Menu Close
Chris LeBoutillier/Unsplash.

Menjelang COP27: tiga peringatan dari ilmuwan iklim ke para pemimpin dunia

Para pemimpin dunia dan para pakar iklim akan berkumpul dalam hajatan penting, yaitu konferensi iklim Perserikatan Bangsa Bangsa (COP27) di Mesir. Konferensi ini bertujuan untuk mengusung agenda pengelolaan bumi yang bebas emisi, sekaligus menjaga pemanasan global di bawah 2°C pada tahun 2100.

Dunia harus cepat-cepat melakukan dekarbonisasi (mengurangi emisi karbon dai praktik atau aktivitas manusia) untuk menghindari dampak yang amat berbahaya dari perubahan iklim.

Para pemimpin dunia sebenarnya tahu betapa gentingnya hal tersebut. Namun, pengetahuan ini harus segera diwujudkan melalui komitmen dan rencana yang konkret.

Jika keadaan tidak berubah dan manusia terus membuang emisi, bumi akan mencapai kondisi yang jauh lebih panas dan lebih mematikan untuk anak-anak kita maupun generasi di masa depan.

Kesuksesan COP27 sangat penting demi kelestarian bumi. Sebagai ilmuwan iklim, saya menggarisbawahi tiga hal yang wajib ada di kepala masing-masing pemimpin dunia saat berdiskusi maupun bernegosiasi dalam COP27.

1. Planet kita sudah memasuki tahap krisis

Sejauh ini, bumi sudah memanas lebih dari 1°C dibandingkan suhu di era praindustri. Artinya, aktivitas manusia sudah merusak sistem iklim dunia. Emisi gas rumah kaca hasil lepasan manusia mengakibatkan kenaikan muka air laut, runtuhnya tutupan es di laut, serta pengasaman laut.

Seluruh insiden ekstrem yang terjadi beberapa tahun belakangan –- khususnya gelombang panas –- memiliki keterkaitan erat dengan perubahan iklim. Kondisi panas yang memecahkan rekor di Amerika Utara bagian barat pada 2021 mengakibatkan kebakaran besar dan melumpuhkan infrastruktur.

Pada awal tahun ini, temperatur di Inggris sudah menyentuh angka yang mematikan, yakni 40°C untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Sementara, gelombang panas di lautan melumpuhkan terumbu karang sehingga keberagaman biota laut di sekitarnya -– seperti ikan –- jauh menyusut.

Ingat, gelombang panas bisa jauh lebih membara selama aktivitas kita masih bermuara pada pemanasan planet. Perbuatan kita dapat membawa bumi ke kondisi iklim yang lebih berbahaya, sehingga efeknya bisa jauh lebih buruk lagi.

Riset yang terbit September silam menyatakan bahwa bumi sesaat lagi melewati lima “titik kritis” – kejadian iklim yang jika terjadi tidak akan bisa terpulihkan. Salah satunya adalah keruntuhan tutupan es di Greenland. Fase ini mengakibatkan gelombang kerusakan di bumi sulit dibendung, sekalipun seluruh emisi aktivitas manusia lenyap dari muka bumi.

Sementara itu, kesehatan manusia juga dalam bahaya. Penelitian yang terbit pada Oktober lalu mengungkap bahwa krisis iklim memperburuk kesehatan masyarakat. Contohnya adalah melalui penyakit menular, polusi udara, dan kelangkaan pangan.

Riset ini juga mengungkap tren yang mencengangkan: pada 2017-2021, angka kematian terkait gelombang panas pada bayi di bawah setahun dan juga lansia di atas 65 tahun meningkat hingga 68% dibandingkan periode 2000-2004.

Generasi penerus kita tidak akan sanggup menanggung beban kerusakan dan penderitaan akibat kelambanan kita memangkas emisi.

2. Pemangkasan emisi amat lambat

Sejumlah negara, khususnya di Eropa, memang sukses memangkas emisi gas rumah kaca melalui transisi energi fosil ke energi terbarukan.

Namun, secara global, transisi ini tidak cukup cepat. Laporan PBB pekan ini menemukan, meskipun negara-negara memenuhi komitmen iklimnya pada 2030, bumi akan tetap memanas hingga 2,5°C pada 2100. Angka tersebut di bawah batas aman yang disepakati dalam Perjanjian Paris yakni sebesar 2°C.

Gunung es di lautan dekat lembah
Kenaikan permukaan laut dari pencairan lapisan es Greenland saat ini sudah tak terhindarkan. AP Photo/Mstyslav Chernov, File

Pemanasan di angka tersebut merupakan bencana besar, terutama di belahan bumi yang lebih miskin. Padahal, porsi kontribusi mereka dalam emisi karbon dunia sangat sedikit.

Selama berpuluh-puluh tahun, dunia kerap cerewet seputar pengurangan emisi karbon dioksida. Namun tetap saja, emisi global tetap naik lebih dari 50% selama usia kehidupan saya, ataupun sejak COP yang pertama pada 1992.

PBB mengingatkan bahwa berdasarkan upaya kita sejauh ini, masih belum ada jalur yang betul-betul kredibel untuk membatasi pemanasan di angka 1,5°C.

Sampai dunia tiba di titik bebas emisi atau net-zero emissions, CO2 akan terus menumpuk di atmosfer sehingga planet ini akan semakin panas. Berdasarkan tren saat ini, manusia telah ‘berdosa’ memanaskan bumi sekitar 0,2°C pada setiap dekade.

Emisi karbon dioksida global tetap mendekati rekor tertinggi dan naik kira-kira empat kali lipat sejak 1960. Global Carbon Project

3. Kita tak boleh menunda lagi

Berbagai persoalan yang sedang terjadi di dunia, seperti invasi Rusia ke Ukraina dan krisis biaya hidup, seakan menjadikan isu perubahan iklim sebagai masalah yang bisa ditunggu.

Anggapan ini justru berbahaya. Perubahan iklim justru bisa semakin memburuk. Penundaan aksi iklim yang terjadi setiap tahun justru semakin membuat risiko terburuk ini menjadi petaka yang nyata.

Hanya upaya bersama dari negara-negara yang bisa menangkal kehancuran ekosistem-ekosistem yang rentan, seperti terumbu karang. Kita harus melakukan segenap upaya untuk segera menanggalkan energi fosil. Setiap penambahan proyek energi fosil justru memperburuk keadaan, sehingga akibat yang harus ditanggung manusia dan lingkungan di masa depan akan jauh lebih buruk.

Pekan lalu, Badan Energi Internasional (IEA) memprediksi pendapatan bersih para produsen minyak dan gas bumi akan melonjak pada 2022 dari sekitar US$ 2 triliun (sekitar Rp 31,3 ribu triliun) menjadi US$ 4 triliun (sekitar Rp 62,7 ribu triliun) – angka yang fantastis dan belum pernah terjadi.

Kita tidak bisa, sebagaimana yang diucapkan aktivis Greta Thunberg, mengharapkan blah, blah, blah“ (omong kosong) lagi dari para pemimpin dunia di COP27. Kita butuh aksi konkret segera untuk memangkas emisi gas rumah kaca.

Sekarang, bagaimana?

COP27 harus memicu transisi yang lebih cepat dari energi fosil. Ini termasuk juga pembangunan tanpa energi fosil, dan dukungan yang lebih banyak untuk negara yang mengalami dampak terbesar dari perubahan iklim. Kita harus menyusun peta jalan yang sahih untuk mencapai kondisi bebas emisi global dalam beberapa dekade mendatang.

Lambannya kemajuan dari konferensi-konferensi iklim sebelumnya membuat saya pesimistis terhadap pencapaian COP27. Saya berharap para pemimpin dunia bisa membuktikan bahwa saya salah, serta tidak mengecewakan publik di negara asal mereka.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now