Menu Close
Pendidikan dan keterampilan di ASEAN
Standardisasi pendidikan diperlukan untuk menyiapkan tenaga kerja terampil demi menyokong integrasi ekonomi ASEAN. BeansproutP/shutterstock

Masa depan ketenagakerjaan ASEAN: Keterampilan pekerja yang tak sesuai kemampuan ancam integrasi ekonomi kawasan

Terlepas terpaan pandemi COVID-19 yang mengubah pola pekerjaan dan pendidikan yang ada di seluruh dunia, kawasan ASEAN terus berbenah untuk menjadi pusat pertumbuhan ekonomi. Laporan World Economy Forum (WEF) memprediksi ASEAN menjadi kawasan dengan ekonomi terbesar keempat, dengan 70% populasinya merupakan pasar potensial dari kelas menengah.

Apalagi, terdapat pertumbuhan sektor jasa yang cukup dominan di ASEAN sejak tahun 1990, sebagai substitusi dari sektor manufaktur yang mengalami penurunan pada dekade tersebut. Perubahan sektor jasa ini memiliki dorongan dari belanja pemerintahan yang besar dan memunculkan sektor keuangan yang menjadi penyangga perekonomian.

ASEAN mendeklarasikan Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2003, efektif pada 2005, yang bertujuan menciptakan pasar tunggal dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Namun permasalahannya, terdapat disparitas dalam hal pendapatan dan keterampilan tenaga kerja seiring berkembangnya tenaga terampil. Padahal, keterampilan adalah pilar penting terciptanya basis pasar tunggal seiring perkembangan teknologi, industri dan permintaan di kawasan.

Kondisi pendidikan dan keterampilan di ASEAN

Tingkat angka partisipasi murni (APM) untuk sekolah dasar di kawasan ASEAN berada di atas 95% - kecuali Filipina dan Kamboja - dengan tingkat paritas gender (perbedaan akses) kurang lebih merata di semua negara.

Penyediaan guru bagi anak-anak pun tergolong mencukupi. Rasio guru-murid terbaik berada di Brunei 9,3 (satu guru untuk sembilan murid), sedangkan Kamboja mencapai 44,8.

Namun, partisipasi pendidikan saja tidak cukup. Di negara-negara seperti Kamboja, Malaysia, Laos, Indonesia, dan Filipina, perusahaan masih kesulitan untuk mendapatkan pekerja dengan kemampuan yang sesuai.

Malaysia, misalnya, dalam laporan oleh Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) pada 2019, menegaskan bahwa ketidaksesuaian keterampilan menjadi salah satu masalah terbesar ketenagakerjaan di sana. Atau Kamboja yang dalam dokumen rencana nasional kebijakan ketenagakerjaan tahun 2015-2025 menegaskan bahwa ketidaksesuaian beserta kurangnya tenagadengan keterampilan yang sesuai menjadi hambatan utama pertumbuhan ekonomi.

Padahal, sektor pendukung ketenagakerjaan ASEAN sebetulnya cukup beragam. Sebagai contoh, proporsi ketenagakerjaan bagi tenaga profesional yang terlibat dalam sektor finansial dan juga teknologi mutakhir di Brunei dan Singapura berada di atas 25% dari total populasi bekerja. Indonesia, Filipina dan Thailand memiliki tenaga kerja profesional di sektor jasa secara umum di kisaran 20%. Sementara, pertanian masih cukup dominan di negara seperti Laos dan Kamboja, yakni di bilangan 28%.

Hal ini seharusnya bisa membuat masyarakat Ekonomi ASEAN saling melengkapi satu dengan yang lain untuk membuat kesejahteraan bersama.

Tantangan skill mismatch dan disparitas pendapatan

Konektivitas antar negara ASEAN, beserta keragaman sumber pertumbuhan ekonomi regional, menjadi alat utama untuk mendorong percepatan peningkatan kesejahteraan kolektif di kawasan. Walau begitu, integrasi regional tersebut juga memiliki imbas yakni saling ketergantungan yang semakin tinggi, terutama dalam perdagangan dan ketenagakerjaan. Permasalahan ini memerlukan solusi yang terkoordinasi antar negara.

Belum lagi, ASEAN juga harus menghadapi tantangan berupa automasi pekerjaan, yang berkembang seiring dengan semakin canggihnya teknologi. Automasi merujuk pada aplikasi teknologi dalam proses produksi yang mereduksi peran manusia.

Laporan OECD menunjukkan bahwa negara yang paling rentan dengan automasi adalah Vietnam, Kamboja, dan Indonesia. Pasalnya, negara-negara tersebut mayoritas didominasi oleh industri manufaktur padat karya dan tengah mengalami perkembangan teknologi yang cukup masif.

Hal ini memunculkan kebutuhan akan tenaga kerja yang mampu menjalankan teknologi tersebut. Walaupun mendorong produktivitas dan juga kontribusi dalam perekonomian, automasi berpotensi menimbulkan disparitas pendapatan di masyarakat. Mereka yang tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi terancam kesulitan mendapatkan pekerjaan.

Fenomena ini dikenal dengan istilah multidimensional skill mismatch. Ini menggambarkan bagaimana seharusnya pekerja memiliki alokasi yang sesuai dengan kemampuan dan keterampilannya, namun ternyata terdapat ketidakcocokan keterampilan sehingga tidak mampu memenuhi tuntutan tersebut.

Jika tak diatasi, hal ini berpotensi menimbulkan scarring effect atau efek memar, merujuk pada tingginya tingkat pengangguran, menurunnya tingkat pendapatan, dan sulitnya mencari pekerjaan layak dalam jangka panjang.

Dampaknya, dimensi disparitas pendapatan pun makin meluas. Disparitas pendapatan bukan lagi terkait masyarakat pendapatan tinggi dan rendah atau lintas tingkat pendidikan, tetapi juga untuk masyarakat yang bekerja sesuai dan tidak sesuai dengan keterampilan yang dimiliki.

Bahkan, bisa saja multidimensional skill mismatch membuat disparitas pendapatan semakin mengakar dan lintas generasi. Contohnya, masyarakat berpendapatan tinggi dapat mengakses pendidikan berkualitas, sehingga mereka dapat beradaptasi dengan perkembangan zaman dan memiliki keterampilan sesuai dengan pekerjaan yang tersedia.

Sedangkan, masyarakat berpendapatan rendah hanya dapat mengakses pendidikan seadanya yang menyebabkan keterampilan mereka tidak sesuai dengan kebutuhan pekerjaan. Akibatnya, pendapatan mereka lebih rendah dari yang rata-rata upah yang mereka dapat terima. Hal ini disebabkan oleh keterampilan mereka yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar.

Pengaruhnya adalah pekerja menjadi sulit untuk memperoleh penghidupan yang lebih baik. Bukan tidak mungkin, kesenjangan semakin melebar di antara negara-negara ASEAN yang tingkat kemajuan ekonominya memang belum merata dan masih berjarak.

Jika keterampilan dari pekerja tidak sesuai, maka negara-negara di ASEAN sulit untuk mewujudkan pasar tunggal ekonomi dan sebagian di antaranya berpotensi terperangkap dalam jebakan negara berpendapatan menengah.

Apa yang sebaiknya dilakukan?

Kerangka pemerintah ASEAN menawarkan rekomendasi untuk menggerakkan kurikulum pendidikan menuju digitalisasi. Namun, bertambahnya tenaga kerja yang memiliki keterampilan rendah menjadi tantangan besar.

Negara ASEAN bisa melakukan transformasi pendidikan untuk membuat pekerjanya lebih siap untuk mengambil kesempatan di pasar terintegrasi. Transisi tenaga kerja yang memiliki keterampilan juga dapat dilakukan melalui sekolah vokasi.

Tentu saja, tidak ada suatu solusi yang bisa mencakup keseluruhan permasalahan. Negara-negara ASEAN perlu mengintegrasikan kurikulum pendidikan yang memiliki standardisasi internasional dan menggerakan kerja sama regional dan internasional. ASEAN University Network - jaringan universitas yang didirikan pada 1995 untuk meningkatkan sumber daya manusia di kawasan - perlu dikembangkan dan dimanfaatkan agar bisa secara kolektif menyelesaikan masalah skill mismatch di ASEAN.

Cara lain yang bisa ditempuh adalah melakukan standardisasi pelatihan kerja lewat modul, sehingga negara-negara dapat memahami bagaimana tahapan yang diperlukan untuk kerja sama lintas negara. Dengan berbagi pengalaman, negara-negara dapat mengetahui proses apa saja yang perlu dilakukan dan mengaplikasikannya ke negara masing-masing.

Tahapan yang bisa dilakukan tergantung level pembangunan negara ASEAN. Negara yang masih awal dalam industrialisasi seperti Laos dan Kamboja, berfokus pada kemampuan literasi dan numerasi. Sedangkan, negara eksportir seperti Indonesia dan Thailand seharusnya bisa menggunakan institusi pendidikan menyediakan tenaga berkualitas dan pelatihan. Sementara, negara yang memiliki teknologi mutakhir Singapura dan Malaysia bisa berfokus pada kemampuan teknis tinggi seperti komputer, teknik, dan matematika.

Secara gradual, harapannya setiap negara bisa tumbuh sesuai dengan keterampilan industri dan perkembangan pengetahuannya.

Masyarakat Ekonomi ASEAN seharusnya bahu-membahu dalam menciptakan kesejahteraan bersama dan menjembatani disparitas untuk menuju kondisi integrasi ekonomi yang ideal.

Tulisan ini adalah bagian draft dan seri awal “Future of Works and Education” untuk usulan ASEAN Youth Agenda 2023 dan ditulis bersama dengan Ghifari Firman (Peneliti Ekonomi Pembangunan). Terima kasih atas komentar dari Angelo Wijaya (Co-Chair ASEAN Youth Agenda 2023) yang melengkapi diskusi artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now