Menu Close

Memindahkan ibu kota ke Kalimantan tingkatkan risiko kebakaran hutan dan tidak selesaikan masalah Jakarta

Harapannya adalah bahwa membangun ‘kota pintar di hutan’ di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara akan meringankan berbagai masalah di Jakarta. Tapi hal tersebut tidak sesederhana itu. EPA/Stringer

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo telah resmi mengumumkan Kalimantan Timur sebagai lokasi yang direncanakan menggantikan Jakarta sebagai ibu kota negara.

Rencana untuk membangun ‘kota pintar di hutan’ di Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, diperkirakan akan meringankan beban Jakarta). Jakarta yang memiliki 10 juta penduduk masih bergulat dengan masalah polusi, kemacetan, banjir, hingga ancaman tenggelam.

Namun, memindahkan ibu kota negara ke pulau Kalimantan yang memiliki sejumlah besar lahan gambut yang mudah terbakar meningkatkan risiko kebakaran hutan dan menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan secara signifikan. Selain itu, pemindahan ibu kota tidak menjamin masalah lingkungan di Jakarta akan terselesaikan.

Risiko kebakaran hutan yang besar di Ibukota baru

Lokasi yang terpilih sebagai ibu kota baru tidak jauh dari danau Mahakam, yang merupakan lahan gambut dan habitat bagi beberapa spesies langka dan dilindungi, antara lain lumba-lumba Irrawaddy (Orcaella brevirostris) atau pesut. Kebakaran di lahan gambut menjadi sumber asap pekat yang menyelimuti berbagai wilayah Indonesia, termasuk pada tahun ini.

Untuk membangun sebuah kota baru, pemerintah perlu membuka lahan untuk membangun kantor pemerintahan, perumahan dan infrastruktur lainnya yang dibutuhkan. Laporan media menyebutkan pemerintah Indonesia telah menyediakan 180.000 hektare tanah untuk pembangunan kota baru tersebut.

Maka, tidak mengherankan apabila organisasi lingkungan seperti Greenpeace Indonesia khawatirakan dampak dari pembangunan fisik ibu kota negara yang baru terhadap hutan dan spesies di dalamnya, seperti orang utan.

Dampak langsung dari pembangunan kota pada hutan, sayangnya, hanya salah satu dari banyak dampak negatif pada lingkungan dan bahkan bukan yang paling signifikan.

Setidaknya satu setengah juta pegawai negeri akan pindah ke ibu kota negara yang baru. Sementara itu, dengan populasi 900.000 jiwa saat ini, wilayah Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara sudah memberi dampak pada lingkungan sekitar.

Populasi yang meningkat pesat di dekat danau Mahakam akan meningkatkan risiko kebakaran lahan gambut di daerah itu.

Semakin banyaknya orang yang bermigrasi ke ibu kota negara baru akan mendorong ekspansi lahan pertanian karena permintaan makanan meningkat.

Dan orang masih sering membakar lahan untuk ekspansi pertanian meskipun ada larangan penggunaan api untuk pembukaan lahan di Indonesia.

Lebih lanjut, penelitian saya dengan beberapa rekan lainnya menunjukkan kebakaran di Indonesia tidak hanya terkait dengan aktivitas pertanian berskala besar ataupun kecil, tapi terkait juga dengan aktivitas mata pencaharian lainnya seperti berburu dan memancing.

Orang-orang yang menempati wilayah tersebut akan meningkatkan aktivitas perburuan dan penangkapan ikan untuk dijual ke penduduk kota. Selain itu, para penduduk baru juga diprediksikan akan mengunjungi area hutan dan lahan gambut untuk rekreasi dan aktivitas lainnya.

Ketika orang melakukan aktivitas perburuan dan penangkapan ikan saat musim kering, mereka akan membuat api, membakar tanaman untuk mencari kolam untuk memancing. Api tersebut bisa memicu kebakaran.

Risiko besar kebakaran hutan di area tersebut sungguh nyata. Selama kekeringan akibat El Nino terburuk yang pernah tercatat di Indonesia, yang terjadi tahun 1997-1998, api melahap wilayah Mahakam dan sebagian lain wilayah Kalimantan Timur. Provinsi ini mengalami dampak terburuk akibat kebakaran lahan dan hutan saat itu.

Jika kebakaran yang sama terjadi lagi, dan sangat mungkin terjadi karena perubahan iklim, maka ibu kota negara yang baru akan lebih rentan berhadapan dengan asap kebakaran hutan dan lahan yang bisa berlangsung berbulan-bulan.

Mengurangi permasalahan Jakarta

Permasalahan lingkungan yang sekarang dihadapi Jakarta diprediksi akan memburuk dengan pemindahan ibu kota yang menghabiskan dana sebesar Rp464 triliun .

Jakarta memerlukan dana yang besar untuk infrastruktur, perbaikan transportasi publik (mengurangi kemacetan dan emisi gas rumah kaca), sanitasi, dan akses air bersih ke semua rumah tangga.

Banyak penduduk Jakarta masih mengandalkan air dari sumur dalam dan mengakibatkan ekstraksi berlebihan air bawah tanah. Hal ini mendorong penurunan permukaan tanah.

Jika tidak ada perubahan peraturan dan kucuran dana yang signifikan untuk menghentikan Jakarta tenggelam, maka kerugian miliaran rupiah akan terjadi akibat rusaknya infrastruktur yang ada dan hilangnya aktivitas ekonomi.

Memindahkan satu setengah juta orang keluar dari Jakarta tidak akan menyelesaikan masalah penurunan permukaan tanah, mengingat populasi Jakarta meningkat sekitar 250.000 orang setiap tahun.

Sebelum memberikan persetujuan atas rencana pemerintah memindahkan ibu kota, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus memastikan adanya sumber daya yang memadai untuk mengatasi masalah transportasi dan penurunan permukaan tanah di Jakarta.

Selain itu, mereka harus memastikan bahwa ibu kota negara yang baru berada di lokasi yang tidak berisiko terkena kabut asap akibat kebakaran hutan dan lahan.

_Fahri Nur Muharom menerjemahkan artikel ini dari Bahasa Inggris. _

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,000 academics and researchers from 4,949 institutions.

Register now