Menu Close

Menjadi nasionalis-kosmopolitan: Alasan mengapa diaspora enggan pulang namun dapat menghidupi Indonesia tanpa tinggal di tanah air

Warga Negara Indonesia (WNI) mengenakan busana adat khas Indonesia di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, dalam parade Hari Kebangsaan Brunei Darussalam. Instagram resmi KBRI Bandar Seri Begawan

Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani meminta para alumni penerima beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) yang studi di luar negeri untuk pulang ke Indonesia seusai sekolah. Ia khawatir jika tidak pulang, mereka lupa menjadi orang Indonesia.

Permintaan tersebut merespons Direktur Utama LPDP Andin Hadiyanto yang mengungkapkan bahwa ada 413 alumni beasiswa lembaganya belum kembali ke Indonesia. Padahal, dalam perjanjiannya, jika tidak kembali ke tanah air, mereka wajib membayar ganti rugi.

Hingga saat ini, banyak diaspora Indonesia yang berkegiatan di sektor informal maupun profesional di luar negeri, termasuk para alumni beasiswa, dan enggan kembali ke tanah air. Mereka dituntut mengabdi di Indonesia dan memajukan bangsa atas nama loyalitas.

Sebagai pakar politik dan hubungan internasional sekaligus seorang diaspora Australia (delapan tahun) dan Brunei Darussalam (dua tahun), saya justru mengamati banyak warga negara Indonesia yang berkontribusi untuk tanah air dalam konteks sosial, kemanusiaan, dan dunia, tanpa harus menetap di Indonesia.

Pada dasarnya, yang terpenting bagi para diaspora sebenarnya bukanlah “berada di Indonesia”, tapi memegang prinsip kosmopolitanisme (gagasan yang menekankan keakraban kelompok) sekaligus nasionalisme demi kemajuan tanah air.

Mengapa banyak diaspora enggan “pulang”?

Berdasarkan pengamatan saya, beberapa warga Indonesia memilih berdiam di luar negeri karena cukup dihargai di negeri orang sebagai manusia seutuhnya. Mereka mengklaim masih bisa berkontribusi untuk Indonesia.

Contohnya adalah teman saya asal Madura yang kini menetap di Australia. walaupun pekerjaan cleaning service, ia bisa memiliki rumah, mobil, serta pekerjaan tetap dan layak sehingga bisa membantu keluarga maupun kawan-kawannya di kampung halaman.

Teman saya juga aktif menjadi anggota Nahdlatul Ulama (NU). Ia menebarkan ajaran Islam Nusantara di Australia melalui pengajian dan tradisi khas NU dan Maduranya.

Andil serupa juga dilakukan oleh teman saya, dosen di Universiti Brunei Darussalam. Beliau aktif membantu kawan-kawan di Indonesia mendapatkan beasiswa ke Brunei. Ia juga membiayai mahasiswa Indonesia yang berpotensi untuk sekolah di Brunei. Ia juga membantu kolaborasi agar kawan-kawan dosen Indonesia dapat masuk artikelnya di scopus.

Kepada saya, dia menceritakan alasannya menetap di Brunei karena negara tersebut amat menghargai profesinya untuk terus berkembang. Keluarganya pun dapat hidup berkecukupan, anak-anaknya bisa belajar di sekolah internasional dengan pendidikan berkualitas.

Memang, di Indonesia pun mereka juga bisa mendapatkan pekerjaan. Tetapi menurut sebagian besar para diaspora, pekerjaan tersebut belum bisa membuat mereka mampu mengembangkan dirinya, ilmunya, dan mencukupi keluarganya. Akibatnya, anak bangsa yang pintar di Indonesia tidak bisa menerapkan kepintaran mereka dengan optimal.

Hal tersebut diakui Direktur Utama LPDP sebagai salah satu alasan penerima beasiswa mereka tidak mau kembali ke Indonesia. Pasalnya, mereka bekerja yang di luar negeri mendapatkan gaji lebih tinggi, sehingga lebih memilih bayar ganti rugi daripada kembali ke Indonesia.

Ini semua terjadi karena penghargaan Indonesia terhadap berbagai jenis pekerjaan, mulai dari petugas kebersihan sampai dosen, sangat rendah. Sistem penggajian di Indonesia juga lebih kapitalistik, timpang dan tidak jelas, dibandingkan di negara lain seperti Australia dan Brunei.

Pada akhirnya, berbagai kontribusi para diaspora ini juga mampu mengikis stigma Indonesia di mata warga negara lain.

Dari beberapa contoh di atas itu, saya tidak bermaksud menggeneralisasi, tetapi bermaksud menunjukkan fakta dengan riset kualitatif.

Kawan saya, sang dosen, bercerita bahwa dia pernah ditanya “Kerja di mana?” oleh seorang Melayu dalam jamuan makan malam elit di Brunei. Lalu kawan saya menjawab, “dosen di Universiti Brunei Darussalam (UBD)”.

Si penanya itu kaget dan tidak percaya, “masa ada orang Indonesia menjadi dosen di UBD?”.

Kekagetan tersebut muncul karena kentalnya citra bangsa Indonesia sebagai eksportir pekerja domestik (pembantu rumah tangga, supir, dan tukang kebun).

Di negara lain, termasuk di negara-negara tetangga di Asia Tenggara, warga Indonesia masih memiliki citra sebagai negara asal pekerja di sektor informal dan kelas bawah. Akibatnya, banyak dari warga Indonesia diperlakukan rendah dan hina seperti budak-budak di jaman kolonial.

Ini diperparah dengan banyaknya pekerja migran Indonesia yang masuk melalui jalur ilegal.

Menjadi nasionalis-kosmopolitan

Di dunia yang semakin mengglobal saat ini, kesadaran nasionalisme sudah seharusnya berubah ke arah kosmopolitanisme. Ini sangat erat hubungannya dengan identitas kebangsaan (budaya).

Konsep kosmopolitan justru bisa mendorong penghargaan atas keberagaman identitas (budaya) bangsa yang berbeda-beda. Sementara, konsep nasionalisme berperan memperkuat identitas kebangsaan dalam lingkungan yang kosmopolit.

Kedua prinsip ini dapat berjalan beriringan dan saling menopang, tidak saling meniadakan.

Diaspora Indonesia sebagai yang kosmopolit, misalnya, dapat memberi remitansi dan bantuan sosial-kemanusiaan ke wilayah Indonesia. Banyak diaspora Indonesia di Australia dan Brunei yang selalu mengirim uang ke Indonesia untuk alasan apa pun – keluarga, bisnis, bantuan kemanusiaan, maupun perayaan besar. Ada pula yang membuka lapangan pekerjaan di Indonesia dengan modal dan aset yang mereka dari pekerjaan di luar negeri.

Nasionalisme mereka terlihat dengan terbentuknya paguyuban-paguyuban seperti Madura, Minang, Aceh, Banyumasan, Ngapak, Islam NU, Muhammadiyah, dan seterusnya, untuk menebarkan kebangsaan dan kebudayaan Indonesia di luar negeri dalam semangat kosmopolitanisme, yakni menghargai yang berbeda bangsa; semakin kosmopolitan semakin nasionalis.

Di bidang pendidikan, ada manfaat tersendiri dari menetap di luar negeri bagi para profesional dan akademisi. Riset kolaborasi internasional dan kerja sama antarnegara yang sedang digalakkan akan mudah dilakukan jika kita mempunyai jaringan luas sesama warga negara Indonesia di luar negeri. hal ini dapat mendongkrak peringkat universitas di Indonesia.

Singkatnya, keputusan diaspora Indonesia untuk tidak kembali ke Indonesia justru meningkatkan identitas kebangsaannya. Jangan lupa bahwa citra Indonesia dibentuk dan ditentukan oleh para diaspora di luar negeri. Diaspora profesional dan berkeahlian memberi citra positif bagi Indonesia di mata bangsa lain. Hal ini bisa menjadi bagian dari misi diplomasi publik Indonesia.

Kita bisa belajar dari Cina dan India, yang kini warganya banyak menetap di luar negeri dan berhasil. Dosen, peneliti, direktur perusahaan (CEO), maupun kelas pekerja di dunia banyak didominasi oleh bangsa India dan Cina. Adanya China Town adalah salah satu bukti bahwa bangsa Cina bisa mempunyai wilayah ‘negerinya sendiri’ di negara mana pun, tanpa perlu angkat senjata untuk menjajah.

Warga Cina dan India memiliki sikap nasionalis-kosmopolitan, sehingga mereka bisa berkontribusi untuk dunia sekaligus bermanfaat bagi negerinya. Mereka menjadi mendunia sehingga mengangkat citra bangsa India dan Cina.

Mengubah paham sempit tentang membangun bangsa

Masih banyak kesadaran sempit para pejabat pemerintah, masyarakat dan ruang publik di Indonesia tentang diaspora Indonesia dan para penerima beasiswa, terutama beasiswa yang didanai oleh APBN.

Karena memakai pajak negara, mereka dituntut untuk pulang. Padahal para penerima beasiswa adalah pahlawan pendidikan dan aset jaringan yang secara jangka panjang dapat membangun bangsa dan negara.

Pemerintah seharusnya mendukung penerima beasiswa dan para diaspora Indonesia untuk tetap berkiprah di luar negeri guna memperluas jaringan, meningkatkan ekonomi Indonesia, menumbuhkan nasionalis (solidaritas) di luar negeri, dan menaikkan harga diri bangsa dengan “ekspor” pekerja yang cerdas dan skillful.

Singkat kata, jika dapat lebih memberi manfaat bagi Indonesia dari luar negeri, mengapa harus pulang?

Hidup hidupilah Indonesia, tetapi tidak perlu hidup di Indonesia. Menjadi warga negara Indonesia di luar negeri yang produktif dan bermanfaat justru lebih baik daripada menjadi beban di dalam negeri.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now