Menu Close

Menurut penelitian, detoks media sosial belum tentu sebaik yang kita kira

A young woman lying in bed scrolling on her phone
Orang dewasa usia kerja menghabiskan waktu di media sosial lebih dari 2,5 jam per hari. DimaBerlin/Shutterstock

Tak jadi soal apakah kamu seorang influencer, pengunggah konten berkala, atau sekadar pengintai, kemungkinan besar kamu menghabiskan lebih banyak waktu daripada yang kamu inginkan di media sosial. Secara global, masyarakat usia kerja yang memiliki akses internet kini menghabiskan lebih dari 2,5 jam per hari di platform media sosial seperti Instagram, Facebook atau X (Twitter).

Penggunaan media sosial bisa menjadi berlebihan dan menimbulkan masalah jika mengganggu sekolah atau pekerjaan, menyebabkan konflik dalam hubungan, atau membahayakan kesehatan mental. Meskipun tidak secara resmi diakui sebagai gangguan kesehatan mental, beberapa ilmuwan bahkan berpendapat bahwa penggunaan media sosial yang bermasalah adalah sebuah “kecanduan”.

Saat kamu mendapati dirimu mengecek medsos secara berlebihan, kamu mungkin memutuskan sudah waktunya untuk melakukan “diet” atau “detoks” digital–mengurangi penggunaan secara drastis atau bahkan menghindari media sosial sepenuhnya selama beberapa hari. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian baru kami, pendekatan ini tak hanya dapat mengurangi dampak negatif tetapi juga dampak positif media sosial.

Faktanya, kami terkejut melihat betapa sedikitnya partisipan penelitian kami yang merindukan media sosial ketika kami meminta mereka untuk menguranginya.

Dalam studi terbaru, kami meminta peserta melakukan diet media sosial. Sebanyak 51 orang mencoba untuk tidak menggunakan media sosial selama satu minggu. Kami melacak perilaku dan pengalaman mereka melalui survei yang dikirimkan ke ponsel mereka sepanjang hari, dan tugas komputer dalam lingkungan yang terkendali.

Kami menemukan bahwa hanya sebagian kecil peserta yang abstain sepenuhnya. Namun, sebagian besar mampu mengurangi penggunaannya secara signifikan, dari rata-rata tiga hingga empat jam sehari sebelum penelitian, menjadi hanya setengah jam. Bahkan setelah periode pantang, penggunaan media sosial sehari-hari para partisipan masih jauh di bawah tingkat sebelum penelitian.

Dampak pembatasan penggunaan media sosial

Namun, berbeda dengan beberapa studi detoks digital sebelumnya, kami tidak melihat adanya kenaikan tingkat wellbeing atau kesejahteraan peserta kami. Sebaliknya, mereka melaporkan penurunan emosi positif selama periode pantang.

Media sosial memberikan imbalan sosial yang kuat dan terukur melalui tombol suka, berbagi, dan mendapatkan pengikut. Meskipun juga menawarkan hiburan dan kesenangan singkat, penelitian menunjukkan sering kali penghargaan sosial inilah yang mendorong pengecekan media sosial secara kompulsif.

Manusia adalah makhluk sosial–merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, diterima, dan menerima pujian adalah kebutuhan universal. Media sosial adalah alat yang mudah digunakan dan dapat diakses untuk memenuhi kebutuhan ini kapanpun dan di manapun kita mau, serta menyediakan koneksi yang mungkin tidak ada di dunia kerja jarak jauh.

Namun, imbalan sosial ini dapat dengan cepat berubah menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan. Menerima likes bisa berubah menjadi mengejar likes, dan ada perasaan kecewa jika performa postinganmu lebih buruk dari yang diharapkan. Melihat kehidupan orang lain dapat menimbulkan fomo (takut ketinggalan) atau rasa iri, dan dalam kasus terburuk, pengguna mungkin menjadi korban komentar yang tidak menyenangkan atau penuh kebencian.


Read more: Cara menghilangkan 'fomo' dan mendapatkan 'joy of missing out'


Karena itu, kami juga mengamati adanya penurunan emosi negatif ketika partisipan mengurangi penggunaan media sosial. Perasaan sengsara, sedih dan marah mereka berkurang selama penelitian.

Secara keseluruhan, tidak menggunakan media sosial tampaknya menghilangkan emosi positif dan negatif–bagi sebagian orang, dampak keseluruhannya terhadap wellbeing mungkin nol.

Bisakah kita kecanduan media sosial?

Temuan yang mungkin paling mencerahkan adalah betapa sedikitnya peserta kami yang merindukan media sosial. Mereka tidak melaporkan adanya peningkatan keinginan, desakan, atau hasrat untuk mengecek akun mereka selama masa penelitian, meskipun waktu penggunaan perangkat mereka berkurang secara drastis.

Tampaknya pembatasan penggunaan media sosial tidak menimbulkan gejala “putus asa” seperti yang sering terlihat ketika menghentikan penggunaan narkoba. Oleh karena itu, kami mengimbau untuk berhati-hati dalam menggunakan istilah seperti “kecanduan” ketika membicarakan penggunaan media sosial.

Pembingkaian penggunaan media sosial dalam istilah kecanduan berisiko menjelek-jelekkan teknologi dan membuat perilaku normal menjadi patologis. Pelabelan pengguna sebagai “pecandu” dapat menimbulkan stigma dan mengabaikan masalah psikologis lain yang mungkin mendasari perilaku penggunaan berlebihan. Dalam pandangan kami, istilah kecanduan seharusnya digunakan untuk menggambarkan suatu penyakit, yang melibatkan perubahan jangka panjang dalam sistem penghargaan otak.

A smartphone sitting in a small basket on top of a table, in the background a woman is sitting on a chair reading
Pertimbangkan untuk lebih berhati-hati dalam menggunakan media sosial daripada bersikap acuh tak acuh. Syda Productions/Shutterstock

Pada akhirnya, media sosial memiliki aspek positif dan negatif, dan mungkin saja bagian negatifnya membuat orang merasa perlu melakukan detoksifikasi.

Mungkin cara berpikir yang lebih baik untuk meningkatkan hubunganmu dengan media sosial serupa dengan caramu berpikir untuk memperbaiki pola makan. Baik makanan maupun media sosial memuaskan hasrat alami–energi dan kontak sosial bagi manusia.

Dalam kedua kasus tersebut, kamu perlu mengetahui batasanmu dan memprioritaskan imbalan sosial yang sehat. Ini mungkin berarti mengubah pandanganmu tentang seberapa terhubung atau disukainya eksistensimu di media sosial, dan berhenti mengikuti akun atau menghapus aplikasi yang membuatmu merasa buruk.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,700 academics and researchers from 4,947 institutions.

Register now