Menu Close
(Surasak Jailak/Shutterstock)

Mengapa PLTS atap adalah langkah awal tercepat untuk panen energi surya besar-besaran

Indonesia berjanji mengurangi listrik pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) secara bertahap hingga ke titik nol pada 2050. Harapannya, asap-asap PLTU tak lagi berkeliaran mengotori bumi dan membikin kita sesak napas.

Lantas, bagaimana menggantikan pasokan listrik PLTU yang berkurang tersebut? Bagaimana nanti Indonesia menyiapkan energi untuk populasi yang bertumbuh dan makin sejahtera? Bagaimana nanti Indonesia menyiapkan setrum untuk kendaraan listriknya?

Penelitian kami di Australian National University sebelumnya mengungkapkan Indonesia dapat mengandalkan energi surya yang potensinya sekitar 2000 kali lebih besar daripada konsumsi listrik Indonesia saat ini. Pasokan listrik PLTU tersebut dapat digantikan dengan produksi pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) sebesar 3700 Gigawatt (GW).

Indonesia yang sejahtera dan bebas karbon membutuhkan sekitar 10 miliar panel surya pada 2050. Panel-panel tersebut dapat diletakkan di atap bangunan, lahan bekas tambang, terapung di danau, waduk, bahkan di atas perairan laut Indonesia yang sangat luas dan relatif tenang. Miliaran panel ini hanya membutuhkan lahan seluas 25 ribu kilometer persegi (km2) atau hanya 0,3% dari total luas wilayah Indonesia.

Kendati demikian, meletakkan miliaran panel tak segampang membuat mie instan. Indonesia membutuhkan peta jalan pengembangan panel surya untuk program energi bersih jangka panjang, pengadaan berskala besar, hingga pasokan peralatannya.

Sembari menyiapkannya, Indonesia tetap perlu menambah pasokan energi bersih. Salah satu usaha tercepat yang sangat memungkinkan kita tempuh adalah memperbanyak pemasangan PLTS di atap bangunan, termasuk di rumah-rumah.

Mengapa PLTS atap?

PLTS atap adalah salah satu cara mudah dan cepat Indonesia untuk menambah pasokan energi ramah lingkungan.

PLTS di atap bangunan di Jakarta. (PLN)

Karena dipasang di atas atap, PLTS ini tidak memerlukan lahan khusus sebagaimana PLTS konvensional (ground-mounted). Panel surya bisa dipasang di atap rumah, gedung perkantoran, parkir, rumah sakit, hotel, swalayan, sekolah, rumah ibadah, pergudangan, dan pabrik.

Ongkos pemasangan PLTS atap ini memang bersumber dari dana masyarakat sendiri atau swasta, bukan dari Pemerintah. Namun, pemasangannya membuat penyediaan listrik kita lebih efisien. Adanya PLTS atap di rumah kita membuat sumber listrik menjadi sangat dekat. Ini mengurangi kehilangan energi/susut jaringan yang pasti terjadi dalam proses pengiriman listrik melalui kabel PT PLN yang jauh dari konsumen.

Per Desember 2023, Kementerian ESDM mencatat ada sekitar 8.491 pelanggan PLN yang memasang PLTS atap. Total kapasitasnya mencapai 141 megawatt (MW), hampir menyamai kapasitas PLTS terapung Cirata di Jawa Barat.

Jumlah terpasang itu baru sebagian kecil saja dari potensi yang ada di Indonesia—yang diperkirakan mencapai 500 ribu MW.

Teladan dari Negeri Kangguru

Indonesia dapat mencontoh Australia yang tekun merangsang warganya memasang PLTS atap. Saat ini, di Negeri Kangguru ada 3,5 juta rumah, sekitar sepertiga, telah memasang PLTS atap. Sumbangannya mencapai 8% dari total pembangkitan listrik nasional.

Australia, dengan sepersepuluh penduduk Indonesia, menghasilkan tiga perempat listrik lebih banyak dibandingkan Indonesia. Saat ini 40% listrik Australia berasal dari energi terbarukan, sebagian besar energi surya dan angin. Jumlah ini meningkat delapan kali lipat dalam satu dekade terakhir. Harga listrik (wholesale) Australia tidak berubah selama transisi yang cepat ini. Porsi energi terbarukan ditargetkan mencapai 82% pada tahun 2030.

Setiap bulan, Australia memasang panel surya sebanyak-banyaknya di atap rumah dan bangunan - setara 3500 MW per tahun. Indonesia dapat mencontoh hal ini dan merangsang masyarakat dan swasta untuk beramai-ramai memasang PLTS atap.

Di Australia, ongkos pasang PLTS atap berkapasitas 10 kilowatt adalah sekitar $10.000 dollar Australia. PLTS ini cukup untuk satu keluarga yang terdiri dari 5 orang kaya yang tinggal di rumah serba listrik dengan AC dan kendaraan listrik. PLTS ini memiliki umur sekitar 25 tahun dengan perawatan yang sangat rendah. Di Indonesia, PLTS atap sebesar ini dapat menghasilkan hingga 330.000 kilowatt-jam (kWh) selama umur pakainya, dan mengurangi emisi karbon sekitar 300 ton.

Australia memberikan insentif pemasangan PLTS atap, yang dapat menurunkan harga hingga 70% dari harga pasar. Insentifnya menurun dari tahun ke tahun dan akan dihapus pada tahun 2030. Rangsangan pemasangan PLTS bervariasi tergantung negara bagian. Pemerintah negara bagian Victoria, misalnya, mengguyur subsidi harga (rebate) hingga AU$1.400 (sekitar Rp15 juta). Ada juga opsi kredit ongkos panel surya atap tanpa bunga untuk rumah hunian atau rumah yang sedang dibangun.

Insentif yang diberikan untuk masyarakat di Canberra malah lebih besar. Angkanya mencapai AU$2 ribu untuk subsidi dan plafon pinjaman hingga AU$15 ribu. Insentif ini memungkinkan industri tenaga surya Australia tumbuh menjadi skala besar dan menghasilkan sistem yang berbiaya rendah dan dapat diandalkan. Indonesia dapat meniru Australia.

Kapasitas pembangkitan listrik yang dikelola National Electricity Market di Australia sebesar 65 Gigawatt—hampir sama dengan total kapasitas pembangkit listrik (milik PLN dan Swasta) di Indonesia yang mencapai 69 Gigawatt. Sistem listrik Australia—yang secara kapasitas hampir sama besar dengan Indonesia—mampu beroperasi tanpa masalah berarti, meskipun terdapat pasokan energi surya dari PLTS atap dan angin (variable renewable energy) yang mencapai 100% pada jam-jam tertentu. Indonesia bisa belajar bagaimana cara Australia mengelola jaringan listriknya tetap andal.

PLTS membuat listrik byar-pet?

Salah satu persoalan yang dipikirkan Indonesia untuk memakai energi surya secara besar-besaran adalah faktor kestabilan pasokan listriknya. Hal ini wajar mengingat matahari tidak bersinar sepanjang hari.

Namun, sistem kelistrikan Australia mampu beroperasi dengan lancar, dan dapat diandalkan meskipun energi terbarukan melebihi 70% pada beberapa jam dalam sehari. Indonesia dapat belajar dari cara Australia mengelola jaringan listriknya dengan handal. Energi surya dan angin yang bervariabilitas dapat diatasi dengan dengan teknologi penyimpan energi untuk menstabilkan pasokan listrik.

Riset kami terdahulu mengungkap bahwa di Indonesia terdapat potensi pengembangan PLTA pumped storage jenis off-river (tanpa membendung sungai) di 26 ribu lokasi. PLTA jenis ini dapat dioperasikan sebagai ‘baterai alami’ penyimpan energi.

Untuk mendukung pemanfaatan energi surya 100%, Indonesia akan membutuhkan fasilitas penyimpanan energi dengan total kapasitas sekitar 1100 GW untuk menyimpan daya selama 10 jam (11 TWh) atau hanya sebagian kecil dari total potensi PLTA pumped storage tersebut.

Selain andal, riset terbaru kami turut menemukan penggunaan teknologi pumped storage lebih hemat biaya. Dengan skenario 100% listrik energi terbarukan yang dipasok dari dominan energi surya, biaya pembangkitan listrik - termasuk pembangkitan, transmisi, penyimpanan energi, dan jaringan transmisi baru - hanya sebesar US$91 per Megawatt jam (MWh).

Ongkos ini lebih murah dari pada rata-rata biaya pembangkitan PLN saat ini US$98 per MWh. Biaya pembangkitan listrik yang kami hitung juga lebih murah jika Indonesia tidak menggunakan jaringan listrik antarpulau atau supergrid.

Jika ingin mengandalkan energi surya, Indonesia perlu meredam risiko kebakaran hutan. Sebab, kami menemukan bahwa terdapat periode waktu pada musim kemarau, saat matahari bersinar cerah, radiasi matahari justru lebih kecil.

Sebagai contoh, kami mengamati tingkat radiasi matahari di Tanjung Selor, Kalimantan Utara, pekan keempat pada Juni 2015 justru lebih rendah 36% dari pada tahun 2010 pada periode waktu yang sama.

Kami menduga penurunan ini terjadi karena adanya kebakaran gambut dan hutan di Kalimantan. Produksi panel surya yang turun tiba-tiba karena efek asap kebakaran akan mengganggu keseimbangan pasokan. Akibatnya, kita perlu menyiapkan baterai berkapasitas lebih besar sehingga biaya akan membengkak.

Apa yang perlu dilakukan?

Pemerintah perlu melakukan sejumlah tindakan untuk percepatan penambahan kapasitas PLTS Atap maupun PLTS jenis lainnya di Indonesia.

  • Mengguyur insentif bagi pemasang PLTS atap di bangunan rumah tangga dan bisnis/industri sebagaimana pernah dilakukan pada 2022 dalam bentuk Sustainable Energy Fund. Dana ini dapat diambil dari sebagian dana Kemitraan Transisi Energi Berkeadilan (JETP).

  • Mengalokasikan subsidi listrik yang tidak hanya mensubsidi pembangkit berbahan bakar fosil, namun juga energi surya.

  • Membuat peta jalan energi surya. Indonesia perlu mempunyai peta jalan baik pemanfaatan PLTS maupun peta pengembangan industri manufaktur panel surya yang dapat jadi rujukan atau undangan pada para investor untuk menanamkan modalnya ke Indonesia.

  • Menyiapkan produksi panel surya dalam negeri. Jika tidak mampu memproduksi panel suryanya sendiri, Indonesia hanya akan jadi konsumen. Untuk itu, Indonesia perlu menggenjot kapasitas produksi PLTS dalam negeri yang saat ini baru sebesar 1,6 GW per tahun. Selain itu, komponen seperti alat pengubah arus (inverter) juga perlu dibuat di dalam negeri. Dengan mengandalkan produksi domestik, maka dengan sendirinya porsi Tingkat Kandungan Dalam Negeri akan terpenuhi.

Sekali lagi, Pemerintah perlu lebih serius mendorong pengembangan PLTS atap. Jika jutaan atap bangunan sudah terpasang panel surya, maka ketidaktersediaan lahan tidak lagi jadi alasan untuk sulitnya memenuhi listrik energi bersih Indonesia di masa depan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now