Menu Close
Penipuan online
Anonimitas di internet membuat penipuan makin merajalela. miniwide/shutterstock

Mengapa kita rentan terkena penipuan? Memahami bias perilaku keuangan dalam kasus ‘loker’ palsu

Belakangan, marak aksi penipuan daring yang menyita perhatian khalayak. Korban diiming-imingi pekerjaan yang mudah, tapi justru berakhir dengan mengirimkan sejumlah besar uang ke pelaku.

Penipuan di dunia maya memang berdampak tidak main-main. Di Indonesia saja, kerugian akibat penipuan online mencapai Rp18,7 triliun selama 2017-2021 dan investasi bodong mencapai Rp117 triliun dalam sepuluh tahun terakhir.

Kerugian besar ini tentunya berdampak pada berbagai macam individu yang menjadi korban seperti kesejahteraan mental, harga diri, dan hubungan dengan orang lain.

Penipuan online berkembang dari skema sederhana menjadi operasi yang kompleks dengan mengeksploitasi sifat anonim dari internet dan kelemahan korban. Kompleksitas operasi penipuan ini, yang melibatkan banyak individu, hampir mustahil dilakukan jika tidak melibatkan organisasi yang terstruktur di baliknya.

Sayangnya, tidak banyak yang bisa kita ketahui terkait dengan organisasi dan mekanisme penipuan daring ini.

Namun, dari testimoni korban, kita bisa mengambil hikmah bahwa mengapa tidak hanya korban, kita juga berpotensi rentan terhadap penipuan serupa meskipun memiliki level pengetahuan keuangan yang tinggi.

Bagaimana pelaku penipuan daring memanfaatkan perilaku keuangan korban

Mekanisme dan kronologi penipuan lowongan kerja palsu yang terjadi baru-baru ini menunjukkan aksi yang terstruktur dan berprogres: dirancang untuk meningkatkan investasi finansial dan komitmen psikologis korban secara bertahap.

Kita bisa mempelajari kronologi kasus tersebut dan menganalisisnya dengan berbagai prinsip perilaku keuangan agar bisa terhindar dari kejadian serupa.

Kronologi aksinya adalah sebagai berikut:

  • Penipuan dimulai dengan penawaran pekerjaan yang dikirimkan lewat pesan WhatsApp. Pesan berfokus pada mudahnya pekerjaan (like dan subscribe video di YouTube), dengan iming-iming Rp15 ribu untuk setiap tiga tugas yang diselesaikan.

  • Korban kemudian dimasukkan ke grup Telegram besar, dengan transisi pekerjaan ke “tugas peningkatan” berhadiah Rp30 ribu.

  • “Tugas peningkatan” ini memerlukan transfer dana, alasannya untuk merangsang transaksi di situs kripto, dengan hadiah 20% atas jumlah yang ditransfer.

  • Namun, “tugas peningkatan” berikutnya membutuhkan deposit yang lebih besar, meningkat dari Rp1 juta hingga Rp2,5 juta.

  • Setelah mentransfer jumlah yang lebih besar, korban akan dimasukkan ke grup VIP berjumlah di bawah 10 orang. Tugas saat ini harus dilakukan berkelompok. Jika ada satu saja anggota dalam kelompok tidak mengerjakan, akan menyebabkan semua anggota kehilangan semua deposit dan hadiah.

  • Korban diminta mengirimkan Rp3,7 juta lagi untuk tugas berikutnya, meskipun deposit sebelumnya belum diterima. Korban sudah menaruh rasa curiga dan sempat mengkonfirmasi pada anggota grup yang lain, tapi mereka semua seperti merasa aman. Setelah berdiskusi dengan anggota grup lain, korban akhirnya mengikuti perintah.

  • Selanjutnya, korban diperintahkan melakukan pembelian kripto di situs kripto dan diminta mengirimkan duit Rp14,7 juta, dengan jaminan pengembalian deposit sebelumnya.

  • Meskipun ada kecurigaan, korban tetap mentransfer, bahkan menggunakan tabungan hidup dan meminjam dari kerabat.

  • Akhirnya, korban diminta mentransfer sekitar Rp30 juta, meskipun transfer sebelumnya dijanjikan adalah yang terakhir. Pada tahap ini, korban menyadari penipuan, setelah dieksploitasi secara finansial hingga batas maksimum.

Mari kita analisis satu persatu.

Korban awalnya terpikat oleh janji mendapatkan uang dengan mudah melalui tugas sederhana dalam waktu yang terbatas. Di sini, kita bisa melihat adanya prinsip scarcity bias (bias kelangkaan), yaitu tendensi psikologis yang menyebabkan individu lebih tertarik pada sumber daya atau kesempatan yang terbatas.

Namun, ketika tugas mulai memerlukan deposit finansial, keraguan mulai muncul. Di sini, social proof (bukti sosial)–yaitu perilaku pengambilan keputusan melalui pengamatan orang lain–yang bermain. Ini terlihat dari munculnya keyakinan dan hilangnya keraguan ketika anggota grup lain mengaku telah menerima hadiah setelah mengirimkan deposit.

Lalu, mengapa korban memilih untuk larut terus mentransfer sejumlah uang? Keputusan ini dipengaruhi oleh rasa takut kehilangan (loss aversion) dari deposit sebelumnya yang membuat korban tidak ingin kehilangan peluang keuntungan. Dampak emosional dari takut kehilangan ini lebih intens dua kali lipat daripada motivasi mencari keuntungan, dan ini dimanfaatkan dengan cerdik oleh pelaku.

Dampak dari rasa takut kehilangan ini diperkuat dengan prinsip over-confidence (kepercayaan diri berlebih), yang dapat diamati dari persepsi korban akan mudahnya tugas dengan usaha yang minimal. Over-confidence merupakan bias perilaku yang berbahaya dan banyak dibuktikan menjadi faktor utama jebakan penipuan.

Sementara itu, pembentukan tim VIP memberi tekanan tambahan pada korban. Ancaman kehilangan semua deposit jika tugas tidak selesai meningkatkan ketakutan akan disalahkan atas kerugian orang lain. Meski ada kebingungan dan keengganan, korban pun mengikuti permintaan deposit yang meningkat.

Di tahap akhir, takut kehilangan, social proof, dan over-confidence mendorong korban membuat deposit signifikan bahkan hingga menguras tabungan dan berutang.

Kesadaran bahwa mereka telah ditipu baru datang ketika diminta deposit yang sangat besar sehingga menandai akhir dari operasi penipuan.

Narasi ini menggambarkan bagaimana penipuan ini dengan cerdik memanipulasi perilaku keuangan korban, yang mengakibatkan kerugian finansial dan emosional yang tak sedikit. Ini memberikan pelajaran penting tentang bagaimana kompleksitas aksi penipuan tersebut mengeksploitasi sifat manusia dan kelemahan finansial.

Itulah mengapa kita semua rentan terhadap ancaman serupa, meskipun memiliki tingkat pengetahuan keuangan yang tinggi.

Strategi mengenali penipuan lowongan kerja palsu

Ada beberapa hal yang bisa kita lakukan untuk mengenali lowongan kerja palsu.

Pertama, analisis kontennya. Periksa kualitas penulisan dan tata bahasa dalam iklan lowongan pekerjaan. Penipuan sering kali memiliki kesalahan ejaan atau gramatikal.

Kedua, verifikasi pemberi kerja. Lakukan pengecekan terhadap perusahaan atau pihak yang memberikan tawaran dengan cara mencari informasi lebih lanjut tentang tentang mereka melalui situs resmi atau platform lowongan kerja terpercaya.

Ketiga, cermati metode komunikasinya. Waspadai metode komunikasi yang tidak biasa seperti hanya menggunakan WhatsApp atau Telegram. Hal ini sering kali menjadi tanda penipuan.

Keempat, waspada jika tawarannya tampak too good to be true alias terlalu bagus untuk menjadi kenyataan. Misalnya, gaji tinggi untuk pekerjaan yang mudah.

Kelima, adanya permintaan informasi pribadi atau uang. Beberapa penipuan mungkin meminta informasi personal atau uang di muka. Jangan memberikan informasi sensitif atau melakukan pembayaran tanpa verifikasi.

Pengambil kebijakan pun harus turun tangan agar tak makin banyak masyarakat yang terjebak penipuan macam ini. Misalnya melalui edukasi tentang ciri-ciri penipuan loker palsu melalui kampanye publik, seminar, dan materi edukatif lainnya.

Melalui strategi identifikasi ini, kita dapat terhindar dari risiko penipuan lowongan kerja daring palsu, mencegat munculnya bias keuangan, dan mengurangi kerugian finansial serta trauma emosional yang timbul.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,800 academics and researchers from 4,948 institutions.

Register now