Menu Close
Tiga calon presiden, Anies Baswedan (kanan), Prabowo Subianto (tengah) dan Ganjar Pranowo (kiri), usai debat perdana capres di Gedung KPU, Jakarta. Galih Pradipta /Antara Foto

Membaca arah kebijakan luar negeri Indonesia pasca-Pemilu 2024 tidak cukup dari dokumen visi misi

Menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) serentak 2024, para ahli Hubungan Internasional ditantang untuk menerka akan seperti apa arah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah pemerintahan baru nanti. Dokumen visi misi kandidat presiden dan wakil presiden tentunya kini menjadi sumber data utama dalam memproyeksikan hal tersebut.

Namun, faktanya visi misi tertulis saja belum tentu akan benar-benar merefleksikan seperti apa arah kebijakan luar negeri kandidat secara praktiknya nanti ketika terpilih. Ini karena ada faktor idiosinkratik (siapa yang menjabat menteri luar negeri atau jabatan terkait lainnya) yang akan memengaruhi arah kebijakan politik luar negeri ketika rezim baru nanti berlangsung. Ada pula faktor institusional, yakni tentang seberapa terinstitusionalisasinya sebuah isu di dalam kebijakan luar negeri Indonesia.

Ini bisa terlihat dari adanya diplomasi Islam dan diplomasi gender selama periode pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko “Jokowi” Widodo, yang banyak dipengaruhi oleh menteri luar negeri yang menjabat di era-era tersebut.

Diplomasi Islam

Visi misi SBY periode 2004 dan 2009 tidak mencantumkan Islam sebagai bagian dari diplomasi luar negeri Indonesia. Namun, dalam praktiknya, pemerintahan SBY menjalankan diplomasi Islam melalui beragam dialog lintas agama. Ini menjadi salah satu faktor yang memengaruhi arah kebijakan luar negeri Indonesia selama kepemimpinannya.

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 dan 2010-2014 selama periode SBY tidak memasukkan diplomasi Islam sebagai bagian dari arah kebijakan luar negeri. RPJMN 2010-2014 hanya mengakui Islam salah satu kekuatan Indonesia di dalam Hubungan Internasional. Sedangkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 menyatakan bahwa kemampuan Indonesia memadukan Islam dan demokrasi merupakan salah satu kekuatan internasional yang harus terus dikembangkan.

Jadi, meskipun pemerintah sadar dan mengakui bahwa Islam adalah salah satu kekuatan diplomasi Indonesia, ini tidak serta merta menjadikannya prioritas pelaksanaan kebijakan luar negeri.

Inisiatif untuk mengimplementasikan diplomasi Islam dalam pelaksanaan kebijakan luar negeri pada masa SBY datang dari Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri (Menlu) periode 2001-2009. Sebelumnya, Wirajuda telah aktif mendorong Indonesia mempromosikan Islam ke luar negeri melalui jalur diplomasi. Salah satunya melalui International Conference of Islamic Scholars (ICIS).

Inisiatif Wirajuda lalu diinstitusionalisasikan ke dalam Rencana Strategis Kementerian Luar Negeri (Renstra Kemenlu) 2010-2014 yang menyebut bahwa untuk meningkatkan hubungan antara Indonesia dan kawasan Amerika dan Eropa, salah satu strategi yang akan digunakan adalah “mempromosikan kompatibilitas demokrasi dengan nilai-nilai Islam kepada negara-negara di kawasan Amerika dan Eropa berdasarkan pengalaman Indonesia.”

Sementara itu, ketika Jokowi memimpin, visi dan misinya pada periode pertama (2014) sudah menyebut posisi internasional Indonesia sebagai negara dengan mayoritas muslim: “memperkuat peran Indonesia sebagai negara demokratis dan berpenduduk mayoritas Muslim moderat dalam mendorong kerja sama global dan regional untuk membangun demokrasi dan toleransi antarkelompok.”

Diplomasi Islam jelas dicantumkan sebagai salah satu kebijakan luar negeri Indonesia pada periode kedua Jokowi (2019): “memperkuat kepemimpinan Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, dengan mempromosikan Islam yang moderat (Wasathiyyah), mempererat Ukhuwah Islamiyah sesama Muslim di dunia.”

Selama pemerintahan Jokowi pun diplomasi Islam dilaksanakan melalui dialog lintas agama, lokakarya internasional, penunjukan utusan khusus urusan keagamaan (special envoy for religious affairs), dan pendirian Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII).

Di dalam Renstra Kemenlu 2015-2019, diplomasi Islam telah menjadi prioritas arah kebijakan luar negeri. Namun, pendekatan ini belum masuk menjadi bagian arah kebijakan dan strategi serta arah kebijakan Kementerian Luar Negeri Indonesia (Kemenlu).

Sebaliknya, di dalam Renstra Kemenlu 2020-2024, diplomasi Islam hanya disebutkan di bagian capaian renstra sebelumnya. Diplomasi Islam tidak menjadi prioritas politik luar negeri maupun arah kebijakan dan strategi Kemenlu.

Dengan kata lain, selama masa Jokowi, posisi diplomasi Islam secara dokumentasi masih inkonsisten, namun tetap dilaksanakan dan berkelanjutan karena sudah terinstitusionalisasi di dalam kebijakan luar negeri.

Diplomasi gender

Visi misi SBY tahun 2004 dan 2009 tidak mengangkat isu gender di dalam diplomasi Indonesia. RPJMN 2004-2009 juga tidak membahas diplomasi gender. Sementara, RPJMN 2010-2014 hanya membahas gender dalam konteks hukum internasional yang telah diratifikasi Indonesia, pelaporan transparansi dan akuntabilitas, dan penguatan hubungan bilateral dan peningkatan kerja sama serta pembangunan kapasitas dalam bidang hak asasi manusia (HAM).

Implementasi diplomasi gender pada masa SBY juga sebatas aktivitas business as usual berupa ratifikasi dan penandatanganan kerja sama antarnegara, seperti kerja sama pemberdayaan perempuan dan peningkatan kesetaraan gender antara Indonesia dan Timor-Leste.

Perubahan terjadi pada periode pemerintahan Jokowi melalui sejumlah inisiatif, seperti menginisiasi pembentukan Southeast Asian Network of Women Peace Negotiators and Mediators pada 2019 dan Resolusi PBB 2538 tentang pelibatan perempuan sebagai pasukan penjaga perdamaian PBB.

Dokumen visi misi Jokowi 2014 dan 2019 sebenarnya tidak mencanangkan diplomasi gender sebagai bagian dari kebijakan luar negeri. Dokumen tersebut hanya menyebutkan akan meningkatkan keterlibatan perempuan dalam politik, pemerintahan dan pembangunan serta menguatkan perencanaan dan penganggaran yang responsif gender, namun tidak secara khusus menyentuh implementasi gender dalam kebijakan luar negeri.

Pada periode pemerintahan Jokowi, implementasi diplomasi gender merupakan hasil dari faktor idiosinkretik, yaitu Retno Marsudi sebagai Menlu. Sejak 2005, Retno (saat itu Direktur Eropa Barat, Kemenlu) telah mengedepankan wacana pengarusutamaan gender di dalam kebijakan luar negeri. Lalu ketika menjadi menteri, ia berusaha mengimplementasikannya.

Faktor idiosinkretik ini kemudian termanifestasi ke dalam Renstra Kemenlu 2015-2019 dan 2020-2024, dengan memasukkan semangat pengarusutamaan gender. Salah satu arah kebijakan adalah memperkuat penganggaran berbasis gender di Kemenlu dan menegaskan bahwa isu perempuan, perdamaian dan keamanan, akan tetap menjadi perhatian politik luar negeri Indonesia.

Terkait hal itu, Renstra Kemenlu 2015-2019 menyebut Bali Democracy Forum (BDF), ASEAN, dan lembaga multilateral lainnya menjadi forum bagi diplomasi gender Indonesia.

Pada akhirnya, membaca arah kebijakan luar negeri Indonesia ke depan, khususnya pascapemilu 2024, kita juga perlu melihat faktor idiosinkretik dan institusional selain menelaah visi dan misi tiap kandidat presiden.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now