Menu Close

Mengapa repatriasi prasasti Sangguran dan Pucangan penting untuk membantu Indonesia menghadapi krisis iklim?

Prasasti Sangguran yang masih menyimpan banyak misteri karena belum semua inskripsinya dipahami. Inscriptions on the Move/The Conversation Indonesia.

Ilmuwan diaspora Indonesia sedang mendorong upaya pengembalian prasasti Pucangan dan Sangguran ke Indonesia (repatriasi) yang sudah dilakukan sejak tahun 2004 tapi belum berhasil.

Kedua prasasti besar abad ke-10 dan ke-11 yang memuat tulisan Jawa kuno ini saat ini berada di Kalkuta, India dan Skotlandia. Stamford Raffles, Letnan Gubernur Inggris Raya yang berkuasa di Jawa tahun 1811-1816, memberikan kedua prasasti ini sebagai cinderamata untuk Lord Minto of Roxburghshire. Namun, belum ada informasi pasti mengapa prasasti Pucangan ditinggal di India dan tidak ikut dibawa ke Skotlandia.

Baik prasasti Pucangan maupun Sangguran bukan sekadar artefak budaya. Isi dari kedua prasasti tersebut adalah kunci untuk memahami arti hadirnya Indonesia di dalam era Antroposen (Anthropocene), era yang melihat adanya hubungan erat antara manusia dengan proses-proses geologis.

Kedua prasasti tersebut memuat tulisan Jawa kuno tentang peristiwa bencana pada sebuah periode kritis dalam sejarah Indonesia yang sampai saat ini belum sepenuhnya dimengerti karena teksnya tidak tersusun dengan baik. Sejauh ini, belum ada edisi atau terjemahan yang diterbitkan berdasarkan pemeriksaan langsung terhadap prasasti tersebut. Tanpa akses ke prasasti dan reproduksi yang dapat diandalkan, studi tentang isinya tidak dapat berkembang.

Padahal, bencana iklim dan Antroposen mendesak kita semua untuk memikirkan tentang dunia yang rapuh dan hubungan antara alam dengan masyarakat. Ilmuwan dunia percaya, mengunjungi kembali dua prasasti ini penting untuk memahami hubungan erat antara manusia dengan proses-proses geologis di masa lalu dan membantu masyarakat menghadapi ancaman iklim di masa kini dan masa depan.

Hubungan manusia dengan alam

Masyarakat lokal menilai Batu “Minto” atau Prasasti Sangguran dengan berat hampir 3 ton sebagai sebuah peninggalan sejarah berharga; sampai-sampai replika dari prasasti tersebut kini berdiri dan disembah di Jawa Timur, tempat asalnya.

Memang, prasasti Pucangan dan Sangguran adalah salah satu kunci untuk memahami hubungan sakral antarkehidupan sosial, struktur kepemerintahan dan manifestasi geologis di tanah Jawa. Sebagai contoh, ahli sejarah masih berdebat tentang hubungan antara pralaya (kehancuran besar) yang tertuang dalam prasasti Pucangan dan letusan gunung Merapi sekitar tahun 1006 yang kemudian mengakibatkan perpindahan kekuasaan kerajaan Mataram ke Jawa Timur.

Setidaknya sejak awal abad ke-20, masyarakat Jawa sudah terlebih dahulu mencatat bukti adanya hubungan yang erat antara proses geologis dengan struktur kepemerintahan masa itu.

Bagi Keraton Yogyakarta, contohnya, kekuasaan sultan adalah pemberian dari penguasa Gunung Merapi dan Laut Kidul.

Masyarakat lokal meyakini bahwa merekalah yang memberikan dan mempercayakan kekuasaan administratif kepada Sultan. Sedangkan Gempa bumi, letusan gunung berapi, hujan, dan tsunami adalah pengejawantahan dari suara, dan nafas—para penunggu tersebut. Kepercayaan tersebut yang mendorong para abdi yang bekerja untuk sultan mempersiapkan sesaji bagi arwah nenek moyang, penunggu gunung berapi, sungai, hutan, dan laut.

Ahli ilmu bumi Belanda, Pieter Veth, dalam catatannya di tahun 1882 yang bertajuk “Java: Geography, Ethnology, History” mengakui signifikansi Nyai Ratu Kidul, dan Samudera Hindia sebagai teritorinya.

Masyarakat Jawa sudah memahami bahwa segala aspek sosial, politik, dan proses geologis tidak dapat dipisahkan; dan mereka sudah bergumul dengan konsep Antroposen setidaknya sejak abad ke-18.

Ketika para ilmuwan barat di awal abad ke-20 melakukan eksperimen, mereka mengambil data di situs-situs gunung berapi dan menemukan sesajen.

Georges Kemmerling, ilmuwan dari Belanda, mencatat bahwa dalam melakukan kegiatan ilmiahnya di sekitar gunung Merapi di Jawa dan gunung Agung di Bali, dia mengikuti rute ritual menuju situs-situs sakral.

Dalam rute-rute itulah, ilmuwan kolonial pada tahun 1920-1930 pertama kali mempelajari gunung-gunung berapi di Jawa.

Apa yang hari ini dianggap sebagai mitos atau local wisdom sejatinya adalah fondasi dari berbagai cabang ilmu bumi modern. Konsep Antroposen yang dipahami oleh masyarakat Jawa memberi pengertian baru di bidang Kronostratigrafi (cabang ilmu yang mempelajari umur strata batuan dalam hubungannya dengan waktu) dan peran manusia dalam perubahan iklim.

Itulah sebabnya, prasasti seperti Sangguran, dan Pucangan penting untuk memberikan pengertian mendalam terkait hal ini.

Apa yang sudah dilakukan?

Bagus Putra Muljadi/The Conversation Indonesia.

Untuk lebih memahami sejarah Indonesia pada abad ke-10, penulis dan Adam Bobbette, peneliti dan dosen di Universitas Glasgow, Skotlandia, mengumpulkan peneliti-peneliti dari Indonesia, Amerika, Inggris dan Australia untuk menggali konsep kerajaan-kerajaan kuno nusantara dan bagaimana batas-batasnya berevolusi dari masa ke masa dalam sebuah forum bertajuk Inscriptions on the Move, September 2023 lalu.

Saat ini status kepemilikan prasasti Sangguran masih dipegang oleh keluarga Minto, bukan oleh pemerintah Skotlandia.

Kolaborasi keilmuan yang dimotori oleh diaspora akademik Indonesia ini adalah cerminan diplomasi sains akar rumput untuk meningkatkan kesadaran publik tentang keberadaan prasasti Sangguran di Skotlandia, lewat diskursus ilmiah.

Ini sekaligus mengajak pemangku kebijakan Skotlandia untuk memfasilitasi upaya repatriasi yang sampai saat ini masih gagal terlaksana setelah Kedutaan Besar Republik Indonesia di London, Inggris menghentikan negosiasi pada 2006.

Bagus Putra Muljadi/The Conversation Indonesia.

Dalam acara di atas, penulis bersama penyelenggara juga mengikutsertakan Bupati kota Batu, Jawa Timur, Aries Agung Paewai, serta Wakil ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Lestari Moerdijat untuk menyuarakan pentingnya pengembalian prasasti Sangguran lewat media lokal.

Prasasti Pucangan dan Sangguran bukan hanya penting sebagai peninggalan budaya untuk dipamerkan di museum, melainkan untuk dipahami dan diteliti secara keilmuan oleh etnografer, ahli geologi, maupun ahli sejarah. Harapannya, kita bisa menggunakan hasil analisisnya untuk mempelajari bagaimana Jawa di permulaan abad modern menyikapi bencana alam dan lingkungan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now