Menu Close

Lebih dari satu jurnalis per hari tewas dalam konflik Israel-Hamas. Ini harus dihentikan

Pictures of people placed in coffins to highlight journalist deaths
Gambar Sameeh Nadi dan Esam Bashar dalam peti mati tiruan yang mewakili para jurnalis Palestina yang terbunuh selama perang di Gaza, Ramallah, Tepi Barat, 7 November 2023. Nasser Nasser/AAP

Menurut Committee to Protect Journalists (Komite untuk Perlindungan Jurnalis), perang Israel-Hamas telah menjadi konflik paling mematikan bagi para pekerja media sejak organisasi ini mulai menghitung statistik pada tahun 1992.

Pada saat laporan ini ditulis, komite tersebut melaporkan setidaknya 39 jurnalis dan pekerja media terbunuh dalam satu bulan sejak perang dimulai. Reporters Without Borders (Wartawan Tanpa Batas) menyebutkan angka yang sedikit lebih tinggi, yaitu 41 orang. Namun, angka kematian yang begitu tinggi ini–lebih dari satu orang per hari–kemungkinan besar sudah meningkat saat ini. Ketika kita membaca tulisan ini, kemungkinan besar sudah ada lagi jurnalis yang tewas.

Para korban sebagian besar adalah jurnalis dan pekerja media asal Palestina yang terbunuh dalam serangan Israel ke Gaza. Sementara itu tercatat empat warga Israel yang terbunuh dalam serangan Hamas ke Israel pada 7 Oktober lalu.

Ada juga seorang videografer asal Beirut yang terbunuh di Libanon selatan. Ia tewas dalam penembakan yang juga melukai enam wartawan lainnya. Para saksi mata mengatakan bahwa penembakan itu datang dari arah Israel dan menghantam sekelompok wartawan yang menggunakan kendaraan dan pelindung tubuh jelas menandakan bahwa mereka adalah pers.

Kita perlu hening sejenak untuk mengingat bahwa ini bukan sekadar angka. Setiap korban memiliki nama, kerabat, orang yang dicintai, dan cerita hidup. Committee to Protect Journalists memiliki catatan suram yang mendata semua orang yang terbunuh, terluka maupun hilang.

Mereka yang tewas termasuk wartawan lepas di Palestina yang bekerja untuk layanan berita internasional, dan yang lainnya adalah jurnalis yang bekerja untuk media lokal di sana–yang memiliki penting penting dalam memberikan pemahaman lokal tentang apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang tewas dalam serangan udara di rumah mereka, beberapa di antaranya sedang bersama anak-anak dan keluarganya.

Seorang jurnalis Palestina menghibur keponakannya yang terluka akibat serangan Israel ke rumah keluarganya di sebuah rumah sakit di Deir el-Balah, Jalur Gaza, 22 Oktober 2023. Ali Mahmoud/AAP

Read more: Hidden tunnels, ambushes and explosives in walls: the Israel-Hamas war enters a precarious new phase


Pasukan Pertahanan Israel bersikeras bahwa mereka tidak menargetkan jurnalis, namun Reporters Without Borders mengatakan setidaknya sepuluh orang telah terbunuh ketika sedang meliput berita.

Tentu saja nyawa seorang jurnalis tidak lebih berharga dari warga sipil lainnya, dan dalam krisis yang penuh dengan kekerasan, yang telah menewaskan lebih dari 10.000 orang ini, tidaklah mengherankan jika beberapa di antaranya adalah jurnalis.

Namun ada banyak bukti bahwa para jurnalis telah menjadi sasaran, dilecehkan, dipukuli, dan diancam. Daftar yang dimiliki Committee to Protect Journalists menunjukkan bahwa otoritas Israel yang patut bertanggung jawab atas sebagian besar insiden yang terjadi.

Pada 12 Oktober, polisi Israel menyerang sekelompok jurnalis BBC di Tel Aviv dan menahan mereka sambil menodongkan senjata. BBC mengatakan bahwa jurnalis bernama Muhannad Tutunji dan Haitham Abudiab serta tim BBC Arab mengendarai sebuah kendaraan yang jelas-jelas bertuliskan “TV” dengan pita merah, dan baik Tutunji maupun Abudiab menunjukkan kartu pers mereka.

Pada 16 Oktober, jurnalis dan kolumnis Israel bernama Israel Frey bersembunyi setelah sekelompok massa ekstrem kanan Israel menyerang rumahnya sehari sebelumnya. Massa tersebut tampaknya marah karena sebuah kolom yang ditulisnya yang mengekspresikan simpati kepada warga Palestina di Gaza.

Pada 5 November, polisi Israel menangkap seorang jurnalis lepas asal Palestina berusia 30 tahun, Somaya Jawabra, di Nablus, Tepi Barat bagian utara. Ia dipanggil bersama suaminya yang juga seorang jurnalis, Tariq Al-Sarkaji, untuk diinvestigasi. Suaminya kemudian dibebaskan, namun Jawabra, yang sedang hamil tujuh bulan, tetap ditahan.

Federasi Jurnalis Internasional (International Federation of Journalists) telah meminta pemerintah Israel untuk secara ketat mematuhi hukum internasional yang mengharuskan para pasukan memperlakukan jurnalis sebagai warga sipil dan melindungi nyawa mereka. Militer Israel telah mengatakan kepada setidaknya dua kantor berita internasional bahwa mereka tidak dapat menjamin keselamatan staf media yang meliput krisis Gaza.

Jurnalis Palestina membawa peti mati tiruan yang melambangkan para jurnalis yang terbunuh dalam perang di Gaza, Ramallah, Tepi Barat, 7 November 2023. Nasser Nasser/AAP

Perang propaganda

Hal ini penting, dan bukan hanya bagi para jurnalis yang mempertaruhkan nyawa mereka atau diserang dan dilecehkan.

Di dunia kita yang terhubung secara digital, distorsi, disinformasi, dan kebohongan bisa langsung menyebar ke seluruh dunia lebih cepat daripada rudal balistik. Narasi online setidaknya sama pentingnya dengan pertempuran di lapangan, karena masing-masing pihak berupaya menggambarkan dirinya sebagai korban, memanfaatkan angka dan narasi untuk mendukung argumen mereka dan memenangkan dukungan.

Kondisi ini membawa konsekuensi nyata. Dalam perang propaganda, dukungan publik dapat diwujudkan menjadi bantuan politik, keuangan, dan bahkan militer.

Ini tampaknya menjadi salah satu alasan mengapa Israel berulang kali memutus saluran komunikasi di Gaza. Seiring dengan berlarutnya krisis, cerita-cerita menyakitkan tentang konsekuensi serangan Israel mengikis dukungan publik, sehingga mengendalikan narasi menjadi semakin penting.

Semakin banyak jurnalis yang dibunuh atau diintimidasi untuk tidak melakukan pekerjaan mereka, semakin banyak pula ruang yang tersedia bagi para propagandis dari kedua belah pihak untuk bekerja tanpa hambatan.

Tanpa jurnalis yang benar, kita dipaksa untuk bergantung pada pernyataan yang tidak dicek dan tidak dapat ditantang dari para tokoh utama, atau unggahan media sosial tanpa filter yang menciptakan lebih banyak kebingungan daripada kejelasan. Keduanya tidak memberi kita informasi yang kuat untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Itulah mengapa jurnalisme yang baik kini menjadi semakin penting. Tentu saja tidak ada jurnalis yang sempurna, tetapi sebagian besar pekerjaan mereka mengandalkan kredibilitas. Mereka memiliki protokol profesional yang sudah mapan, yang mengikat mereka pada akurasi faktual, independensi, hak jawab, dan sebagainya. Dalam prosesnya, mereka memberikan tingkat kepercayaan yang membuat pembaca dan pemirsa mau terus mendengarkan.

Secara kolektif, tujuannya adalah untuk menciptakan inti informasi yang dapat diandalkan secara independen dan, sebisa mungkin, akurat secara luas dalam krisis yang “berkabut” seperti saat ini. Tanpa komitmen tersebut, jurnalis akan kehilangan otoritas mereka dan karenanya akan kehilangan nilainya.

Ini masalah yang sangat penting, sampai-sampai PBB membuat Rencana Aksi untuk Keselamatan Jurnalis. Rencana tersebut sekarang sudah berumur satu dekade, dan jelas tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Perang di Ukraina dan Gaza telah membuat angka kematian jurnalis mencapai rekor tertinggi, sementara sekitar delapan dari setiap sepuluh] pembunuhan jurnalis di seluruh dunia masih belum terpecahkan.

Federasi Jurnalis Internasional memperingatkan bahwa jika Israel memiliki kebijakan untuk menargetkan jurnalis, seperti yang dilaporkan oleh beberapa media, maka hal itu jelas merupakan kejahatan perang. Dalam hal ini, strategi terbaik bagi para jurnalis adalah melakukan apa yang menjadi keahlian mereka, yaitu mengumpulkan bukti dan mengungkap adanya pelanggaran.

Sayangnya, harapan ini kecil, mengingat besarnya pertumpahan darah yang terjadi. Kita semua akan menjadi semakin bodoh dan dunia akan semakin miskin jika pembantaian terhadap jurnalis dan pekerja media tidak segera diakhiri.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now