Menu Close

Melihat lebih dekat praktik berladang ramah lingkungan “Gilir Balik” masyarakat Ngaung Keruh (bagian 2)

Ladang Gilir Balik di antara rimbunan hutan dan kebun wanatani. Semuanya menjadi mozaik bentang alam yang turut menjaga kelestarian daerah tangkapan air Danau Sentarum. (Rifky/CIFOR), CC BY-NC

Bagian pertama artikel perladangan gilir-balik dapat diakses di tautan ini.

Praktik perladangan gilir-balik telah berlangsung sejak jaman neolitik (sekitar 10.000 tahun yang lalu) dan hingga kini masih ditemukan di banyak tempat di dunia, termasuk di Kalimantan Barat.

Selain bermanfaat untuk pemenuhan pangan masyarakat Ngaung Keruh, sebagai bagian dari Suku Dayak Iban, kearifan adat ini juga bermanfaat merawat lingkungan dan menjaga keutuhan bentang alam di sekitar hulu sungai Kapuas.

Praktik gilir-balik yang merawat lingkungan

Ada stigma negatif yang berkembang sejak dulu bahwa sistem perladangan gilir-balik merusak hutan dan melepas gas rumah kaca. Peladang tradisional juga kerap menjadi kambing hitam apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan.

Nyatanya, beberapa studi menunjukkan stigma tersebut tak sepenuhnya benar.

Salah satu penelitian di Kalimantan Barat bagian utara menemukan bahwa ladang gilir-balik yang menggunakan sistem hetero-kultur (penanaman lebih dari satu jenis tanaman) justru memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan cadangan karbon yang jauh lebih tinggi dibandingkan pertanian dan perkebunan monokultur (sejenis). Praktik tradisional ini juga berperan melindungi plasma nutfah sebagai sumber genetika tumbuhan lokal. Studi yang sama juga menemukan erosi tanah di ladang gilir-balik lebih rendah daripada di perkebunan monokultur. Ketiga hal tersebut ditemukan di ladang-ladang yang menerapkan jarak masa tanam dan masa bera lebih lama.

Di beberapa area, bekas ladang gilir-balik telah menjadi kebun campur alami atau dibiarkan bertumbuh menjadi hutan sekunder, bahkan kembali menjadi habitat satwa-satwa liar. “Kini mayas (orangutan) mudah dijumpai lagi di sekitar bekas ladang,” jelas Rukam (bukan nama sebenarnya), anggota masyarakat Ngaung Keruh.

Orangutan di Taman Nasional Betung Kerihun. Wilayah adat masyarakat Ngaung Keruh berada di antara Taman Nasional Betung Kerihun dan Danau Sentarum, dan karenanya menjadi koridor lintasan yang penting bagi satwa liar termasuk orangutan. (KLHK)

Sebelumnya, masyarakat kampung ini sangat jarang menjumpai orangutan, terutama sejak maraknya pembalakan dan perdagangan liar satwa dilindungi—termasuk orangutan—oleh pihak luar kampung selama 1999-2005

Rukam menceritakan bahwa pembalakan liar dan jalan tanah yang dibuat untuk transportasi kayu menyebabkan erosi dan pelumpuran sungai. Akibatnya, sungai-sungai menjadi keruh dan masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih. Pembalakan liar juga menyebabkan semakin jarangnya satwa-satwa yang berperan menjaga keseimbangan ekosistem dan penyebar biji, termasuk satwa dilindungi seperti orangutan atau burung rangkong gading.

Perubahan tersebut membuat masyarakat Ngaung Keruh berbenah. Sejak 2010, mereka memperkuat penerapan menua (aturan adat dalam Bahasa Iban) dalam pengelolaan bentang alam wilayah mereka.

Mulai 2016, mereka turut memulihkan hutan dengan menanam aneka pohon buah lokal seperti tengkawang, durian, rambutan, manggis, cempedak, jambu, petai dan jengkol, yang juga merupakan pakan orangutan.

Gilir-balik dan bentang alam Kalimantan

Praktik sistem ladang gilir-balik menjadi bagian tak terpisahkan dari tata guna lahan tradisional dan kehidupan masyarakat Dayak yang tinggal di wilayah itu sejak dulu kala.

Bentang alam di koridor Taman Nasional Betung Kerihun dan Taman Nasional Danau Sentarum, Kalimantan Barat, diwarnai oleh kombinasi tembawai (lahan bekas lokasi rumah panjang), umai atau ladang, damun atau bekas ladang yang baru ditinggalkan, dan temuda—lahan yang sudah menjadi hutan muda bahkan hutan sekunder karena sudah lama ditinggalkan.

Beragam tata guna lahan tradisional ini menjadi mozaik bentang alam Kapuas Hulu bersama dengan hutan rawa, hutan perbukitan dan lahan basah. Semuanya berperan penting merawat siklus air sekitar hulu Sungai Kapuas yang mengalir hingga Selat Karimata.

Setiap daerah di Kalimantan Barat memiliki ciri khas yang berbeda antar satu unit sosial terkecil, yaitu komunitas rumah panjang, yang satu dengan lainnya. Perbedaan ini sesuai dengan sejarah, kebudayaan serta kondisi lingkungan dan topografi daerah masing-masing.

Keseluruhan proses penggunaan lahan itu mengikuti kearifan lokal yang berpedoman ketat pada adat istiadat dan nilai-nilai luhur nenek moyang.

Keunikan tata guna lahan tiap komunitas diwariskan turun temurun secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Jika ada perbedaan pemahaman dan praktik antar komunitas yang berbeda, mereka akan mengadakan aum (musyawarah) untuk bepekat (membangun kesepakatan bersama).

Tantangan dan masa depan

Praktik berladang gilir-balik kini dalam kondisi mengkhawatirkan, terutama karena perubahan bentang alam berskala besar untuk perkebunan di antara 2009 – 2013.

“Sekarang sulit cari tempat untuk berladang. Kami juga tidak tahu, di mana nanti anak cucu kami bisa punya lahan untuk bangun rumah dan berladang. Semua sudah jadi perkebunan,” urai beberapa anggota masyarakat di kampung-kampung yang telah dijadikan perkebunan skala besar.

Sementara itu, masyarakat di kampung-kampung tetangganya bercerita, “(Lahan) yang dibuka di sana (di kampung tetangga), di sini yang rugi. Sejak hutan dibuka, ladang kami jadi banyak hama terutama tikus-tikus kecil. Air juga jadi kotor. Sesudah hujan, air seperti berminyak dan ikan-ikan mati.”

Memang, penelitian juga menunjukkan bahwa konversi hutan menjadi perkebunan sawit skala besar mengubah pola hidrologi yang selanjutnya memicu kelangkaan air bersih.

Tantangan lainnya adalah kian berkurangnya keterlibatan kaum muda dalam praktik berladang gilir-balik. Sebagian pemuda meninggalkan praktik ini untuk bersekolah di luar kampung, berkuliah di ibukota provinsi, atau bekerja di kota-kota besar dan di Malaysia.

Masyarakat yang sudah berumur umumnya tak mampu berjalan jauh dan membawa beban berat, sehingga cenderung membuka lahan yang semakin dekat dengan permukiman.

Praktik ini memperpendek masa bera. Padahal, lahan bekas ladang membutuhkan waktu beberapa tahun untuk pemulihan tanah dan tumbuhan.

Ini menjadi kekhawatiran berikutnya, yaitu semakin banyaknya lahan terdegradasi dan kritis di sekitar kampung.

Memperjuangkan kelestarian Ngaung Keruh

Guna memperkuat praktik tradisional dan kepastian hukum adat, Masyarakat Hukum Adat (MHA) Ngaung Keruh sejak 2020—atas dukungan berbagai pihak—menyiapkan usulan pengakuan dan perlindungan keberadaannya kepada Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu.

Peluang ini cukup besar. Sejak 2018, kabupaten ini telah memiliki Peraturan Daerah Kapuas Hulu No. 13/2018 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Selain itu, pada Juli 2023, Bupati telah mengeluarkan Surat Keputusan Pengakuan dan Perlindungan untuk sembilan MHA di Kapuas Hulu.

Upaya masyarakat Ngaung Keruh membuahkan hasil. Pada 29 November 2023, bersama tiga MHA lainnya, mereka mendapatkan SK Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Untuk kepastian dalam pengelolaan hutan adatnya, MHA Ngaung Keruh juga telah mengajukan usulan pengakuan atas hutan adat kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan selanjutnya menjalani proses administrasi dan verifikasi teknis.

Upaya masyarakat Ngaung Keruh adalah sebuah langkah untuk memperpanjang asa dan keberlanjutan, tidak hanya bagi praktik perladangan gilir-balik, tapi bagi keberadaan masyarakat adat, hutan yang tersisa di Kalimantan, dan segala isinya.


Valentinus Heri dari Yayasan Riak Bumi Indonesia berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,900 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now