Menu Close

Mengapa perpanjangan GSP dari Amerika Serikat penting untuk ekonomi Indonesia

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2020. Dalam kunjungan ini, beliau menegaskan kembali hubungan bilateral yang telah terjalin erat, keterlibatan multilateral dalam tantangan keamanan kawasan, dan kemitraan strategis AS – RI yang kuat. United States Department of State, Indonesian Presidential Press Bureau, Indonesian Ministry of State Secretariat

Kunjungan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo beberapa waktu yang lalu berujung pada diperpanjangnya fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang sudah sekian lama tarik ulur.

GSP adalah program penurunan tarif bea masuk yang diberikan oleh AS kepada negara berkembang, termasuk Indonesia.

Fasilitas GSP ini diberikan pada sejumlah produk Indonesia yang dinilai kurang berdaya-saing di pasar AS dibanding produk yang sama atau sejenis dari negara lain.

Contohnya jika produk ban mobil asal Indonesia diekspor ke Amerika maka bea masuknya lebih rendah dibandingkan produk serupa dari negara lain.

Pada tahun 2019, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat senilai $2,61 miliar (Rp 37 triliun), atau setara 13,1% dari total ekspor Indonesia ke AS yang totalnya sebesar $20,15 miliar (Rp 286,2 triliun). Indonesia adalah negara yang paling besar memanfaatkan program GSP di AS setelah Thailand.

Produk utama Indonesia yang menikmati fasilitas GSP di AS ini mencakup perlengkapan perjalanan/Tas $408,2 juta (Rp 5,7 triliun), perhiasan $392,1 juta (Rp 5,5 triliun), produk elektronik $282 juta (Rp 4 triliun), ban Kendaraan $244.5 juta (Rp 3,4 triliun) dan furniture $147,9 juta (Rp 2 triliun).

Di tahun 2019, total nilai tariff saving atau penghematan bea masuk yang seharusnya dibayarkan oleh importir AS atas barang dari Indonesia mencapai $142.1 juta atau Rp 2 triliun.

Besarnya manfaat dari penghematan bea masuk tersebut turut membuahkan dukungan dunia usaha AS agar Indonesia tetap mendapatkan GSP.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Mike Pompeo, melakukan kunjungan ke Indonesia pada tanggal 29 Oktober 2020. United States Department of State, Indonesian Presidential Press Bureau, Indonesian Ministry of State Secretariat

Bukti kehandalan tim negosiasi Indonesia

Sementara negara-negara seperti Turki, India dan Thailand tidak menikmati perpanjangan GSP sejak 2019, Indonesia berhasil mendapatkan perpanjangan.

Keberhasilan ini hasil kerja keras tim perundingan Indonesia bernegosiasi dengan pihak AS selama dua tahun.

Sejak pemerintah AS memulai proses peninjauan kembali pada April 2018 atas fasilitas GSP yang diberikan kepada beberapa negara termasuk Indonesia, pemerintah Indonesia secara aktif melakukan serangkaian konsultasi dengan Kantor United States Trade Representative (USTR) yang berwenang untuk bernegosiasi dengan negara lain untuk perjanjian dagang.

Konsultasi dilakukan tidak hanya melalui komunikasi jarak-jauh, tetapi juga pertukaran kunjungan pejabat senior maupun pejabat tinggi kedua Negara yang disambut baik oleh AS.

Di pihak Indonesia, upaya ini melibatkan berbagai kementerian dan lembaga seperti Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Kantor Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Komunikasi dan Informasi, dan Otoritas Jasa Keuangan, serta Kedutaan Besar RI di Washington, DC.

Berbagai upaya yang dilakukan sejak tahun 2018 itu akhirnya membuahkan hasil pada tanggal 30 Oktober 2020 saat AS menyatakan bahwa proses review untuk Indonesia dinyatakan selesai dan Indonesia akan tetap mendapatkan fasilitas GSP.

Hasil peninjauan tersebut diumumkan secara resmi melalui laman situs USTR dan surat dari Duta Besar USTR, Robert Lighthizer, kepada Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.

Potensi ekspor yang masih besar

Pekerjaan rumah Indonesia kali ini adalah mendorong lebih banyak pihak untuk memanfaatkan fasilitas GSP.

Dari 3,572 pos tarif yang mendapatkan fasilitas GSP, Indonesia baru memanfaatkannya untuk 729 pos tarif barang saja, atau sekitar 20.4%.

Hingga bulan Agustus tahun 2020, nilai ekspor GSP Indonesia ke AS tercatat senilai $1.87 milyar (Rp 26,6 triliun), atau naik 10.6% dibandingkan periode sama di tahun sebelumnya.

Moncernya kinerja perdagangan pada gilirannya akan mampu menopang target-target pertumbuhan ekonomi di jangka menengah dan panjang.

Kunjungan Mike Pompeo kemarin jelas merupakan sebuah langkah nyata akan hubungan antara Indonesia dan Amerika Serikat yang lebih harmonis di masa mendatang.

Kunjungan Pompeo tempo lalu tidak hanya diartikan sebagai langkah pemerintahannya Trump saja tetapi juga merepresentasikan pemerintah Amerika Serikat yang berlanjut dengan presiden terpilih Joe Biden.

Meskipun kebijakan unilateral atau sepihak dari AS via GSP ini adalah ciri khas dari pemerintahan Trump yang berbeda dengan strategi partai Demokrat di bawah Obama dan juga Biden yang lebih mengedepankan perundingan antar negara atau wilayah, tetapi basis unilateralisme di era Trump akan sangat bermanfaat untuk menjadi fondasi bagi jejaring strategi multilateral atau antarnegara yang akan dilakukan pada pemerintahan Biden.

Indonesia akan tetap menjadi salah satu mitra penting AS di Asia Tenggara melalui visi Strategi Indo-Pasifik, AS untuk mengimbangi pengaruh Cina di kawasan.

Disrupsi yang terjadi selama pandemi COVID-19 ini pada akhirnya semakin menyadarkan betapa pentingnya untuk semakin meningkatkan kolaborasi antarnegara.

Amerika Serikat tampaknya akan mengejar tempat alternatif produksi untuk menggantikan ketergantungannya yang terlalu berlebihan pada Cina, dan Indonesia adalah salah satu negara untuk menuju strategi pelebaran produksi tersebut.

Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi pada pidatonya tanggal 16 Agustus yang lalu, yaitu bagaimana membajak pandemi untuk kepentingan kita dengan menangkap peluang-peluang yang terserak.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,100 academics and researchers from 4,950 institutions.

Register now