Menu Close
Seorang perempuan Palestina duduk di antara reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan Israel di Deir el-Balah, Jalur Gaza tengah. Anas-Mohammed/Shutterstock

Mengapa masih ada yang menjustifikasi genosida Israel terhadap Palestina?

Isu okupansi Palestina pada kurun waktu 2023-2024 ini kembali hangat dan membuka mata dunia. Pemerintah dari berbagai negara terbelah: menjadi pro-Israel dan pro-Palestina. Begitu pula dengan warganet di media sosial dari berbagai belahan dunia.

Penderitaan Palestina sebenarnya telah dimulai sejak 1948, tetapi tidak mendapat perhatian yang masif dari masyarakat internasional. Rentetan serangan terhadap warga sipil Palestina, sebelum genosida yang terjadi sejak 8 Oktober 2023 pun seakan hanya angin lalu. Ini membuat Palestina semakin menjadi pihak yang dilemahkan.

Meledaknya kasus Palestina saat ini, dan makin meningkatnya keberpihakan pada Palestina perlu dilihat bukan hanya karena jumlah korban tewas dan kehancuran yang terjadi, tetapi juga bagaimana mereka selama ini diposisikan.

Menggunakan Theory of the Psychology of Atrocities in Social Context (TOPASC), saya berusaha menjelaskan mengapa suatu individu/kelompok/entitas dapat menjustifikasi pembunuhan massal dan mengapa kelompok lainnya secara konsisten menjadi target kekerasan.

Merujuk pada TOPASC, korban didesain sebagai pihak yang dapat disalahkan. Korban dianggap bersalah oleh pihak yang lebih besar/kuat yang diikuti dengan penyerangan yang dijustifikasi atau dibenarkan. Pihak yang kuat selalu dalam konteks sosial yang benar, dan menganggap situasinya memang harus menjalankannya.

Di dalam TOPASC, terdapat faktor-faktor konteks yang amat berperan, yakni konteks makro, meso, dan mikro. Level makro dari TOPASC ini adalah tentang konteks global, regional atau nasional.

Pada konteks meso yang dilihat adalah proses identifikasi oleh kelompok. Sementara konteks mikro menjelaskan tentang tingkat individu atau kelompok yang terlibat.

Konteks Palestina dan sejarah munculnya Israel

Negara-bangsa Israel dideklarasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948. Israel menjadi tempat baru bagi pengungsi Yahudi Eropa setelah perang dunia kedua (PD II).

Warga Palestina mencari korban selamat setelah serangan Israel di kota Rafah, selatan Jalur Gaza, pada 17 Oktober 2023. Anas-Mohammed/Shutterstock

Sebagian besar pengkaji konflik Palestina-Israel memahami bahwa proses terbentuknya Israel adalah akibat dari perjanjian diam-diam antara kolonial Inggris dan Prancis serta kelompok Yahudi Eropa sebelum perang dunia pertama (PD I) yang dikenal sebagai Deklarasi Balfour 1917. Negara ini berdiri di tanah yang saat ini diperdebatkan yang bernama Palestina.

Tanah Palestina sendiri adalah tanah Arab yang dulu berada di bawah kekuasaan Kesultanan Utsmaniyah atau Kekhalifahan Turki Ottoman. Namun akibat PD I, Kesultanan Utsmaniyah mulai alami kemunduran dan dipaksa oleh Inggris dan sekutunya membagi-bagi wilayah Arab dengan penguasa Eropa lain.

Berdirinya Israel didukung banyak pihak, khususnya para pemenang PD II yakni Inggris, Uni Soviet, dan Amerika Serikat (AS). Sebaliknya, hal ini dianggap petaka besar oleh masyarakat Arab.

Sebab, ini menjadi awal berdirinya negara yang tidak diharapkan oleh masyarakat Arab dan menyebabkan pengusiran puluhan ribu orang Arab dari tanah Palestina. Bangsa Arab kemudian menyerang Israel beberapa kali pada tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973 untuk mengambil kembali tanah mereka yang direbut.

Pada perkembangannya, Israel kemudian menjadi negara yang disenangi kelompok negara Barat dan menjadi sekutu di wilayah Timur Tengah. Israel akhirnya menikmati dukungan politik dan perlindungan dari negara-negara maju untuk membangun negara, sampai bermanuver militer ke negara tetangganya—Mesir, Suriah, Lebanon, Yordania, dan Palestina.

Tidak semua warga Israel adalah Yahudi. Namun, kebijakan mereka terhadap warga yang Yahudi lebih diutamakan. Walaupun Israel didirikan sebagai negara sekuler, fondasi nasionalismenya justru merujuk pada atribut-atribut agama.

Pada tahun 1990-an, saat Uni Soviet runtuh, banyak orang Yahudi dari bekas Uni Soviet yang bermigrasi ke Israel. Ide pindah ke Israel ini didasari oleh ide kembali ke tanah yang dijanjikan sebagaimana yang diyakini umat Yahudi. Hal ini semakin menambah jumlah penduduk Yahudi dan mendorong dibangunnya permukiman baru yang mengambil alih tanah orang Arab Palestina.

Selain permukiman, pagar-pagar dibangun sebagai bentuk pengamanan sekaligus pemisahan, bahwa yang di dalam pagar adalah orang Israel, di luar pagar bukan orang Israel, bahwa Palestina hanya daerah otonom, tetapi masih dalam kekuasaan Israel. Pengusiran orang Arab Palestina pun menjadi hal yang lumrah.

Sebagai bangsa yang tinggal terjepit dengan negara dan bangsa yang dipersepsi sebagai musuh, mau tidak mau Israel merasa perlu membangun rasa aman. Keberadaan tetangga yang juga musuh membuat Israel merasa terancam. Agar tidak merasa terancam maka perlu kemampuan diri yang kuat.

Kekhawatiran warga Israel atas keberadaan warga Arab Palestina disalurkan melalui partai politik, dalam hal ini partai-partai berideologi agama atau sayap kanan.

Palestina kalah cepat dalam menyatakan kemerdekaan

Secara konteks makro, Palestina pada tahun 1948 tidak menyatakan diri sebagai bangsa dan negara yang merdeka. Hal ini menguntungkan bagi Israel yang telah menyatakan lebih awal.

Sebagai perbandingan, saat Indonesia bertempur dengan sekutu pada November 1945, Indonesia terlebih dahulu menyatakan kemerdekaan. Karena itu, posisi Indonesia adalah diserang sehingga bisa lebih mendapat dukungan internasional.

Yahudi dianggap sebagai korban genosida masa lalu

Masih dalam konteks makro, Israel memiliki keuntungan sebagai bangsa yang lahir dari penyintas genosida. Hal ini membuat dukungan terhadap Israel menjadi lebih besar ketimbang dukungan terhadap Arab.

Aksi unjuk rasa pro-Palestina di pusat kota London, Inggris. Andy Soloman/Shutterstock

Sangat mungkin posisi Arab saat dulu menyerang Israel dianggap sebagai genosida kedua terhadap Yahudi. Sehingga, kini upaya mereka dianggap bukan upaya mempertahankan tanah, tetapi dianggap sebagai upaya genosida lagi.

Tentu hal ini tidak disukai oleh negara-negara pemenang PD II yang lebih menyukai upaya penyelamatan Israel ketimbang memenuhi hak Palestina yang dianggap secara administratif tidak ada.

Secara konteks meso, keberadaan orang Palestina di Israel dianggap sebagai “gangguan” atas tanah tadi. Penghayatan Israel sebagai korban genosida kemudian diwujudkan dalam bentuk tindakan kekerasan antisipatif terhadap kelompok yang dipersepsi akan menyerang mereka. Bagi orang Israel, orang Palestina justru merupakan pihak yang tidak berhak tinggal di tanah negara Israel.

Padahal, tanah milik warga Palestina juga diambil alih, karena para pengungsi Palestina tahun 1948 tidak diperkenankan kembali ke tanahnya. Dengan demikian, tanah itu seakan tidak dimiliki siapa-siapa dan selanjutnya berpindah tangan. Pengambilan tanah perlahan ini dianggap hal wajar, dan tidak dicegah oleh siapapun.

Secara konteks mikro, selalu ada “keuntungan” dalam memosisikan Palestina sebagai korban. Banyak pihak yang dianggap tidak atau kurang peduli padanya.

Keterbelahan wilayah (Gaza dan Tepi Barat), adanya dualisme pemerintahan Palestina, dan kondisi masyarakat Palestina sendiri merasionalkan tindakan Israel terhadap warga Palestina.

Keterpurukan warga Palestina sebagian menjadi gerakan kekerasan, terlebih lagi dengan adanya stigma teroris terhadap organisasi Hamas oleh mayoritas negara Barat. Hal ini memosisikan Palestina, di mata Barat dan sekutunya, sebagai kelompok keras yang berbahaya, dan pada akhirnya dijauhi banyak pihak.

Konsekuensinya, mereka anggap Israel sebagai korban yang harus diselamatkan saat ini, sementara Palestina dianggap sebagai pihak yang layak menjadi korban sepanjang 1948-sekarang.

Bahwa para korban dianggap sebagai pihak yang memang seharusnya menjadi korban, adalah pola pikir yang mengerikan. Tentu hal ini berlawanan dengan rasa kemanusiaan kita.

Para pengungsi Palestina mendirikan tenda-tenda mereka di dekat perbatasan Mesir. Mereka mengungsi ke kota Rafah, akibat invasi tentara Israel ke kota-kota di Jalur Gaza, pada 8 Maret 2024. Anas-Mohammed/Shutterstock

Faktanya, jika merujuk pada TOPACS, kaum Yahudi adalah korban karena secara sejarah mereka pernah mengalami genosida, lalu Palestina pun adalah korban juga untuk genosida saat ini. Jadi, seharusnya kita tidak terjebak pada siapa yang menjadi korban tapi fokus pada rasa kemanusiaan karena kekejaman tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun dan pelakunya tidak boleh diberi ruang justifikasi.

Siapa yang perlu belajar dari Holocaust?

Secara umum, kubu Barat meminta masyarakat dunia belajar dari Holocaust (pembantaian jutaan orang Yahudi) yang terjadi di Eropa saat PD II. Warga Palestina yang kini menjadi korban justru dianggap sudah sewajarnya menjadi korban karena menyerang Israel lebih dulu di masa lalu. Padahal, Israel yang dulu berdiri karena upaya kemanusiaan pasca-Holocaust justru menjadi pelakunya saat ini.

Sebagai bangsa yang pernah mengalami penjajahan, kita berempati terhadap Palestina. Kita tidak dapat menerima ide penjajahan dengan kekejaman yang dilakukan Israel pada Palestina.

Untuk memutus rantai setan ini, kita perlu melihat genosida di Palestina sebagai kekejaman atas hak asasi manusia—karena sesungguhnya kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Artinya, ide penjajahan dengan kekejaman yang dilakukan Israel pada Palestina, tidak bisa dibenarkan, sekalipun dengan alasan bahwa korban dapat disalahkan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 185,900 academics and researchers from 4,984 institutions.

Register now