Menu Close

Menggembala sapi di kebun sawit bisa atasi tingginya harga daging

Sapi di lahan sawit. Author provided

Setengah dari permintaan daging sapi di Indonesia dipenuhi oleh impor, menyebabkan mahalnya harga jual sumber protein hewani ini.

Salah satu masalah swasembada daging adalah rendahnya ketersediaan lahan untuk pengembangan ternak sapi bakalan atau sapi yang digemukkan.

Penelitian kami di Pusat Teknologi Produksi Pertanian menunjukkan bahwa perkebunan sawit dapat dimanfaatkan untuk produksi ternak sapi.

Indonesia pada tahun lalu memiliki hampir 15 juta hektar perkebunan sawit. Dengan sistem integrasi sawit sapi (SISKA) yang terkontrol, lahan perkebunan sawit berpotensi jadi lahan penggembalaan sapi bakalan.

Pekerja memanen tandan buah segar kelapa sawit saat panen di Desa Jalin, Kecamatan Kota Jantho, Kabupaten Aceh Besar, Aceh, Senin (23/8/2021). Antara Foto

Lahan perkebunan sawit sebagai lahan penggembalaan

Menurut data Badan Pusat Statistik, luas lahan penggembalaan ternak sapi di Indonesia sekitar 8.8 juta hektar pada tahun 1973. Alih fungsi lahan menyusutkan luasan padang penggembalaan menjadi hanya 2.4 juta hektar pada 2003, dengan tren penyusutan sekitar 0.3% per tahun.

Padahal, Indonesia membutuhkan sekitar 7,2 juta hektar lahan penggembalaan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi setahun, yaitu 3.6 juta ekor sapi. Ini dengan asumsi untuk memenuhi kebutuhan penggembalaan satu ekor sapi membutuhkan dua hektar lahan.

Secara umum, setiap empat hektar kebun sawit dapat diintegrasikan sebagai lahan penggembalaan untuk satu ekor sapi dewasa.

Integrasi lahan sawit dan gembala sapi di 30% lahan perkebunan sawit dapat menampung 1.1 juta ekor sapi bakalan. Ini dua kali lipat dari kuota impor sapi bakalan dari Australia pada tahun 2021, yaitu sebesar 500 ribu ekor.

Integrasi lahan sawit dan gembala sapi bertujuan untuk meningkatkan produktivitas dan keuntungan dari usaha kelapa sawit dan ternak sapi melalui efisiensi penggunaan sumber daya yang tersedia.

Sapi akan memakan rumput di antara pohon sawit dan menghasilkan kotoran sebagai pupuk organik untuk kebun sawit. Ini merupakan hubungan yang saling menguntungkan antara perkebunan kelapa sawit dan peternakan.

Pengalaman implementasi integrasi gembala sapi di lahan sawit di PT. Buana Karya Bakti di Kalimantan Selatan dapat mengurangi biaya kontrol gulma (rumput yang tumbuh diantara pohon sawit) sebesar 24–43% dibandingkan sebelum dilakukannya penggembalaan sapi.

Lebih lanjut, kajian implementasi integrasi sawit sapi terkontrol di Kabupaten Siak, Riau menunjukkan peningkatan produksi buah sawit segar sebesar 15-25% dan biaya pemupukan berkurang sebesar 30-40%.

Tidak berdampak negatif dan mendukung perkembangan sawit

Untuk mempercepat swasembada daging sapi pengusaha perkebunan sawit perlu mulai menerima penggembalaan sapi di lawan sawit.

Sebagian pemilik perkebunan sawit masih menganggap sapi adalah hama bagi tanaman sawit karena dapat merusak daun sawit, mengakibatkan pemadatan tanah, dan membawa penyakit Jamur Ganoderma.

Persepsi yang keliru dan isu-isu negatif terkait menggembalakan ternak sapi di dalam perkebunan kelapa sawit ini perlu diluruskan karena tidak relevan dengan fakta ilmiah.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa SISKA yang terkontrol atau menggunakan sistem penggembalaan rotasi yang membagi wilayah penggembalaan terbukti tidak menimbulkan dampak negatif terhadap perkebunan sawit.

Sistem penggembalaan rotasi dapat mencegah pemadatan tanah yang melebihi ambang batas merugikan. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa penyebaran penyakit Ganoderma atau membusuknya pangkal batang sawit tidak terkait dengan sapi. Justru mikroba atau bakteri di dalam kotoran sapi dapat meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang bermaanfaat dalam menekan pertumbuhan Jamur Ganoderma.

Untuk menghindari kerusakan daun sawit oleh ternak sapi maka penempatan penggembalaan sapi perlu dilakukan di area tanaman sawit yang berumur di atas empat tahun atau pada tanaman sawit yang sudah cukup tinggi untuk menghindari jangkauan sapi.

Pemerintah perlu berikan lebih banyak insentif

Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang mendukung percepatan integrasi sawit sapi (SISKA) yang terkontrol.

Saat ini Peraturan Menteri Pertanian Nomor 105 Tahun 2014 yang diterbitkan pemerintah sebagai regulasi SISKA baru berfungsi sebatas landasan pelaksanaan SISKA tetapi tidak dilengkapi dengan aturan untuk mendorong penggunaannya.

Selain itu, dari sisi perizinan usaha perkebunan dan peternakan masih terpisah sehingga menyulitkan perusahaan perkebunan untuk melakukan SISKA menggunakan izin perkebunan yang dimilikinya. Pemerintah perlu mempermudah pengurusan perizinan pemilik perkebunan yang akan melakukan SISKA.

Pemerintah juga perlu menambahkan aturan untuk meningkatkan implementasi SISKA dalam bentuk insentif pajak.

Para peneliti dan pemerintah perlu mengkomunikasan hasil penelitian terbaru, dan pengalaman empiris terkait SISKA kepada publik khususnya kepada pemilik perkebunan kelapa sawit untuk menjawab isu-isu negatif yang menghambat implementasi SISKA.

Informasi-informasi mengenai integrasi sawit dan sawit perlu dikumpulkan dan disusun menjadi pedoman teknis pelaksanaan SISKA yang mudah diakses oleh publik.

Terakhir, perlu dipersiapkan kurikulum SISKA dalam institusi pendidikan untuk menghasilkan SDM profesional yang akan dibutuhkan untuk menunjang pengembangan SISKA di Indonesia.

Keberhasilan implementasi SISKA diharapkan dapat memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Tercukupinya pasokan daging sapi lokal akan mendukung pemenuhan asupan protein bagi masyarakat Indonesia dengan harga yang lebih terjangkau dan stabil.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now