Menu Close

Mengenal 3 keunikan suku Punan Batu untuk memahami evolusi manusia dan pola migrasi di Kalimantan

Liang batu karst: tempat orang Punan Batu berlindung. Pradiptajati Kusuma/The Conversation Indonesia.

Penelitian terbaru kami, yang dipublikasikan di jurnal ilmiah Cell Reports, mengungkap sejarah leluhur genetik dan gaya hidup suku Punan Batu di Kalimantan, salah satu kelompok pemburu-pengumpul nomaden aktif yang masih tersisa di dunia.

Mereka hidup di hutan pedalaman Kalimantan, berpindah-pindah dari satu liang/ceruk batu karst dan kamp hutan ke yang lainnya. Mereka mengandalkan sumber daya alam untuk bertahan hidup, seperti berburu binatang liar, mengumpulkan ubi hutan dan buah-buahan, meramu tanaman obat dan memanen madu liar. Bisa dibilang, suku Punan Batu adalah saksi hidup sejarah dan budaya Kalimantan kuno.

Penelitian kami menemukan bahwa suku Punan Batu memiliki beberapa keunikan yang dapat digunakan untuk memahami kompleksitas evolusi manusia, pola migrasi, dan praktik cara hidup yang pernah tersebar luas di hutan Kalimantan.

Apa saja keunikan tersebut?

1. Warisan genetik

Suku Punan Batu memiliki warisan genetik yang berbeda dari kelompok lain di Kalimantan. Analisis genetik kami menunjukkan bahwa mereka adalah keturunan langsung dari leluhur yang tua di Kalimantan. Mereka memiliki hubungan kekerabatan yang lebih dekat dengan sub-kelompok Punan yang lain dalam studi kami (Punan Tubu, dan Punan Aput) dibandingkan dengan kelompok agrikulturalis asli di sekitarnya yang bermata pencaharian petani, seperti Lundayeh.

Artinya, mereka tidak berasal dari populasi agrikulturalis yang mengadopsi kembali cara hidup berburu dan meramu di hutan, seperti yang pernah diperdebatkan oleh para ahli antropologi/arkeologi selama beberapa dekade.

Penelitian kami juga menemukan bahwa suku Punan Batu tidak memiliki pencampuran genetik dari nenek moyang Austronesia, kelompok migran dari Taiwan yang dipercaya membawa budaya agrikultur ke Indonesia, hingga populasi Pasifik dan Madagaskar, mulai sekitar 5,000 - 4,000 tahun yang lalu.

Latar belakang genetik Austronesia berkontribusi besar dalam membentuk keragaman identitas genetik populasi Indonesia secara umum, terlebih pada populasi agrikulturalis asli di Kalimantan. Namun, leluhur Punan diestimasi lebih tua dari itu, paling tidak lebih dari 7,500 tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan bahwa suku Punan Batu telah mempertahankan integritas genetiknya dalam jangka waktu yang lama.

Warisan genetik yang unik ini memperkuat bukti bawah suku Punan Batu menjalani pola hidup berburu-meramu yang sudah sangat lama.

2. Bahasa lagu

Suku Punan Batu tidak hanya unik dalam susunan genetiknya, tetapi juga dalam bahasa mereka.

Seperti yang telah kami publikasikan di jurnal Evolutionary Human Sciences pada tahun 2022 lalu, orang Punan Batu melestarikan bahasa lagu (Latala) yang tidak memiliki hubungan secara linguistik dengan bahasa lain di Kalimantan. Bahasa ini, yang diturunkan dari generasi ke generasi, merupakan bagian penting dari identitas budaya mereka.

Bahasa lagu suku Punan Batu memiliki ciri khas yang menarik, seperti penggunaan nada yang bervariasi (dengan menira, atau bernyanyi), pengulangan kata atau frasa, dan penggunaan metafora. Bahasa ini juga mencerminkan pengetahuan dan kearifan lokal mereka tentang alam, binatang, tanaman, dan obat-obatan.

Sayangnya, bahasa ini kini menjadi bahasa yang terancam punah, karena hanya bisa dituturkan oleh orang-orang tua Punan Batu. Anak muda mereka lebih banyak mempelajari bahasa Indonesia sehingga enggan untuk belajar bahasa Latala.

3. Berkomunikasi dengan pesan ranting

Mereka juga memiliki praktik budaya yang langka dan menarik, seperti menggunakan pesan ranting untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan berbagi sumber daya dalam praktik pro-sosial.

Metode komunikasi ini pernah tersebar luas di kalangan suku Punan yang nomaden di Kalimantan, termasuk suku Penan di Sarawak, Malaysia namun sebagian besar sudah hilang di desa-desa Punan yang telah menetap.

Pesan ranting yang ditancapkan di tanah. Pesan ini menunjukkan seorang/keluarga Punan Batu (nama orang/keluarga disimbolkan secara unik dengan potongan kayu kecil di ujung pesan ranting) berpindah kamp. Arah kemiringan dari pesan ranting menunjukkan arah tujuan perpindahan, dan ukuran panjang ranting menunjukkan jarak relatif perpindahan. Pradiptajati Kusuma/The Conversation Indonesia

Pesan-pesan yang mereka gunakan berupa tanda-tanda ranting yang mengandung informasi tentang arah, jarak, waktu, atau keadaan darurat.

Pesan-pesan ini membantu mereka berkoordinasi, berkolaborasi, dan bersolidaritas dalam mencari makan, berburu, dan menghindari bahaya serta penyakit dengan melakukan praktik karantina mandiri misalnya.

Ancaman dan pelestarian

Suku Punan Batu tinggal di hutan yang merupakan bagian dari kawasan Gunung Batu Benau, Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara yang merupakan calon geopark dengan nilai geologi, biologi, dan budaya yang tinggi. Kawasan ini memiliki formasi batu karst yang unik, yang membentuk gua-gua yang menjadi tempat perlindungan suku Punan Batu. Kawasan ini juga memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, yang menjadi sumber makanan dan obat-obatan bagi suku Punan Batu.

Ubi hutan sebagai sumber karbohidrat bagi masyarakat Punan Batu. Pradiptajati Kusuma/The Conversation Indonesia

Sayangnya, cara hidup suku Punan Batu mulai terancam. Hutan tempat tinggal mereka menyusut akibat ekspansi perusahaan penebangan kayu dan kelapa sawit. Hal ini tidak hanya berdampak pada aktivitas berburu dan meramu mereka, namun juga mengancam warisan budaya mereka.

Masyarakat Punan Batu dan hutan area jelajah di sekitar Gunung Batu Benau dan sungai Sajau telah diakui dalam status “Masyarakat Hukum Adat” pada bulan Juni 2023 lalu oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara.

Namun, pengakuan ini saja tidak cukup. Kawasan ini memerlukan perlindungan yang lebih kuat dari pemerintah semisal dengan memberikan status hutan adat. Hal ini dibutuhkan untuk mencegah kerusakan lingkungan, konflik sosial, dan ancaman bagi keberlangsungan hidup suku Punan Batu kedepannya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now