Menu Close

Mengapa perguruan tinggi perlu kembali menggunakan ujian lisan pada era AI dan ChatGPT

Bayangkan skenario berikut.

Kamu adalah seorang murid dan kamu memasuki suatu ruangan atau ruang pertemuan Zoom. Suatu panel penguji yang telah membaca esaimu atau melihat kinerjamu sedang menunggu di dalam ruangan.

Kemudian, kamu menjawab serangkaian pertanyaan seiring mereka menjajaki pengetahuan dan kemampuanmu. Kamu lalu pergi meninggalkan ruangan. Para penguji lalu mengulas nilai awal sebelum berjalannya ujian lisan dan menimbang-nimbang apakah perlu melakukan penyesuaian nilai ke atas atau ke bawah.

Kamu dipanggil kembali ke dalam ruangan untuk menerima nilai akhir.

Metode penilaian semacam ini – yang juga dikenal sebagai viva voce dalam bahasa Latin – adalah bentuk asesmen pembelajaran yang telah teruji.

Tak perlu duduk di aula ujian, tak perlu takut akan tuduhan plagiarisme atau khawatir bahwa ada murid yang mengumpulkan esai buatan aplikasi kecerdasan buatan (AI). Integritas 100% terjamin dengan cara yang adil, andal, dan otentik. Asesmen ini juga mudah digunakan untuk menguji banyak individu ataupun tugas kelompok.

Seiring layanan seperti ChatGPT terus tumbuh baik dalam hal kapabilitas maupun tingkat penggunaannya – termasuk dalam ranah pendidikan dan riset – apakah kini saatnya perguruan tinggi kembali menggunakan ujian lisan?

Jatuh bangun ujian lisan

Ujian lisan punya sejarah panjang bahkan sejak zaman Yunani kuno lebih dari 2.000 tahun lalu. Para filsuf membela pengetahuan dan argumen mereka melalui tradisi orasi publik.

Pada abad ke-10, ujian lisan juga merupakan alat penting dalam pengembangan ilmu hukum dan medis di dunia Islam. Mereka yang merupakan ahli dalam munâẓara (istilah Islam untuk perdebatan atau argumentasi) dianggap terhormat.

Di University of Paris zaman pertengahan pada abad ke-13, para mahasiswa berguru pada seorang master. Ketika dianggap siap, mahasiswa harus melalui suatu viva publik supaya bisa lulus.

Selama berabad-abad, University of Oxford menyelenggarakan pengujian viva voce di gedung Convocation House. (Shutterstock/ReoromART)

Namun, penggunaan ujian lisan terus menurun seiring universitas mulai beralih ke ujian tertulis pada tahun 1700-an.

Para akademisi pada waktu itu menganggap ujian tertulis lebih efisien, dengan peluang lebih mudah menilai mahasiswa satu persatu secara kuantitatif. Ini bertolak belakang dengan suatu sistem asesmen ujian lisan yang rumit, yang menempatkan mahasiswa dalam kategori-kategori kelas yang luas untuk merefleksikan performa orasi mereka.

Pengujian karya tertulis juga merupakan proses yang hening dan tidak menimbulkan suara. Proses ini memberikan penguji banyak waktu untuk melakukan penilaian secara nyaman di rumah mereka masing-masing.

Kembali menemukan relevansi

Meski demikian, masih ada sejumlah negara dan institusi yang masih mengadopsi viva pada era kontemporer.

Seperti yang saya jelaskan dalam buku saya, Assessing the Viva in Higher Education yang terbit pada 2018, Norwegia masih menggunakan viva dalam program-program pascasarjana. Hingga beberapa waktu lalu, ujian lisan juga mereka gunakan dalam pendidikan sarjana.

Murid sekolah menengah juga harus melalui setidaknya satu ujian lisan dalam satu mata pelajaran secara acak. Ini dilakukan pada kelas 10 (setara SMP) dan kelas 13 (setara SMA).

Saya merekam sejumlah pertemuan penguji dalam pra-ujian lisan, proses ujiannya, dan diskusi penilaian setelah ujian. Berdasarkan hasil analisis kebahasaan dan gestur tubuh, saya memandang bahwa viva adalah bentuk asesmen yang kaya. Proses ini mempertimbangkan kualitas konten dan kemampuan menjawab dari para murid.

Ujian lisan juga menawarkan kesempatan bagi murid untuk menjelaskan dan mengklarifikasi apa yang sebelumnya sudah mereka kumpulkan. Hal ini tidak memungkinkan dalam suatu asesmen yang murni tertulis.

Yang menarik dalam studi saya adalah, saya tak pernah sekalipun menjumpai kasus kecurangan. Tidak ada murid yang meniru pekerjaan temannya, menyembunyikan kertas berisi jawaban dalam baju mereka, atau menulis contekan di lengan.

Senada dengan itu, Ken Purnell, profesor pendidikan Central Queensland University di Australia, mencontohkan bagaimana murid bisa diberi tugas untuk mencitpakan suatu jurnal reflektif dan membagikannya secara lisan. Misalnya, murid-murid dapat menerapkan hasil belajar dalam bidang neurosains pendidikan dalam praktik mereka.

Layanan chatbot AI tidak bisa mereplikasi tugas semacam ini, sehingga orisinalitas murid terjamin.

Rekan lain di universitas saya juga menceritakan bagaimana ia dan rekan dosennya memperkenalkan viva untuk pertama kalinya.

Mereka menguji 600 ujian lisan kurang dari seminggu dalam suatu mata kuliah tingkat sarjana untuk mahasiswa keguruan tahun pertama. Selain tidak adanya masalah integritas atau kecurangan, dosen juga bisa menikmati akhir pekan terbebas dari tumpukan esai yang harus mereka nilai.

Apakah metode ini melelahkan bagi para penguji? Tentu saja. Namun, mereka puas, karena bisa mengamati mahasiswa mengolah pemikiran-pemikiran mereka menjadi kata-kata.

Bagi para murid dalam studi saya, pengalaman viva ini cukup menegangkan dan penuh dengan emosi. Para murid mengingat pengalaman viva mereka dengan jelas, termasuk atmosfer ujian dan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka hadapi. Serupa dengan wawancara pekerjaan, mereka juga merasakan kelegaan dan perasaan berhasil menguasai materi setelah melaluinya.

Bagi para murid, pengalaman viva cukup menegangkan dan penuh dengan emosi – tapi pada akhirnya bermanfaat dan memuaskan. (Shutterstock/Chay Tee)

Proses ini terukir dalam memori mereka. Bagi mereka, ujian tersebut juga menjadi peluang untuk berkembang sebagai individu.

Saya berargumen bahwa kini sudah saatnya untuk mengubah dialog kita menjadi lebih tentang asesmen yang benar-benar melibatkan “dialog”.

Menulis akan tetap menjadi aspek yang penting. Namun, kita perlu belajar untuk kembali mengapresiasi pentingnya seorang murid untuk bisa berbicara terkait pengetahuan dan kemampuan yang mereka peroleh.

Kesuksesan menempuh viva bisa kembali menjadi ciri khas lulusan-lulusan kita, sebagaimana yang pernah kita lakukan selama berabad-abad lalu.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now