Menu Close

Memecah tabu, melindungi anak dari kekerasan seksual: pentingnya edukasi kesehatan reproduksi sejak dini

Aktivis Persatuan Rakyat Untuk Pembebasan Perempuan berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, 8 Maret 2022 untuk menuntut RUU Tindak Pidana kekerasan seksual disahkan. ANTARA FOTO/Novrian Arbi/aww

Kita perlu menormalisasi upaya pendidikan terkait seksualitas dengan bahasa yang mudah dipahami dan tidak vulgar. Ini bertujuan untuk memecah tabu di masyarakat seputar pembicaraan seksualitas dan pendidikan reproduksi di kalangan anak dan remaja.

Kisah Pak Ribut, seorang guru SD di Lumajang yang mencoba mengedukasi anak didiknya terkait seksualitas perlu mendapat perhatian. Kisah tersebut sempat memancing reaksi kontroversi di media sosial.

Padahal, upaya yang dilakukan Pak Ribut sebagai pendidik perlu diapresiasi. Ia menggunakan bahasa yang lugas tapi tidak vulgar sehingga mudah dipahami oleh peserta didik.

Pendidikan kesehatan reproduksi membutuhkan upaya demikian agar peserta didik tidak merasa canggung untuk membahas terkait seksualitas.

Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia - Kesehatan Reproduksi Remaja pada 2017 menunjukkan sekitar 54% remaja laki-laki dan 20% remaja perempuan tidak pernah berdiskusi sama sekali tentang kesehatan reproduksi dengan siapa pun sebelum mereka mengalami menstruasi atau mimpi basah pertama kali.

Kekerasan seksual di tengah tabu seksualitas

Pemberitaan viral Pak Ribut seakan menegaskan kembali pentingnya edukasi diberikan sejak dini. Namun, sebagian masyarakat belum memahami urgensinya dan menganggapnya tabu.

Padahal, kenyataan menunjukkan kasus dan pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak semakin marak. Kita berharap Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang baru disahkan oleh parlemen bisa menurunkan kasus kekerasan seksual sehingga para korban mendapatkan keadilan.

Tren jumlah korban kekerasan terhadap anak meningkat dari tahun-tahun. Pada 2019 ada 12.285 kasus, lalu naik jadi 12.425 (2020) dan pada 2021 melonjak hingga 15.972 kasus. Pada Januari 2022 saja jumlah kekerasan seksual terhadap anak bahkan mencapai 797 kasus.

Dokumen Profil Anak Indonesia 2021 juga menyebutkan hampir separuh (46,7%) kasus kekerasan yang terjadi pada anak adalah dalam bentuk kekerasan seksual. Ini merupakan peringatan bagi semua pihak.

Hal yang membuat semakin pilu adalah, pelaku kekerasan seksual tersebut umumnya merupakan orang terdekat, bahkan ayah kandung. Ada juga pelaku lainnya seperti gurunya sendiri, yang mengakibatkan korban mengalami kehamilan.

Apabila permasalahan ini tidak dicarikan solusi segera, tidak menutup kemungkinan semakin banyak anak yang menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual.

Di level lembaga pendidikan, masyarakat dan keluarga, kita perlu mengajarkan kesehatan reproduksi untuk anak sehingga mereka dapat memahami pesan-pesan penting terkait kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, serta consent(persetujuan)_ . Pengetahuan yang benar seputar hal-hal tersebut akan memandu anak-anak untuk mengenali risiko dan ancaman yang datang kepadanya.

Dengan memahami itu semua, kita berharap anak memiliki bekal pengetahuan sehingga terhindar dari kekerasan seksual, baik sebagai korban maupun pelaku.

Penolakan terhadap pendidikan kesehatan reproduksi

Pengabaian pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja dan anak-anak dapat memengaruhi pemahaman mereka terhadap kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, dan juga potensi kekerasan seksual yang diterima oleh mereka.

Anak-anak sudah semestinya memahami pendidikan kesehatan reproduksi sesuai dengan usia. Harapannya, dia dapat mengambil keputusan terkait kepemilikan tubuhnya dan terhindar dari berbagai kekerasan seksual. Melihat kondisi demikian, pendidikan kesehatan reproduksi yang komprehensif mutlak menjadi keharusan.

Akan tetapi, tidak semua masyarakat menganggap urgensi pendidikan kesehatan reproduksi. Bahkan ada pandangan bahwa pendidikan kesehatan reproduksi justru pintu masuk hubungan seksual bagi remaja sehingga harus ditinggalkan.

Pandangan ini menganggap pendidikan reproduksi yang komprehensif hanya dipahami sebatas hubungan seksual semata. Padahal pendidikan reproduksi bermakna sangat luas dan dapat menjadi pencegahan dalam kekerasan seksual.

Pandangan lainnya adalah adalah tabu apabila suatu pihak mengajarkan sesuatu berbau seksualitas kepada anak-anak.

Dari data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia - Kesehatan Reproduksi Remaja pada 2017, peran orang tua sebagai sumber informasi pubertas bagi remaja juga dipertanyakan. Hanya sedikit remaja putri yang mengakui sumber informasi pubertas mereka dari ibu (17,3%) dan ayah (1,7%). Angka ini jauh di bawah peran guru (78,7%), teman (25,1%), dan internet (21,5%) sebagai sumber informasi.

Remaja putra lebih memprihatinkan, hanya 3,9% yang mengaku mendapat informasi pubertas dari ibu dan 2,7% dari ayah. Ini jauh kalah dominan dibandingkan peran guru (63,2%), teman (40,5%), dan internet (19,3%).

Situasi ini tentu saja berdampak pada tidak memadainya pengetahuan mereka terkait kesehatan reproduksi, seperti terkait pubertas, masa subur, risiko kehamilan, anemia pada remaja.

Kecanggungan orang tua dan masih adanya pandangan keliru tersebut berakibat penolakan terhadap pendidikan reproduksi yang memang dibutuhkan oleh anak, termasuk remaja. Tentu saja, anak harus menanggung konsekuensi atas ketidaktahuannya terhadap apa yang semestinya mereka pahami terkait dengan kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, dan potensi kekerasan seksual yang dialami.

Bukan hanya tugas guru

Dalam lingkup keluarga, hasil survei Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (sekarang BRIN) pada 2017 menemukan mayoritas responden remaja 15-24 tahun di Kota Medan tidak pernah mendiskusikan isu terkait pubertas (78,6%) dan seksualitas (81,4%) kepada ayah mereka. Sementara itu, mereka yang tidak pernah mendiskusikannya dengan ibu mencapai 40,7% (pubertas) dan 55,9% (seksualitas).

Hal ini dipertegas temuan survei yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyebutkan guru (81,8%), teman (59,4%), dan internet (50,9%) sebagai sumber informasi mereka terkait pubertas, jauh lebih tinggi dibandingkan peran ibu (46,6%) dan ayah (20,9%).

Di era digital, internet dan media sosial memang menjadi sumber informasi yang nyaman bagi remaja dan anak terkait kesehatan reproduksi. Studi di Barat juga sudah banyak menunjukkan bahwa edukasi kesehatan reproduksi remaja berbasis internet dan media sosial juga berperan penting dalam peningkatan pengetahuan, sikap, dan perilaku remaja.

Namun begitu, anak-anak dan remaja mesti dibekali kemampuan literasi agar bisa menyaring informasi yang bertebaran.

Dalam konteks Indonesia, literasi media digital menjadi semakin penting. Sebab, analisis We Are Social & Hootsuite (2021) menunjukkan dari total 274 juta penduduk Indonesia, 73,7% merupakan pengguna internet dan 61,8% merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata waktu yang dihabiskan untuk mengakses internet dan media sosial adalah 8 jam 52 menit dan 3 jam 14 menit dalam sehari.

Perlu peran serta semua pihak

Edukasi terkait pengetahuan reproduksi bukan hanya tugas sekolah, melainkan juga semua pihak, baik itu keluarga, masyarakat, dan pemerintah.

Mengacu pendekatan (model) ekologi yang dikembangkan WHO untuk melihat determinan kesehatan dan perkembangan remaja, semua pihak, baik individu anak dan remaja itu sendiri, keluarga, teman sebaya, lingkungan sosial, lingkungan kebijakan, maupun lingkungan yang lebih makro seperti globalisasi di era digital perlu mengambil peran dalam memenuhi hak kesehatan reproduksi anak dan remaja.

Di tengah masyarakat yang masih menganggap tabu pendidikan kesehatan reproduksi, kita perlu upaya bersama untuk terus menyampaikan pesan akan pentingnya pemahaman terkait seksualitas. Selain itu, kita perlu membiasakan upaya edukasi terkait seksualitas dengan bahasa yang sederhana dan edukatif.

Jika ruang-ruang pembicaraan terkait seksualitas semakin terbuka, maka pemahaman anak dan remaja terhadap isu tersebut semakin dalam. Hal ini tentu berdampak positif terhadap pengetahuan mereka terkait dengan kepemilikan tubuh, batasan-batasan tubuh, serta mereka dapat mengungkapkan consent sekaligus menghargai consent orang lain.

Kondisi demikian akan membuat mereka melindungi diri mereka sendiri dan sebagai pencegahan untuk tidak melakukan kekerasan seksual terhadap orang lain. Pada akhirnya, mereka akan terhindar menjadi korban maupun pelaku kekerasan seksual.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now