Menu Close

Melihat perbedaan keunikan gaya kepemimpinan Putin, Zelenskyy dan Biden

Dari kiri: Vladimir Putin, Volodymyr Zelenskyy, dan Joe Biden. Associated Press dan Pemerintah Ukraina

Krisis antarnegara, seperti konflik antara Rusia dan Ukraina yang kini tengah berlangsung, memberi kesempatan bagi kita untuk melihat lebih jauh karakter para pemimpin negara yang terlibat, serta perbedaan model kepemimpinan mereka.

Berdasarkan penelitian yang kami lakukan selama 20 tahun terakhir, kami mengidentifikasi tiga jenis model kepemimpinan yang muncul dalam berbagai macam krisis dan keadaan.

Bicara tentang konflik Rusia-Ukraina, setidaknya ada tiga pemimpin negara yang terlibat baik secara langsung dan tidak langsung, serta menjadi sorotan dunia. Mereka adalah yakni Presiden Volodymyr Zelenskyy (Ukraina), Presiden Vladimir Putin (Rusia), dan Presiden Joe Biden (Amerika Serikat, atau AS).

Masing-masing pemimpin tersebut memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi krisis.

Zelensky, si pahlawan karismatik

Banyak masyarakat dari seluruh belahan dunia mulai memandang Presiden Zelenskky sebagai sosok pemimpin karismatik – meski ia pun enggan dipandang sebagai sosok selebritas.

Sosok pemimpin karismatik cenderung memengaruhi masyarakatnya melalui daya tarik emosional saat memberikan harapan dan visi untuk masa depan negara.

Dalam kampanye presiden tahun 2019, Zelenskyy berusaha menunjukan karismanya dengan cara menampilkan dirinya sebagai sosok yang progresif dan bukan bagian dari orde politik yang lawas. Ia menawarkan gaya kepemimpinan baru yang menjanjikan perubahan untuk bangsanya.

Selama berlangsungnya krisis Rusia-Ukraina saat ini, daya tarik emosional Zelenskyy menjadi semakin terlihat. Dia tidak hanya berhasil menjadi inspirasi bagi rakyatnya sendiri, tetapi juga telah menjadi ikon global dalam waktu singkat.

Putin, sang ideolog

Berbeda dari Zelenskyy, Presiden Putin merepresentasikan sosok pemimpin yang ideologis.

Karakter pemimpin seperti ini biasanya cenderung gemar mengungkit masa lalu, menunjukkan keinginan untuk memutar balik waktu ke masa ketika masyarakat, menurutnya, merasa lebih sejahtera.

Tipe pemimpin ideologis seringkali menggunakan emosi negatif untuk menekankan apa yang mungkin terjadi andai tidak terjadi perubahan.

Sosok pemimpin ideologis dalam diri Putin paling terlihat dari ambisinya untuk mengembalikan Rusia ke era kepemimpinan Vladimir Lenin dan Joseph Stalin, tokoh-tokoh ternama yang pernah memimpin Uni Soviet.

Putin juga pernah menyebut runtuhnya Uni Soviet sebagai “tragedi geopolitik terbesar pada abad ke-20.”

Dalam beberapa tahun terakhir, Putin terlihat benar-benar mulai merealisasikan ambisinya untuk mengembalikan kejayaan Uni Soviet. Salah satunya, ia mengambil alih sebagian wilayah Georgia dan juga Semenanjung Krimea di Ukraina.

Karakter ideologis Putin juga terlihat dari caranya menampilkan secara fisik hal-hal yang menurutnya merepresentasikan nilai-nilai yang mewakili Rusia, termasuk pertunjukkan kekuatan, sejarah, dan [imperialisme](https://www.newyorker.com/news/q-and-a/vladimir-putins-revisionist-history-of-russia-and-ukraine).

Biden, si pragmatis

Presiden Biden dari AS adalah seorang pragmatis. Para pemimpin pragmatis biasanya gemar mencari solusi untuk memecahkan masalah, dan cenderung lebih menggunakan logika dan rasionalitas dibanding daya tarik emosional, dalam memengaruhi masyarakatnya.

Biden berusaha menanamkan pengaruhnya melalui solusi praktis dan seringkali berpegang pada data untuk mendukung segala keputusannya.

Dalam beberapa pidatonya baru-baru ini – di mana isinya memang tidak memuat emosi yang sebesar pidato Zelenskyy maupun Putin – Biden mengungkapkan rencananya untuk menentang Rusia melalui sanksi ekonomi dan pembentukan koalisi internasional.

Karakter pragmatis memang kurang memiliki pengaruh secara emosional. Namun, di dunia dengan sistem politik yang berbeda-beda – dan terpecah belah – pendekatan pragmatis seringkali mampu membuka ruang terwujudnya persatuan.

Tiga pemimpin yang saling bertolak belakang

Pendekatan kepemimpinan yang berbeda dari ketiga presiden tersebut memberikan gambaran tentang bagaimana cara mereka merespons segala sesuatu yang akan terjadi.

Pemimpin pragmatis menjadi sosok yang paling fleksibel dan mudah beradaptasi. Mereka bisa saja mengubah strategi pendekatan mereka sesuai kebutuhan demi memecahkan masalah.

Sikap Biden saat ini menunjukkan bahwa sebagai pemimpin pragmatis, ia dapat mengenakan sanksi ekonomi yang belum pernah dilakukan sebelumnya dan berdampak luas. Meski menerjunkan pasukan AS secara langsung belum menjadi opsi saat ini, pemimpin pragmatis sebenarnya siap mempertimbangkan berbagai macam solusi.

Pemimpin karismatik seperti Zelenskyy dapat memberi energi kepada pendukungnya dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pemimpin lain. Ini terbukti dari banyaknya sumbangan besar-besaran dan dukungan lain dalam berbagai bentuk untuk Ukraina dari seluruh dunia. Ini juga memberi semangat kepada tentara Ukraina yang tengah berjuang keras melawan invasi Rusia.

Namun, pada akhirnya, pendekatan karismatik bisa menjadi kurang efektif karena hanya terbatas pada pengaruh fisik dan emosional.

Yang terakhir, dan mungkin paling menonjol, para pemimpin ideologis seperti Putin sulit untuk digoyahkan dan biasanya tidak mau berkompromi. Mereka dapat mendorong masyarakatnya untuk berkorban dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh pemimpin karismatik maupun pragmatis. Namun, hal tersebut hanya dapat terjadi jika masyarakat melihat bahwa pemimpin tersebut memiliki nilai-nilai yang sama dengan mereka.

Sebagian masyarakat di Rusia telah menunjukkan penolakan terhadap ambisi Putin untuk membangkitkan kembali Uni Soviet.

Masyarakat sipil Rusia merasa frustasi dalam menjalani kesehariannya akibat sanksi ekonomi dunia. Beberapa pasukan tentara Rusia juga mengakui bahwa mereka mengalami suatu dilema moral akibat konflik dengan negara tetangga mereka.

Bahkan, menurut beberapa laporan, upaya Rusia untuk pembunuhan terhadap Zelenskyy gagal karena diduga ada pejabat pemerintah Rusia yang diam-diam memberitahu otoritas Ukraina tentang rencana tersebut.

Berdasarkan perhitungan, dalam konflik ini, jelas Rusia memiliki militer yang jauh lebih besar daripada Ukraina. Jika Ukraina selamat dari konflik, salah satu kemungkinan penyebabnya adalah bahwa kepemimpinan ideologis Putin tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan masyarakat Rusia.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now