Menu Close

Mencari potensi obat anti-kolesterol dari gambir yang bisa dipakai seperti gel

Gambir berpotensi menjadi obat antikolesterol setelah melalui proses kimiawi. Coqwallon/iNaturalist.org

Penyakit jantung koroner adalah penyebab utama kematian orang sedunia, sehingga dijuluki “pembunuh global”. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada 17,9 juta orang meninggal akibat penyakit jantung koroner pada 2019 dan 85 persennya disebabkan oleh serangan jantung dan stroke.

Sementara, di Indonesia, Riset Kesehatan Dasar 2018 mencatat prevalensi penyakit jantung bagi orang berusia 15 tahun ke atas mencapai 1,5 persen. Sedangkan prevalensi penyakit stroke bagi orang berusia 15 tahun ke atas mencapai 10,9 setiap 1000 penduduk. Ada lebih banyak penderita di daerah perkotaan ketimbang pedesaan.

Apa yang menyebabkan penyakit jantung koroner? Salah satunya adalah hiperkolesterol alias tingginya kadar kolesterol dalam darah. Hiperkolesterol dapat memicu penebalan dinding pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan dan pengerasan pembuluh darah arteri (aterosklerosis). Kondisi ini yang kerap menyebabkan stroke.

Saya bersama tim dari Fakultas Farmasi dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran saat ini tengah meneliti peluang mendapatkan obat penurun kolesterol yang ramah pasien dari tanaman tradisional, yaitu gambir (Uncaria gambier Roxb).

Uji ekstrak gambir pada tikus putih (Rattus norvegicus) menunjukkan bahwa senyawa dari gambir ini bisa menjadi alternatif untuk menurunkan kolesterol. Selain itu, obat alternatif didisain untuk diaplikasikan melalui olesan di kulit seperti gel.

Statin versus katekin

Pada umumnya, obat yang dirujuk oleh dokter dalam menurunkan kadar kolesterol darah berasal dari golongan statin, terutama Simvastatin.

Golongan statin ini bekerja dengan cara bersaing dengan substrat untuk menempati sisi aktif enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril (HMG CoA) reduktase, yakni enzim yang berperan pada proses produksi kolesterol, terutama dalam organ hati.

Sementara itu, ada senyawa dari bahan alam yang memiliki mekanisme kerja serupa dengan statin, yakni senyawa katekin, yang termasuk dalam kelompok flavonoid.

Flavonoid merupakan salah satu kelompok senyawa metabolit sekunder yang paling banyak ditemukan di dalam jaringan tanaman. Metabolit sekunder adalah senyawa metabolit yang tidak esensial untuk pertumbuhan organisme dan ditemukan dalam struktur yang unik. Ia termasuk dalam golongan senyawa yang berperan sebagai antioksidan.

Walau katekin tidak termasuk nutrisi esensial bagi manusia, namun penggunaan katekin dapat mencegah berbagai penyakit. Senyawa flavonoid polifenol katekin, misalnya, dilaporkan dapat menghambat terbentuknya HMG Co-A reduktase yang berperan dalam produksi kolesterol pada tubuh manusia. Ketika pembentukan enzim tersebut terhambat, maka produksi kolesterol di dalam tubuh pun menurun.

Mengambil katekin dari gambir

Salah satu tanaman yang mengandung senyawa katekin adalah gambir. Tumbuhan yang lazim dibudidayakan di Indonesia ini berhabitus perdu, tidak berambut, berbatang bulat, memiliki kait di antara dua tangkai daun yang saling berhadapan, pipih, kecil.

Gambir adalah ekstrak kering yang dibuat dari daun Uncaria gambir (Hunter) Roxb., suku Rubiaceae. Ekstrak kering gambir merupakan padatan berbentuk kubus atau silinder tidak beraturan; bau khas; rasa kelat; sedikit pahit yang diakhir manis; warna permukaan luar coklat muda sampai coklat tua kemerahan; permukaan yang baru dipatahkan berwarna cokelat muda sampai coklat kekuningan.

Untuk memperoleh katekin dalam jumlah lebih dari 90% dan tidak terlalu banyak tercampur senyawa lain, kita perlu memurnikan ekstrak gambir terlebih dulu. Ekstrak gambir memiliki kandungan utama katekin yaitu 7-33%.

Dalam penelitian ini, kami memurnikan katekin yang berasal dari ekstrak gambir dengan prinsip ekstraksi berdasarkan perbedaan kelarutan katekin dengan senyawa senyawa lain yang ada dalam ekstrak gambir.

Sesuai tahapan penelitian obat, setelah tahap pengujian aktivitas pada hewan uji maka akan dilanjutkan pada tahap uji klinis pada manusia.

Penghantaran katekin melalui kulit

Obat kolesterol yang tersedia di apotek umumnya dikonsumsi melalui mulut (oral). Bagi beberapa pasien, ini menyusahkan baik karena kondisi psikologis tertentu maupun kondisi fisik seperti tidak sadarkan diri. Padahal, terapi anti hiperkolesterol harus diminum rutin dan terus menerus.

Agar lebih ramah pasien, kami ingin mendapatkan obat kolesterol yang masuk ke peredaran darah melalui kulit (transdermal) seperti dalam bentuk gel, krim, atau plaster.

Sebelum memformulasikan katekin ke dalam basis gel (agar dapat dioleskan ke kulit), kami terlebih dulu membuatnya dalam bentuk transetosom — suatu teknik yang bertujuan melindungi katekin dan mempermudah jalannya saat melewati lapisan kulit kita.

Dengan bentuk transetosom, kita dapat meningkatkan jumlah katekin yang melewati kulit dan masuk dalam pembuluh darah. Bila dibayangkan, transetosom ini mirip dengan sebuah mobil yang ditumpangi oleh senyawa katekin dan membawa masuk katekin melewati lapisan kulit.

Kami menguji penerapan gel ini pada hewan uji tikus putih (Rattus norvegicus) selama dua pekan. Hasilnya, riset ini menemukan bahwa gel transetosom katekin memiliki aktivitas sebagai antihiperkolesterol dengan nilai persentase penurunan yang hampir menyamai gel transetosom simvastatin – yang terkandung dalam obat kolesterol – untuk dijadikan pembanding (variabel kontrol) dalam riset ini.

Dengan kata lain, gel transetosom katekin memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan sebagai alternatif pilihan sediaan obat penurun kolesterol yang ramah dan praktis bagi pasien.

Meski demikian, uji klinis untuk mengetahui aktivitas katekin dalam menurunkan kolesterol pada manusia tentu masih diperlukan, karena riset kami baru pada tahap uji coba pada tikus, belum pada manusia.

Kami berharap riset ini dapat memberikan manfaat bagi dunia kesehatan, khususnya dalam mencegah dan mengobati penyakit tidak menular — yang bila tidak diobati bisa menyebabkan kematian atau menurunkan kualitas hidup penderitanya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now