Menu Close
Seorang perempuan yang memakai masker berjalan dengan gerobak kosong di kota Guangzhou, Cina. Alex Plavevski/EPA

Mengapa menuntut Cina soal COVID-19 adalah langkah yang mustahil dan berisiko

Pandemi COVID-19 berdampak besar pada ekonomi global. Hal ini mendorong beberapa negara berencana untuk menuntut negara Cina yang dianggap menjadi penyebab pandemi ini.

Negara-negara seperti Amerika Serika, India dan Nigeria berencana melakukan hal tersebut karena melihat Cina gagal dalam mencegah sejak awal untuk menghentikan penyebaran virus secara global.

Beberapa kelompok di Indonesia, termasuk politikus dan akademisi juga mulai memperdebatkan apakah Indonesia seharusnya mengambil langkah tersebut.

Saat artikel ini diterbitkan, setidaknya ada 217.000 orang meninggal akibat COVID-19. Sementara itu, kerugian ekonomi dari pandemi ini diprediksi bisa mencapai US$2-4 triliun , setara dengan Rp30.000-61.000 triliun. Jumlah tersebut mencapai sekitar 2,3-4,8% dari produk domestik bruto (PDB) global.

Namun, berdasarkan hukum internasional, langkah hukum semacam ini tidak mungkin dilakukan. Selain itu, langkah tersebut tidak strategis, mengingat status Cina yang meningkat sebagai kekuatan dunia baru.

Dalam masa krisis seperti saat ini, negara-negara di dunia seharusnya bukannya malah menyalahkan satu sama lain, tapi justru saling memupuk kerja sama yang lebih kuat di tingkat internasional.

Tuntutan hukum yang tidak mungkin

Berdasarkan hukum internasional, menuntut Cina terkait penyebaran COVID-19 adalah langkah yang tidak mungkin dilakukan.

Salah satu prinsip dalam hukum internasional yang berkembang pada masa-masa awal monarki Inggris menyebutkan bahwa “Raja tidak dapat berbuat salah”. Prinsip ini disebut Sovereign Immunity (pemberian imunitas pada kedaulatan) dan dipakai untuk melindungi pemerintah dan lembaga-lembaga yang berkaitan.

Dalam konteks hari ini, prinsip tersebut berarti bahwa tidak ada negara yang dapat digugat tanpa persetujuan dari pengadilan di tingkat nasional maupun internasional. Dalam hal ini, Cina perlu setuju terhadap tuntutan yang dihadapkannya sebelum dapat digugat.

Natalie Klein, profesor hukum di Universitas New South Wales, Australia, berpendapat bahwa jika Cina memilih untuk tidak menyetujui tuntutan tersebut, yang kemungkinan besar akan terjadi, maka gugatan tersebut tidak berlaku.

Perjanjian internasional abad ke-19 tentang penyebaran penyakit menular memang memiliki aturan yang mewajibkan pembayaran kompensasi atas dampak di negara lain yang terkait dengan pelanggaran aturan perjanjian. Namun, Peraturan Kesehatan Internasional, yang ditandatangani pada 2015 dan berubah menjadi perjanjian kesehatan utama dunia, tidak memiliki ketentuan tentang masalah ini.

Langkah yang tidak strategis

Cina adalah negara manufaktur terbesar di dunia serta pemberi pinjaman terbesar dunia.

Hal ini membuat sebagian besar negara-negara di dunia bergantung pada Cina entah karena mereka memiliki hubungan dagang atau atau sekadar menerima investasi dari Cina.

Meski Cina mungkin membutuhkan negara lain untuk mencapai pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, negara-negara di dunia juga bergantung pada Cina untuk memperbaiki kondisi ekonominya.

Sebagai salah satu pemberi pinjaman terbesar di dunia, Cina memegang sekitar 20% dari total utang di Afrika.

Menuntut Cina dapat berisiko menciptakan situasi negara-negara miskin akan mengalami kesulitan mendapatkan pinjaman pada masa depan.

Tidak kalah pentingnya, Cina adalah sumber pasokan medis terbesar di dunia yang diperlukan untuk mengendalikan penyebaran virus, termasuk masker. Cina juga diprediksi akan menjadi pemain utama dalam produksi, distribusi dan mungkin penemuan vaksin untuk COVID-19.

Oleh karena itu, mengutuk Cina terlalu keras soal penyebaran COVID-19 akan merugikan banyak pihak.

Mungkin memang benar bahwa Cina memikul beberapa tanggung jawab atas pandemi ini, tapi dunia masih membutuhkan bantuannya untuk memerangi virus tersebut.

Memperkuat kerja sama global di tengah pandemi

Pandemi COVID-19 harus menjadi momen refleksi bagi masyarakat internasional untuk saling bekerja sama demi mencari solusi terbaik.

Kolaborasi internasional untuk menangani perubahan iklim, pengungsi dan masalah global lainnya pernah dilakukan. Sudah saatnya negara mengembangkan kerja sama yang solid untuk mengatasi COVID-19.

Ke-20 negara anggota dalam G20 telah menunjukkan contoh yang baik ketika negara-negara tersebut memutuskan untuk menangguhkan pembayaran utang dari negara-negara miskin di dunia sampai akhir tahun ini. Tujuannya adalah agar negara-negara tersebut dapat menyalurkan dana mereka ke layanan kesehatan.

Saling menyalahkan atau bahkan saling menggugat hanya akan mengalihkan fokus dari upaya nyata dan konkret untuk menghentikan penyebaran virus COVID-19 dan untuk menyembuhkan mereka yang sudah terinfeksi.

Upaya menuntut Cina hanya akan mengalihkan negara-negara dari apa yang seharusnya menjadi prioritas utama: meratakan kurva penularan virus.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now