Menu Close

Menurut Jon Fosse, Tuhan adalah tempat bersandar sehingga sastra dan agama tidak perlu dipertentangkan

Shinta Saragih/The Conversation Indonesia. Author provided (no reuse).

Dalam kajian sastra, terdapat kecenderungan untuk mempertentangkan agama dan sastra dengan dalih kebebasan.

Kecenderungan semacam ini dapat ditelusuri dari pemikiran Jean Paul Sartre, seorang filsuf dan sastrawan Prancis, yang juga peraih nobel sastra pada tahun 1964. Sartre mempopulerkan dalih kebebasan di dalam ateisme, aliran yang tidak mempercayai adanya tuhan, karena menurutnya, kebebasan hanya mungkin jika manusia menolak Tuhan.

Dengan kata lain, jika kebebasan dipahami dengan menggunakan kerangka berpikir Sartre, maka sastra dapat menjadi sarana ekspresi penolakan terhadap agama dan Tuhan.

Namun, hadiah nobel sastra tahun ini sedikit berbeda. Pemenangnya, penulis asal Norwegia Jon Fosse, adalah seorang Katolik yang taat. Ia bahkan dianggap berhasil menjembatani hubungan antara sastra dan agama dalam karya-karyanya.

Kebebasan mutlak Sartre

Baik Fosse maupun Sartre sama-sama menggeluti tema eksistensialisme, yaitu aliran pemikiran yang menitikberatkan pada pengalaman konkret individual (eksistensi) manusia di dalam memahami dan memaknai keberadaannya sebagai manusia.

Tema penting dalam eksistensialisme adalah segala hal yang berkaitan dengan kerentanan yang menimpa manusia. Martin Heidegger, seorang filsuf dari Jerman, menjadikan tema kerentanan manusia seperti kematian, ketakutan, dan kekuatiran sebagai sorotan utama di dalam studi filsafatnya. Selain itu, manusia tidak lagi diperlakukan sebagai mahkluk ciptaan, tetapi mahkluk yang dibuang oleh Tuhan.

Bagi Sartre, mahkluk yang terbuang adalah kutukan untuk kebebasan. Kebebasan adalah mutlak dan ini menjadi prinsip yang melandasi nilai. Pembedaan baik dan buruk, bagi Sartre, tidak lagi relevan. Kebebasan dalam memilihlah yang paling pokok dalam memahami manusia. Dengan cara demikian, Sartre ingin menegaskan bahwa tindakan manusia adalah pilihan absolut dari manusia itu sendiri.

Motif tindakan manusia tidak boleh disandarkan pada sosok di luar manusia seperti Tuhan atau institusi, tetapi disandarkan pada manusia itu sendiri.

Tampaknya, Sartre mendambakan gambaran manusia yang heroik, yang mengandalkan dirinya sendiri dalam menghadapi kematian, ketakutan, dan kekuatiran. Sartre percaya, manusia tidak membutuhkan tuntutan apapun dari luar, termasuk dari sosok Tuhan. Manusia sendirilah yang harus menciptakan nilai untuk dirinya sendiri.

Kesalehan Fosse

Markus Wissmann/shutterstock.

Sementara Fosse adalah kebalikan dari Sartre. Fosse memiliki cara yang berbeda dalam melihat kematian, ketakutan, dan kekuatiran. Menurutnya, ada tuntunan dan uluran tangan yang menjadi sandaran bagi manusia. Inilah yang membedakan eksistensialisme ala Fosse dari eksistensialisme ala Sartre.

Secara implisit, Sartre mengharapkan kekuatan absolut manusia. Sebaliknya, Fosse mengakui keterlibatan sosok Ilahi. Fosse menggambarkan uluran tangan sosok Ilahi ini sebagai metafora cahaya di dalam karyanya yang berjudul A Shining.

Fosse percaya, pengalaman akan kematian, ketakutan, dan kekuatiran adalah sebuah jalan yang harus dilalui manusia. Manusia membutuhkan uluran tangan untuk keluar dari pengalaman-pengalaman tersebut. Inilah yang disebut dengan purifikasi (permurnian). Manusia akan ditinggikan atau dimurnikan setelah diuji dengan pengalaman atas kematian, ketakutan, dan kekuatiran.

Jejak pemikiran ini dapat ditelusuri dalam opus magnus (karya agung) Fosse – Septology yang merupakan sebuah novel tanpa tanda titik:

Bahwa Tuhan mewahyukan diri

dengan menyembunyikan (menyandarkan) diri

dan di dalam ketersembunyian Tuhan

dan di dalam ketersembunyian Tuhan aku dapat bersandar sampai terlupa

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa ketersembunyian Tuhan adalah sandaran bagi manusia. Bersandar adalah bahasa metafor untuk mengungkapkan keintiman relasi.

Tuhan yang bersembunyi (Deus absconditus) adalah tema pokok di dalam mistik, yaitu bentuk kesalehan religius yang sangat menekankan pengalaman keintiman dengan Tuhan. Ritual, tirakat, dan puasa merupakan beberapa contoh usaha untuk mencapai keintiman tersebut.

Di dalam mistik, manusia berada pada posisi tidak berdaya. Ketidakberdayaan manusia ini seringkali disalahpahami sebagai fatalisme, yaitu pandangan filsafat yang meyakini bahwa seseorang sudah dikuasai oleh takdir sejak awal yang tidak dapat diubah.

Namun, menurut Fosse, ketidakberdayaan manusia perlu dipahami sebagai bentuk keterbukaan dan kerinduan terhadap uluran tangan di tengah usaha kerasnya. Justru karena uluran tangan Tuhanlah, manusia akhirnya dapat menemukan sandaran dalam menghadapi ujian kehidupan.

Paradigma ketidakberdayaan dan metafora cahaya dapat ditemukan juga dalam puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah:

Habis kikis

segala cintaku hilang terbang

Lalu setelah mengalami ketidakberdayaan, muncullah metafora cahaya

Kaulah kandil kemerlap

pelita jendela di malam gelap

melambai pulang perlahan

sabar, setia selalu.

Cahaya tidak hanya menunggu, tetapi mengajak dan terus mengundang. Kandil (tempat lilin) dan pelita terus melambai agar manusia mendekat. Yang ditonjolkan di dalam puisi tersebut bukan kekuatan super seorang manusia, tetapi kemurahan hati Sang Pemilik Cahaya.

Kepekaan mendengar

Bisa dibilang, sosok Fosse adalah anomali dari arus modernisasi teologi yang cenderung digerakkan oleh faham agama akal budi. Faham ini mereduksi agama sekedar sebagai orientasi moral dan cenderung meminggirkan aspek ritual dan mistik. Fosse menyesalkan kecenderungan semacam ini.

Sosok Fosse masih memegang teguh kesalehan ritual dan menggemari tema mistik. Mengunjungi perayaan Ekaristi (perjamuan kudus) adalah rutinitas Fosse di sela-sela kesibukannya menulis. Menurut pengakuannya, kesalehan ritual adalah hal yang tak terpisahkan di dalam membangun kedekatan dengan Tuhan. Selain itu, Fosse adalah penggemar Meister Eckhart, seorang pemikir mistik pada abad pertengahan.

Bagi Fosse, menulis pada dasarnya adalah mendengarkan. Mendengar di sini adalah metafor untuk menggambarkan kemampuan pasif akal budi dalam menerima fenomena sebagaimana adanya sesuai aliran fenomenologi.

Apa yang tertulis adalah ungkapan dari apa yang didengarkan. Pilihan kata atau diksi dalam sastra tidak berpretensi untuk mengungkapkan sesuatu yang pasti dan presisi. Diksi sastra membuka ruang untuk berimajinasi dan mencicipi.

Dengan ketajaman pendengarannya, sosok Fosse mampu menyuguhkan kembali keintiman sastra dan agama di tengah tekanan sekularisme dunia barat. Tak heran jika apresiasi terhadap karya Fosse adalah menyuarakan apa yang tak tersuarakan.


Read more: Jon Fosse memenangkan Nobel Sastra 2023 karena memberikan suara kepada hal-hal yang tidak dapat diungkapkan


Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now