Artikel ini diterbitkan untuk memperingati Hari Air Sedunia 22 Maret.
Sumber daya air menjadi tulang punggung kehidupan masyarakat, kelestarian alam sekaligus kunci ketahanan ekonomi negara, baik domestik maupun internasional.
Namun bagi provinsi-provinsi termiskin Indonesia seperti Nusa Tenggara Timur, tata kelola air untuk penyediaan akses air bersih dan fasilitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) menjadi masalah selama puluhan tahun dan belum akan terpecahkan dalam waktu dekat.
Riset saya bersama tim pada 2016-2017 menunjukkan banyak penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur harus menempuh jarak sepanjang enam sampai 10 kilometer untuk membeli air bersih seharga Rp 2000 per jerigen berisi 20 liter. Kini, pada 2021, harganya Rp 2500 per 20 liter.
Di sana, kaum perempuan dan anak sekolah harus membeli air bersih dari mobil tangki keliling, yang banyak disediakan oleh swasta atau perorangan. Tak jarang mereka harus berebut karena mobil tangki tak dapat maksimal memenuhi permintaan warga.
Kondisi ini sangat umum ditemukan di sana dan kontras dengan data pada 2019 yang menyatakan 75% warga NTT memiliki akses terhadap sumber air yang berkelanjutan. Presentase ini hanya merujuk pada ketersediaan sumber air dan belum memenuhi hak dasar lain seperti standar layanan yang baik dengan adanya saluran pipa dan keterjangkauan harga air bagi penduduk.
Sebenarnya, masalah krisis air tidak hanya terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Daerah aliran sungai di Jakarta, Jawa, Barat, dan sebagian besar Jawa Tengah juga mengalami krisis dengan tingkat polusi yang sangat merusak kehidupan.
Tanpa ada perubahan kebijakan terkait air dan infrastruktur yang memadai, masalah ini akan terus terjadi. Masyarakat menjadi korban karena hidup dengan sanitasi buruk.
Air begitu mahal
Di Kupang, Ibu Kota NTT, harga air bersih satu tangki dapat mencapai Rp 200.000. Pada 2017, dari 51 kelurahan di Kupang, 48 di antaranya menderita krisis air sehingga pemerintah harus memasok 100 tangki air.
Saat musim kemarau, air dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) berkurang debitnya dan layanan air yang mengalir ke rumah tangga dapat menurun drastis hingga sekali seminggu.
Hal ini menimbulkan masalah sistemik yang menghambat kampanye Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM).
Riset kami menunjukkan bahwa masyarakat sudah memahami pentingnya toilet sehat untuk mencegah penyakit tapi dengan akses air yang makin kritis program ini menjadi dipinggirkan.
Penggunaan toilet komunal juga tak berjalan baik karena jauh dari perumahan warga. Terlebih, untuk membangun toilet standar, penduduk sebuah kabupaten harus merogoh Rp 100.000 hingga 250.000 per kepala rumah tangga.
Jumlah pengeluaran rumah tangga untuk membeli air bersih dan penggunaan toilet umum per bulan sangat besar, rata-rata sekitar Rp 300.000-400.000 per keluarga. Bandingkan dengan Upah Minimum Kota/Kabupaten di NTT tahun 2020 sebesar Rp 1.950.000.
Memang pemerintah baru saja menyelesaikan pembangunan tiga waduk di NTT tapi wadah penampungan air hujan tersebut merupakan solusi teknis berbiaya operasional mahal. Waduk ini hanya akan berkelanjutan memasok air jika pemerintah mampu mengundang partisipasi berbagai pihak untuk berinvestasi di sektor penyediaan air bersih.
Masalah struktural
Oleh karena itu, penting bagi kita menyoroti bahwa fenomena krisis air nasional ini bukan semata karena perubahan iklim, melainkan krisis tata kelola.
Tata kelola air dan sanitasi yang akuntabel dan transparan akan menambah seperempat hingga dua per tiga dari total pendapatan sebuah badan usaha layanan publik di sektor air.
Pemerintah seharusnya mendorong tata kelola air dan sanitasi yang baik dengan menerapkan penetapan harga yang adil, pengelolaan pangkalan data dan informasi, kerja sama antarsektor, serta memberikan kepastian hukum dan model bisnis yang tepat. Dengan begini, maka investor akan tertarik menanam modal. Hal ini kontras dengan pandangan umum bahwa seolah-olah hanya kekurangan investasi yang menyebabkan distribusi air kurang memadai.
Saat ini, pembiayaan sektor air sangat mengandalkan anggaran negara, dengan alokasi hanya sekitar 26% dari kebutuhan. Sedangkan pendapatan PDAM yang bersumber dari layanan non-air seperti perbaikan dan pemasangan pipa masih dikenakan pajak.
Namun sejatinya, aspek yang mendasari problem manajemen air dapat diurai sebagai berikut.
Pertama, pemerintah pusat belum sepenuhnya menggabungkan pengelolaan air dan sanitasi. Infrastruktur air bersih dan sanitasi masing-masing memiliki sub-bidang yang dikelola oleh setidaknya lima kementerian yang berbeda tanpa ada lembaga yang memimpin.
Di sisi lain, tidak ada strategi untuk memperbaiki kinerja PDAM yang buruk. Setidaknya hingga 2015 terdapat 93,14% atau 95 pemerintah daerah yang belum memiliki kebijakan strategis daerah tentang air bersih.
Selain itu, banyak terjadi kebocoran air di skala nasional yang menyebabkan kerugian. Tanpa pipa air yang memadai, layanan air tak akan dapat berkelanjutan.
Hingga 2018 akses air minum Indonesia telah mencapai 87,75% dari populasi tapi akses perpipaan baru sekitar 20,14%. Target ambisius pemerintah untuk memeratakan akses air dan sanitasi (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan poin 6) pada 2030 masih sangat jauh dari kenyataan.
Sementara itu, data 2018 menunjukkan bahwa sekitar 70% populasi Indonesia masih bergantung pada sumber air yang tercemar.
Pemerintah telah melakukan revisi UU Sumber Daya Air, dengan perubahan terbaru menekankan pengelolaan sumber air yang terintegrasi serta lebih banyak melibatkan partisipasi publik. Namun, sampai kini belum ada peraturan pemerintah sebagai pelaksana undang-undang tersebut.
Pemerintah dan parlemen malah memunculkan kontroversi setelah mengesahkan UU Cipta Kerja yang ditengarai mengurangi otonomi daerah dalam mengelola air.
Kedua, pembiayaan. Pemeliharaan infrastruktur air sangat mahal, apalagi membangun infrastruktur baru.
APBN tidak mampu membiayai semuanya, terlebih anggaran pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur pada 2021 sekitar Rp 408 triliun harus dibagi dengan pembangunan infrastruktur digital, jalan raya dan listrik.
Pemerintah memasukkan pembangunan jaringan pipa dan waduk multifungsi yang butuh biaya sedikitnya Rp 216 triliun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 .
Namun, anggaran yang disetujui untuk PDAM hanya Rp 34 triliun dari rencana Rp 107 triliun hingga 2024. .
Kesenjangan pendanaan ini menunjukkan bahwa negara berkurang perannya untuk menyediakan air, dan mestinya bukan hanya sebagai pengelola air.
Hal ini menyebabkan ketergantungan pembangunan sumber daya air terhadap sumber dana asing, utamanya bantuan luar negeri dan penerapan privatisasi air.
Sayangnya, pihak swasta juga tak serius berinvestasi di layanan air karena masyarakat juga enggan membayar lebih, sehingga membuat tarif air tidak terlalu menarik untuk bisnis.
Ketiga, desentralisasi dan otonomi daerah telah memperluas wewenang pemerintah daerah untuk menetapkan anggaran serta membuat peraturan daerah.
Namun tidak semua pemerintah provinsi maupun kota dan kabupaten memiliki kapasitas yang cukup untuk mengelola kewenangan tersebut.
Kemampuan koordinasi lintas daerah ini belum merata, serta terdapat hubungan yang tak seimbang antardaerah. Penandatanganan nota kesepahaman untuk kerja sama air seringkali hanya untuk menjaga harmonisasi antarbadan layanan air semata.
Padahal, Indonesia memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) strategis nasional, DAS lintas provinsi dan kabupaten yang tentunya harus dikoordinasikan di bawah sistem yang terpadu.
Kita butuh lembaga yang terpadu
Dengan tingkat krisis air Indonesia yang semakin parah, pemerintah pusat perlu menetapkan struktur kelembagaan yang terpadu.
Kini terlalu banyak institusi dari tingkat pusat hingga lokal yang harus berkoordinasi, terlebih jika hulu dan hilir sungai berada dalam wilayah yang berbeda.
Untuk itu, pemerintah harus segera menerbitkan peraturan pelaksana UU Sumber Daya Air dengan memposisikan satu kementerian atau lembaga yang mengkoordinasi pengelolaan air, yang merujuk pada arah pembangunan Indonesia dan masukan Dewan Nasional Sumber Daya Air untuk membuat kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air.
Dengan biaya infrastruktur yang masif, pemerintah dapat memfasilitasi usaha kecil dan menengah yang bergerak di bidang air dan sanitasi, misalnya memberikan kredit untuk irigasi, air bersih, dan sanitasi.
Karena besarnya tata ekosistem dan sistem ekonomi yang menguras sumber daya air, maka perlu adanya model pengelolaan yang berkelanjutan dengan berorientasi pada ketahanan air.
Model ini diperlukan agar masalah krisis air dan sanitasi di Nusa Tenggara Timur dan buruknya kualitas air di Pulau Jawa tidak selalu berulang setiap tahun.