Menu Close

Makin merasa tidak nyaman di wilayah berisiko infeksi COVID, makin tinggi jaga jarak dan hindari transportasi publik

Polisi merazia masker di kawasan Cilandak, Jakarta, 3 Februari 2022. Secara individual, pakai masker atau tidak di pengarui oleh perasaan rentan terinfeksi dan keengganan terinfeksi COVID-19. ANTARA FOTO/Reno Esnir/foc

Banyak studi yang membahas dampak COVID-19 terhadap kondisi psikologis masyarakat. Namun, tidak banyak yang membahas sebaliknya, setidaknya di Indonesia.

Riset kami menelisik dampak mekanisme psikologis dan misinformasi terhadap perilaku pencegahan COVID-19. Perilaku tersebut tergambarkan melalui pembelian alat pencegahan COVID-19 (misalnya masker dan hand sanitizer), penggunaan transportasi publik dan daring, serta perilaku menjaga jarak.

Temuan kami menunjukkan, semakin tinggi seseorang merasa ‘jijik’ atau tidak nyaman berada dalam wilayah berisiko tinggi infeksi COVID-19, semakin tinggi kecenderungannya menjaga jarak dan menghindari penggunaan transportasi publik. Namun, penelitian kami menunjukkan tidak ada relasi antara perasaan rentan terinfeksi dan kepatuhan menjaga jarak.

Dalam konteks masyarakat, ini menerangkan warga Jakarta dan sekitarnya – sebagai tempat pengumpulan data – menganggap diri mereka tidak mudah terinfeksi COVID-19. Tapi, mereka terdorong melakukan pencegahan COVID-19 karena merasa tidak nyaman berada di wilayah dengan risiko infeksi tinggi.

Mekanisme psikologis: sistem imun perilaku

Mekanisme psikologis sebagai determinan perilaku pencegahan COVID-19 digambarkan dalam behavioural immune system (BIS) atau sistem imun perilaku. Ini merupakan mekanisme psikologis yang mempengaruhi perilaku individu menghindari kontak dengan pembawa virus.

Studi kami juga berupaya memahami kaitan misinformasi dengan perilaku pencegahan COVID-19. Studi dengan survei daring ini melibatkan 1.306 partisipan di Jakarta dan sekitarnya pada 3-26 Agustus 2020.

Terdapat dua komponen BIS yang mempengaruhi perilaku pencegahan COVID-19. Pertama, perceived infectability (PI) atau perasaan rentan terinfeksi, yakni keyakinan diri sendiri rentan terinfeksi virus karena berbagai faktor.

Kedua, germ aversion (GA) atau keengganan terinfeksi, yaitu perasaan tidak nyaman ketika seseorang berada di wilayah dengan risiko infeksi tinggi, seperti transportasi umum atau wilayah publik lainnya.

Dalam studi serupa oleh Rodrigo Díaz dan Florian Cova dari Swiss (2020), pathogen disgust (patogen jijik), salah satu variabel psikologis seperti GA, memiliki pengaruh besar terhadap kepatuhan protokol kesehatan. Riset kami menemukan kesimpulan serupa.

Misinformasi dan perilaku pencegahan

Kami juga menelusuri kaitan antara misinformasi dengan perilaku pencegahan COVID-19. Kami menggolongkan hoaks, teori konspirasi, hingga penipuan (scam) sebagai misinformasi karena mengaburkan bukti ilmiah terbaru tentang COVID-19.

Kami juga menggolongkan misinformasi dalam tiga tema besar, yaitu pengobatan dan pencegahan COVID-19 yang bersifat non-psikologis, pengobatan dan pencegahan COVID-19 berdasarkan efek psikologis, dan misinformasi dalam bentuk teori konspirasi.

Contoh misinformasi terkait pengobatan dan pencegahan non-psikologis misalnya: konsumsi jahe yang disebut bisa menyembuhkan dan mencegah infeksi COVID-19. Sedangkan misinformasi terkait pengobatan yang berorientasi efek psikologis misalnya: pikiran positif berperan besar mencegah infeksi COVID-19.

Sementara, misinformasi berbentuk teori konspirasi misalnnya: anggapan COVID-19 adalah siasat pemerintah atau pihak tertentu untuk mengendalikan masyarakat.

Pertama, kami menemukan semakin besar seseorang mempercayai misinformasi pengobatan dan pencegahan non-psikologis serta teori konspirasi, semakin ia enggan menjaga jarak. Ini mungkin disebabkan keyakinan yang terlalu kuat terhadap hal yang salah mendorong masyarakat untuk tidak menjaga jarak.

Sementara, kepercayaan terhadap teori konspirasi mungkin berkaitan dengan karakteristik kebijakan pengendalian COVID-19 yang restriktif. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh tingkat kepercayaan terhadap pemerintah setempat.

Kedua, semakin tinggi keyakinan terhadap pencegahan dan pengobatan psikologis untuk mencegah COVID-19 seperti berpikir positif dan menghindari stres, semakin kecil kecenderungan seseorang membeli alat pencegahan COVID-19, seperti masker dan sabun cuci tangan.

Ini mungkin terjadi lantaran seseorang lebih memilih upaya pencegahan yang lebih ‘murah’ daripada harus membeli alat lain.

Ketiga, keyakinan terhadap misinformasi tidak terkait dengan keengganan seseorang mengakses transportasi publik. Ini mungkin saja karena saat itu sangat jarang ditemui tema misinformasi terkait transportasi publik atau daring.

Kemungkinan lainnya adalah, masih banyak masyarakat yang terpaksa keluar rumah menggunakan transportasi umum. Perlu dicatat bahwa ketika penelitian ini dimulai, kebijakan bekerja dari rumah (work from home) belum lama diterapkan.

Keempat, kami menemukan laki-laki cenderung lebih meyakini teori konspirasi dibandingkan perempuan. Temuan ini senada dengan studi di Amerika Serikat yang menunjukkan laki-laki cenderung memiliki rasa ketidakberdayaan dan pola pikir konspirasi sehingga cenderung lebih meyakini teori konspirasi.

Rekomendasi kebijakan

Dengan merujuk pada hubungan antara sistem imun perilaku dan misinformasi dengan perilaku menjaga jarak, ada beberapa rekomendasi berbasis bukti yang bisa pemerintah pertimbangkan, terutama untuk menghalau gelombang infeksi varian baru.

Pertama, terapkan unsur keengganan terinfeksi (germ aversion) dalam komunikasi risiko penanganan wabah. Produk dan metode komunikasi publik perlu memicu perasaan tidak nyaman masyarakat ketika melakukan tindakan berisiko, seperti tidak menjaga jarak atau melepas masker.

Produk komunikasi ini juga perlu diterapkan di tempat-tempat padat masyarakat yang bisa memicu interaksi fisik, seperti halte atau stasiun. Selain itu, tidak ada salahnya juga untuk memanfaatkan dan mengaktivasi perasaan enggan terinfeksi melalui media visual. Caranya bisa melalui gambar yang menampilkan kandungan virus atau cairan pembawa virus yang menjijikkan dalam kontak sosial atau tempat berisiko tinggi.

Kedua, strategi penanganan misinformasi perlu disesuaikan dengan memperhatikan keyakinan individu tertentu. Banyaknya jumlah misinformasi yang beredar memicu perilaku masyarakat yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh, keyakinan COVID-19 adalah senjata buatan akan memicu ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan keengganan mengakses vaksin.

Namun, kepercayaan bahwa COVID-19 adalah hoaks dapat mempengaruhi usaha seseorang melakukan upaya pencegahan. Dalam kondisi ini, selain konsisten meluruskan misinformasi, pemerintah juga perlu memilah kelompok masyarakat sebagai kolaborator komunikasi sains, seperti pemuka agama, influencer, atau akademisi.

Kendati muatannya misinformasi berbeda-beda, penelitian kami menunjukkan upaya perlawanan yang efektif terhadap misinformasi turut meningkatkan kepatuhan upaya pencegahan.

Ketiga, perhatikan aspek gender dalam kampanye anti-misinformasi.

Kami menemukan laki-laki lebih mempercayai teori konspirasi dibandingkan perempuan. Kampanye anti-misinformasi sebaiknya menyesuaikan kondisi tersebut dengan memperhatikan kolaborator komunikasi, medium, hingga perilaku target komunikasi bersangkutan.


Annas Jiwa Pratama dan Benny Prawira, keduanya peneliti independen, berkontribusi dalam penelitian dan penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now