untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional 12 November.

Sistem kesehatan di Indonesia telah mengalami kemajuan signifikan dalam dua puluh tahun terakhir. Dari sisi keterjangkauan, jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional kini telah mencapai lebih dari 82% dari total jumlah penduduk hanya dalam jangka tujuh tahun.

Kepesertaan ini berkembang dari 121 juta orang pada 2014 jadi 223 juta jiwa tahun ini. Pada 2024 jumlah tersebut ditargetkan mencapai 98%.

Di atas meja, capaian tersebut itu luar biasa besar. Namun, riset kami tentang dinamika negara dalam menyediakan akses pelayanan kesehatan di Indonesia sejak 1945-2020 menunjukkan di balik capaian tersebut, ada masalah yang sangat serius: ketidakadilan (inequity). Tidak hanya terkait keadilan akses, kualitas, dan pemerataan pelayanan kesehatan, tapi juga permasalahan keterikatan masyarakat (civic engagement) terhadap pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah.

Sejumlah studi telah mengkonfimasinya adanya ketimpangan atau disparitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Salah satu penyebabnya adalah kurangnya partisipasi masyarakat dalam menyusun kebijakan kesehatan. Saat masyarakat tidak dilibatkan, pemerintah tidak bisa menangkap keseluruhan aspirasi masyarakat sehingga saat implementasi kebijakan muncul masalah baru.

Tiga rezim, beda prioritas

Dalam studi ini, kami menggunakan pendekatan sosial-histori untuk memahami setting sosial politik dan perkembangan pelayanan kesehatan di Indonesia pasca era kolonial: Orde Lama (1945-1965), Orde Baru (1966-1997) dan Era Reformasi yang menandai kebangkitan demokrasi dan desentralisasi sejak 1998.

Secara umum, pelayanan kesehatan di Indonesia memang telah meningkat baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Dalam 70 tahun terakhir, perbaikan akses terhadap pelayanan kesehatan di negeri ini terus terjadi pada sisi akseptabilitas, ketersediaan, dan keterjangkauan.

Keikutsertaan masyarakat dalam program imunisasi, menunjukkan akseptabilitas masyarakat pada pelayanan kesehatan yang diberikan pemerintah. Pada sisi ketersediaan, ada penambahan jumlah Puskesmas dari kisaran 2.000 unit 1970-an jadi sekitar 6.700 pada 1993, lalu mencapai lebih dari 10.000 pada 2019. Skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memperlihatkan keterjangkauan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan.

Dalam rentang pergantian tiga rezim politik, setiap rezim menandai pergeseran pendekatan pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan.

Pada periode pemerintahan Soekarno, konteks atas anti-kolonialisme, keterbatasan sumber daya, serta instabilitas politik memang mendorong pemerintah fokus pada akseptabilitas masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Terlebih, masyarakat pada waktu itu, belum terlalu familiar dengan pelayanan kesehatan modern.

Bersamaan dengan itu, isu terkait kesehatan juga digunakan untuk menjadi “propraganda” nasionalisme. Hal ini tidak lepas dari konteks instabilitas politik, keamanan serta pembangunan bangsa yang memang menjadi prioritas pemerintah saat itu. Pemakaian slogan seperti “Rakjat Sehat, Negara Kuat” sebagai perwujudan “berdikari” (berdiri di bawah kaki sendiri) merupakan contoh dari pendekatan pemerintahan Soekarno mengelola isu kesehatan.

Belajar pada pengalaman rezim sebelumnya, rezim Orde Baru menggunakan tata kelola penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang lebih sentralistis dengan pendekatan stabilitas politiknya. Kondisi ini memungkinkan adanya percepatan pembangunan kesehatan dengan kebijakan yang lebih efisien.

Perkembangan pesat angka partisipasi Keluarga Berencana (KB) dari 2,8% pada 1971/1972 menjadi 62,6% pada 1984/1985 memperlihatkan efisiensi dari pola sentralistis yang diterapkan. Partisipasi KB sebelumnya, pada era Soekarno, memiliki banyak hambatan.

Reformasi kemudian membuat arah penyelenggaraan pelayanan kesehatan tidak lagi bertumpu pada mendorong akseptabilitas dan ketersediaan semata. Keterjangkauan pelayanan kesehatan menjadi target baru. Perubahan tata kelola pemerintahan desentralistis juga semakin mendorong respons yang lebih baik dari pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam memperluas jangkau pelayanan kesehatan.

Lompatan inovasi yang cukup berarti ditandai dengan menjamurnya penerapan jaminan kesehatan bagi golongan masyarakat yang lebih luas di daerah. Kisah sukses jaminan kesehatan daerah di Jembrana, Bali, diikuti 24 kabupaten dan kota lainnya hingga akhirnya pada pada 2013 sebanyak 479 dari 491 kabupaten dan kota dalam mengimplementasikan Jaminan Kesehatan Daerah.

Pola desentralisasi berkontribusi untuk mendekatkan pemerintah untuk memahami kebutuhan dan permasalahan kesehatan masyarakat. Demokrasi elektoral telah mendorong isu-isu populis seperti jaminan kesehatan menjadi terangkat dan diterapkan untuk meraup dukungan politik masyarakat. Jaminan Kesehatan Nasional merupakan puncak pencapaian dari reformasi sistem kesehatan karena memberikan akses kesehatan untuk semua penduduk, termasuk kelompok miskin yang iurannya disubsidi oleh pemerintah.

Masalahnya, di luar sisi akseptabilitas, ketersediaan, dan keterjangkauan, ada aspek keadilan (equity) yang belum terselesaikan. Masih ada sebagian golongan masyarakat yang belum mampu menikmati manfaat dari akses pelayanan kesehatan yang telah disediakan pemerintah.

Analisis dari data Survei Sosial-Ekonomi Nasional (SUSENAS) menunjukkan ketidakadilan dalam pemanfaatan tenaga profesional penolong persalinan masih terjadi pada masyarakat pendidikan rendah dan miskin di daerah pedesaan.

Satu contoh lain yang menarik untuk menggambarkan permasalahan ketidakadilan (inequity) adalah fenomena peran pihak ketiga sebagai perantara (brokerage) dalam mengakses pelayanan publik. Perantara tersebut seringkali merupakan para pemimpin informal, seperti Ketua Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan tokoh masyarakat.

Para perantara ini seringkali membantu karena mereka memiliki pengaruh karena memiliki koneksi dengan pemegang kekuasaan atau para staf di fasilitas kesehatan sehingga cukup familiar dengan prosedur dalam mengakses JKN. Selain itu, mereka biasanya merupakan orang-orang yang memiliki keberanian untuk membantu bicara saat terjadi kesulitan dalam mengakses JKN. Contoh ini memperlihatkan, sekalipun masyarakat telah memiliki akses pada pelayanan kesehatan, mereka tidak serta merta mampu memanfaatkannya.

Dominasi peran negara

Pengalaman Indonesia dalam menyelenggarakan pelayanan kesehatan dari masa kemerdekaan hingga reformasi memperlihatkan dominasi peran pemerintah atau negara, baik di pusat maupun di daerah.

Studi terkait akses pelayanan kesehatan menunjukkan bagaimana kebijakan pelayanan kesehatan kurang mengikutsertakan peran masyarakat secara aktif.

Dalam kebijakan Jaminan Kesehatan Nasional misalnya, peran dan akomodasi kepentingan masyarakat sangat minim. Pembahasan Undang-Undang Sistem Jaminan Nasional dan Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan Nasional lebih bernuansa kontestasi politik dibanding mendiskusikan pola jaminan kesehatan yang akan diterapkan.

Hal inilah yang kemudian dalam pelaksanaannya Jaminan Kesehatan Nasional kurang mampu menangkap dengan baik bagaimana kepentingan pekerja sektor informal atau munculnya “kastanisasi” dalam layanan kesehatan berdasarkan besaran iuran.

Sejak era awal kemerdekaan hingga reformasi, belum ditemukan pola yang secara serius diterapkan pemerintah terkait partisipasi masyarakat yang lebih substantif dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Belum ada pola yang benar-benar mendorong masyarakat untuk lebih memiliki ruang untuk berunding bersama, memahami permasalahan yang dihadapi, membuat kesepakatan dan kemudian dilaksanakan serta diawasi bersama.

Hal ini bukan berarti menihilkan partisipasi masyarakat.

Akan tetapi, partisipasi tersebut masih dimaknai secara sempit sebagai penerimaan dan keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan program pemerintah di bidang kesehatan. Posyandu dan kader kesehatan adalah salah satu contoh dari pemaknaan terbatas atas partisipasi masyarakat tersebut. Secara substantif, masyarakat belum terlibat aktif dalam diskursus proses penentuan kebijakan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pemerintah cenderung menempatkan masyarakat sebagai obyek penyelenggaraan pelayanan kesehatan alih-alih sebagai subyek.

Kita perlu mendorong health citizenship

Ketiadaan partisipasi memang memungkinkan kebijakan menjadi kurang maksimal menangkap kebutuhan dan permasalahan faktual yang ada di masyarakat. Seberapapun hebatnya, negara tetap membutuhkan partisipasi masyarakat untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan.

Pemerintah perlu mendorong partisipasi tersebut, karena dalam konsepsi kewarganegaraan kesehatan (health citizenship), pelayanan kesehatan tidak hanya dimaknai hak sebagai warga negara yang harus dipenuhi, akan tetapi juga bagaimana cara hak tersebut diberikan -kualitas, substansi, dan keterikatan masyarakat (civic engagement).

Kebijakan bidang kesehatan bukan saja untuk memastikan akses terhadap pelayanan kesehatan, tapi juga bagaimana masyarakat menerima manfaat secara maksimal atas kebijakan tersebut.

Masyarakat kurang maksimal dilibatkan dalam semenjak proses awal perumusan kebijakan hingga pengambilan keputusan. Pemerintah perlu memperbaiki kualitas, subtansi, dan keterikatan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan kesehatan. Partisipasi membuat pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama memahami, mengelola, dan mengatasi permasalahan kesehatan.

Oleh karena itu, partisipasi masyarakat diperlukan tidak hanya dalam bentuk pemberdayaan tapi juga dengan model yang lebih deliberatif. Artinya, partisipasi secara menyeluruh terlibat dalam diskursus perumusan, keputusan, hingga evaluasi dari suatu kebijakan.

Tak hanya menunggu dari inisiasi masyarakat, pemerintah juga perlu membuka ruang untuk proses kebijakan yang lebih partisipatif.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now