Menu Close

Memahami sisi gerakan politik Jemaah Islamiyah

Personel polisi membawa terduga teroris menuju mobil tahanan setibanya di Bandara Internasional Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, pada Maret 2021. Fauzan/Antara Foto

November 2021 lalu, kelompok teroris Jemaah Islamiyah (JI) kembali menghiasi berita utama berbagai media. Tiga orang anggota JI ditangkap di Bekasi, Jawa Barat. Yang menarik perhatian publik, seorang di antaranya ternyata merupakan anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Ini bukan pertama didapati ada anggota JI di dalam lembaga penting. Pada awal bulan yang sama, kepolisian menangkap seorang guru pegawai negeri di Lampung karena diduga berperan dalam perekrutan dan pengumpulan dana untuk operasi JI. Pada September 2021, kepolisian menangkap seorang pegawai Badan Usaha Milik Negara juga untuk dugaan penggalangan dana.

Penangkapan-penangkapan tersebut memberi gambaran pada kita seberapa jauh penetrasi JI ke dalam berbagai kelompok; bahkan kelompok-kelompok yang memiliki posisi cukup penting di masyarakat.

Fakta ini tentu mengkhawatirkan publik. Namun, sebenarnya potensi penyusupan JI ke dalam lembaga atau organisasi resmi sudah dapat dibaca melalui arah organisasi JI sejak 2010 hingga 2018 di bawah kepemimpinan Para Wijayanto.

Kapabilitas tinggi, intensi rendah

Para pengkaji dinamika dan operasi kelompok teror sepakat bahwa kapabilitas merupakan salah satu cara mengukur tingkat bahaya dan keganasan suatu kelompok.

Kapabilitas dapat dilihat dari usia kelompok, ukuran kelompok, kontrol atas teritori, dan aliansi dengan kelompok lain. Alat operasional dan alat organisasi juga menjadi dua hal penting yang menandakan kapabilitas kelompok teror.

Alat operasional adalah hal-hal yang menunjang keberhasilan serangan teror; ini termasuk komando dan kendali, persenjataan, ruang operasional, pelatihan, intelijen, uang, dan keamanan operasional. Sementara alat organisatoris adalah hal-hal yang menjaga agar kelompok teror tetap berfungsi sebagai suatu unit yang kohesif; ini mencakup ideologi, kepemimpinan, sumber perekrutan, dan publisitas.

Semakin banyak indikator atau alat-alat itu dimiliki oleh suatu kelompok, maka semakin tinggi kapabilitasnya. Semakin tinggi kapabilitas, mereka semakin mematikan.

JI memenuhi banyak indikator di atas.

JI jelas memiliki basis ideologi jihadisme salafi yang kuat yang membuat anggota-anggotanya tidak segan menggunakan kekerasan.

Soal kepemimpinan, JI dipimpin oleh Amir yang memiliki kecakapan intelektual dan berpengalaman di lapangan dalam sosok Para Wijayanto. JI memiliki basis massa yang tidak pernah habis dari jaringan pesantren dan keluarga para jihadis, yang umumnya merupakan pemuda.

Jejak terorisme mereka di negeri ini — antara lain lewat Bom Bali I dan Bom Kedutaan Besar Filipina - membuat setiap gerak-gerik mereka menjadi pusat perhatian.

JI juga memenuhi indikator komando dan kendali, persenjataan, pelatihan, intelijen, uang, dan keamanan operasional.

Bentuk organisasi yang hierarkis-birokratis membuat JI harus memiliki seorang pemimpin yang bertugas mengarahkan dan mengendalikan operasi kelompok. Para Wijayanto mengisi posisi ini pada periode 2008 hingga 2018.

JI memiliki sumber persenjataan internal yang memadai. Tercatat bahwa mereka memiliki bengkel pembuatan senjata api dan pernah membangun bunker untuk menyimpannya. JI membekali kader-kadernya dengan kemampuan bela diri, dan juga kemampuan perang serta militer dengan mengirimkan mereka ke Suriah untuk berlatih bersama kelompok Al-Nusrah. Pelatihan dengan Al-Nusrah, membuat JI mungkin menjadi satu-satunya kelompok teror di Indonesia dengan anggota yang memiliki kemampuan sniper (penembak runduk) dan mengoperasikan artileri.

JI juga memiliki anggota khusus intelijen yang bertugas mengumpulkan informasi dan menganalisis kondisi. Selain itu, para anggota juga dibekali kemampuan kontra-intelijen, pengelabuan, dan komunikasi tanpa terdeteksi.

JI memiliki sumber pendanaan mandiri yang besar dan beragam, mulai dari kebun kelapa sawit, usaha cukur rambut, hingga rumah makan. Sehingga, mereka mampu menggaji dan memberangkatkan para anggotanya ke Suriah secara mandiri.

Dengan berbagai indikator ini, JI merupakan kelompok yang sangat mematikan.

Namun, di bawah kepemimpinan Para Wijayanto, JI justru tidak mematikan. Selama 2010 hingga 2018, bahkan tidak ada catatan yang secara kuat mendokumentasikan keterlibatan JI dalam serangan teror.

Ini menunjukkan rendahnya intensi JI untuk melakukan serangan.

Satu-satunya indikator kapabilitas yang tidak dipenuhi oleh JI adalah ruang operasional. Para Wijayanto mengungkapkan bahwa JI masih berada dalam tahap menemukan wilayah yang kondusif sebagai basis operasi atau tempat perlindungan.

Dengan pertimbangan ruang operasional, JI di bawah Para Wijayanto memutuskan untuk menghindari penggunaan kekerasan langsung. Pengalaman panjang menyadarkan mereka bahwa tujuan akhir lebih penting ketimbang proses (aksi teror).

Ketiadaan ruang operasional seakan-akan membuat kapabilitas JI yang tinggi tidak tampak karena tidak adanya intensi untuk melakukan serangan.


Read more: Budaya patriarki dan doktrin keagamaan berperan penting dorong perempuan terlibat aksi terorisme


Konsep ‘Tas Tos’

Para Wijayanto naik ke tampuk pimpinan JI setelah dua orang tokoh terpenting sebelumnya, Zarkasi dan Abu Dujana, ditangkap pada 2007.

Dalam memimpin JI, Para menerapkan sebuah gagasan yang disebut sebagai ‘Amir Jama’ah Islamiyah: Tuntunan Total Amniah Sistem dan Total Solution’ (Tas Tos).

Gagasan itu dimaksudkan untuk mengatasi berbagai masalah operasional dan organisatoris yang dihadapi JI setelah ditetapkan sebagai korporasi terlarang pada 2008.

Tujuan utama dari ‘Tas Tos’ adalah agar aktivitas utama JI tidak terdeteksi dan pemimpin utamanya tidak diketahui.

JI lalu melakukan sistem rekrutmen berlapis, penguatan kapasitas intelijen dan kontra-intelijen bagi anggota kelompok, serta penerapan sistem jaringan terputus.

Di bawah Para Wijayanto, struktur JI dibagi ke dalam beberapa bidang sehingga terorganisasi rapi dan disiplin. Bidang diplomasi, misalnya, benar-benar diberangkatkan ke luar negeri untuk menjalin kerja sama dengan para jihadis internasional untuk menemukan kamp pelatihan militer. Bidang keuangan memiliki prosedur layaknya organisasi pada umumnya dengan laporan tahunan sebagai bentuk pertanggungjawaban keuangan.

Pada saat bersamaan, kegagalan besar Bom Bali I membuat JI sadar bahwa kekerasan tanpa pandang bulu bukanlah pilihan yang tepat di tengah masyarakat yang tidak memberikan dukungan.

Akhirnya, mereka melakukan penguatan internal organisasi dan upaya untuk merebut simpati publik melalui kegiatan dakwah dan menggelar majlis-majlis. Namun ada satu catatan penting, kegiatan-kegiatan tersebut tidak boleh membawa embel-embel JI.

Arah baru organisasi itu membuat JI berusaha menyusup ke berbagai kelompok, entah itu sosial, agama, bahkan politik.

Setelah mereka mampu meraih dukungan publik melalui pengaruhnya di masyarakat melalui kelompok-kelompok tersebut, barulah JI akan secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

Ketika perlawanan yang dilakukan sukses, baru kemudian sebuah negara berdaulat berasaskan Islam dapat didirikan dan kemudian memperoleh pengakuan dari negara-negara lain.


Read more: Tiga cara sistem pendidikan Indonesia bisa berperan mencegah radikalisme dan ideologi kekerasan


Merespons strategi baru JI

Upaya JI untuk beradaptasi dengan menjadi lebih lunak dan pragmatis sebetulnya banyak dilakukan oleh kelompok teror di tempat-tempat lain.

Semakin lama usia suatu kelompok, biasanya mereka akan mulai mengambil langkah yang lebih bijak, dengan mendirikan partai politik baru, membuat sayap politik organisasi, atau bergabung ke kelompok atau organisasi politik resmi.

Cara-cara ini lunak, non-kekerasan, dan - hingga taraf tertentu - legal.

Untuk meresponsnya, otoritas tidak bisa hanya mengandalkan pendekatan keamanan semata. Aksi kontra-teror seperti penangkapan atau pembunuhan anggota kelompok teror tidak akan ampuh karena kelompok teror sudah bermain pada level sosial dan politik.

Perlu upaya lebih keras untuk mencegah masyarakat tertarik pada gagasan yang dibawa oleh kelompok seperti JI melalui sosialisasi terus-menerus mengenai dampak buruk pemahaman yang eksklusif.

Terhadap JI, pemerintah harus menjaga agar mereka tetap berada jalur trek non-kekerasan, dengan tidak melakukan operasi bersenjata secara tidak pandang bulu yang dapat dipolitisasi untuk menyulut serangan teror balasan. Ini tentunya dilakukan sambil tetap memberikan pengawasan ketat.

JI mungkin memang berubah, tetapi pada dasarnya mereka tetap menganut pemahaman jihad yang sempit, yang sewaktu-waktu dapat menampilkan sisi keras yang mematikan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now