Menu Close
KPR Rumah
Pekerja menyelesaikan pembangunan perumahan di Margadadi, Indramayu, Jawa Barat, Selasa (17/1/2023). Pada tahun 2023 pemerintah menargetkan bisa menyalurkan 220.000 unit rumah subsidi Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) bagi masyarakat berpenghasilan rendah senilai Rp 25,18 triliun. ANTARA FOTO/Dedhez Anggara/hp.

Makin sulit miliki rumah saat resesi, bagaimana memilih opsi pembiayaan hunian yang tepat?

Ancaman krisis ekonomi global kian terasa nyata. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia mencatat inflasi – sebagai salah satu indikator ekonomi yang menggambarkan kondisi perekonomian suatu negara – hingga 5,55% pada 2022. Angka ini naik tajam dari inflasi 2021 yaitu 1,87% dan merupakan angka tertinggi selama 8 tahun terakhir.

Pemerintah mengambil beberapa kebijakan untuk menyikapi hal ini, termasuk dengan menaikkan suku bunga acuan bank sentral. Sejak Agustus 2022, Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga acuan hingga 6 kali, dimulai pada bulan Agustus dan terjadi setiap bulan sampai bulan ini. Tingkat suku bunga acuan yang berada pada 3,50% pada Juli 2022 menanjak bertahap hingga 5,75% pada Januari 2023.

Kendati tujuan akhir dari kebijakan menaikkan suku bunga acuan adalah untuk menekan inflasi, ini akan berdampak terhadap kenaikan suku bunga kredit bank umum, termasuk suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang membuat cicilan semakin mahal. Hal ini akan semakin menyulitkan masyarakat dalam memiliki hunian di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu.

Padahal, hampir separuh populasi Indonesia belum punya akses terhadap hunian layak dan hampir 70% pembeli rumah di Indonesia masih mengandalkan KPR. Guncangan ekonomi akan semakin membuyarkan angan-angan masyarakat untuk dapat memiliki rumahnya sendiri.

Separuh populasi belum punya rumah layak huni

Hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022 yang dilaksanakan oleh BPS menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau di Indonesia berada di kisaran 60,68%, turun dari 60,90% tahun sebelumnya. Artinya, hampir 40% dari rumah tangga di Indonesia masih belum memiliki akses terhadap hunian yang layak dan terjangkau.

Apa yang dimaksud dengan rumah layak huni?

Sejak tahun 2019, BPS telah menentukan klasifikasi hunian layak dengan kriteria memiliki luas tempat tinggal minimal 7,2 meter persegi per kapita dan memiliki akses terhadap air minum dan sanitasi layak.

Selain itu, rumah yang layak huni mesti memiliki ketahanan yang baik yaitu atap terluas berupa beton, genteng, seng, kayu, atau sirap; dinding terluas berupa tembok, plasteran anyaman bambu, kawat, kayu, atau papan dan batang kayu; dan lantai terluas berupa marmer atau granit, keramik, vinil, karpet, ubin, tegel, teraso, kayu, papan, semen, atau bata merah.

Apabila dilihat pada tingkat provinsi, Yogyakarta memiliki tingkat akses hunian layak oleh rumah tangga yang tertinggi di Indonesia, yakni 84,94%. Sementara itu, persentase terendah dimiliki oleh provinsi Papua dengan persentase sebesar (27,28%), Kepulauan Bangka Belitung (30,79%), dan DKI Jakarta (36,69%).

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan akses hunian layak di Indonesia. Hal ini patut menjadi perhatian pemerintah, mengingat hunian layak merupakan bagian dari hak asasi manusia dan merupakan salah satu target pembangunan berkelanjutan (sustainable development goals/SDGs) PBB.

Kesenjangan antara jumlah rumah yang terbangun dengan jumlah rumah yang dibutuhkan rumah tangga, masih menjadi permasalahan utama bagi perumahan di Indonesia. Pemerintah pun telah berupaya menangani permasalahan tersebut melalui beberapa terobosan program pembiayaan perumahan, di antaranya Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), Bantuan Pembiayaan Perumahan Berbasis Tabungan (BP2BT), Subsidi Selisih Bunga (SSB), dan Subsidi Bantuan Uang Muka (SBUM). Namun program-program tersebut masih belum maksimal dalam memenuhi kebutuhan akan akses terhadap rumah layak huni, sebab hanya menjangkau masyarakat yang bekerja di sektor formal saja.

Masyarakat kelas menengah ke bawah yang bekerja di sektor informal masih mengalami kesulitan dalam mengajukan pembiayaan KPR. Selain itu, pada umumnya mereka memiliki kredit lain seperti kredit modal usaha mikro dan kecil, kendaraan bermotor, bahkan paylater dan pinjaman online lainnya, yang akan berpengaruh pada hasil penilaian riwayat kredit oleh BI (BI Checking).

Oleh karena itu, pemerintah – menggandeng para pemegang kepentingan termasuk perbankan – perlu merumuskan kembali kebijakan yang lebih inklusif untuk membantu seluruh lapisan masyarakat memperoleh akses kepemilikan rumah layak huni, khususnya masyarakat yang bekerja di sektor informal.

Bagaimana memilih skema tepat untuk memiliki rumah

Selain pemerintah, masyarakat juga perlu menyikapi kondisi perekonomian yang tidak stabil ini dengan lebih bijak dan cermat dalam hal menentukan pilihan skema untuk memiliki rumah hunian.

Beberapa pilihan skema kepemilikan rumah yang ada saat ini di antaranya Rent To Own (RTO), yakni konsep membeli rumah dengan sistem kontrak atau sewa dalam jangka waktu tertentu. Dengan skema ini, konsumen bisa mencicil kredit rumah atau membayar tunai rumah yang sudah ditempati saat masa sewa berakhir.

Selain itu, ada juga skema staircasing ownership dengan konsep share to equity, atau kepemilikan rumah dibagi menjadi dua antara calon pemilik rumah dan penjual rumah selama masa cicilan berlangsung.

Misalnya, pada tahap pertama, KPR yang harus dibayarkan adalah sejumlah 25% dari total harga rumah sehingga persentase cicilan pun menjadi lebih kecil dan sisa 75%-nya berbentuk sewa. Umumnya, metode ini digunakan untuk hunian vertikal seperti apartemen.

Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menyebutkan bahwa skema ini ada untuk memfasilitasi mereka yang bekerja di sektor formal maupun informal, dengan kriteria yang lebih ketat bagi mereka yang berkerja di sektor informal.

Selanjutnya, terdapat juga skema menabung untuk membeli tanah, sembari menyewa hunian atau tinggal bersama kerabat.

Atau, jika memang ingin mengambil KPR, calon pembeli harus bisa memilih skema pembiayaan yang tepat – baik dari segi uang muka, bunga tetap atau mengambang (mengikuti suku bunga BI), dan tenor atau lama pinjaman yang disesuaikan dengan kemampuan finansial yang dimiliki.

Masyarakat perlu menyadari fleksibilitas kemampuan finansialnya dalam jangka panjang sebelum memutuskan mengambil KPR. Pada umumnya, masyarakat hanya berfokus agar pengajuan KPR dapat disetujui dan lalai untuk memikirkan secara matang kondisi keuangan jangka panjang untuk menyelesaikan cicilan KPR sesuai periode waktu yang telah disepakati.

Selain itu, mitigasi resiko juga harus disiapkan ketika hendak mengambil KPR apabila terjadi pengurangan sumber penghasilan di kemudian hari, misalnya keadaan darurat yang sulit dielakkan seperti pandemi COVID-19 atau ancaman resesi global yang tengah mengancam kini, yang berdampak mengurangi pendapatan masyarakat.

Oleh karena itu, beberapa ahli menyarankan bahwa lebih baik besarnya cicilan yang diambil kurang dari 30% dari total pendapatan, agar tak kaget jika kehilangan pendapatan atau cicilan melambung akibat kenaikann suku bunga.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now