Menu Close

Menutup ribuan akun penyebar hoaks memang tanggung jawab Facebook, tapi mana transparansinya?

Facebook, meski terlambat, mulai menindak tegas akun-akun penyebar hoaks di platform-nya. The Conversation Indonesia/Reza Pahlevi

Menutup ribuan akun penyebar hoaks memang sudah seharusnya menjadi tanggung jawab penyedia platform. Namun, bukan berarti para penyedia platform tersebut bisa melakukan itu tanpa penjelasan yang lengkap.

Facebook, walau terlambat, akhirnya bergerak untuk menangkal penyebaran misinformasi melalui platformnya. Sejak akhir tahun lalu, Facebook aktif menutup akun-akun yang dicurigai turut menyebarkan hoaks di beberapa negara, terutama yang sedang dan akan menghadapi pemilihan umum.

Di Indonesia, misalnya, Facebook menghapus ribuan akun yang terindikasi tergabung dalam jaringan akun-akun yang membentuk jaringan penyebaran informasi yang sifatnya menyesatkan, baik tentang sebuah isu ataupun ujaran kebencian.

Namun, sayangnya kebijakan Facebook dalam penutupan akun-akun ini masih belum transparan. Pertanyaan besar muncul ketika Facebook menutup akun milik Permadi Arya, pegiat media sosial yang juga pendukung kandidat petahana Joko “Jokowi” Widodo. Tak lama, Facebook kemudian membuka kembali akun Permadi setelah gugatan Permadi sebesar Rp 1 triliun.

Dalam penjelasannya, Facebook masih menunjukkan kurang jelasnya kebijakan mereka dalam menutup ataupun membuka kembali sebuah akun. Transparansi dari Facebook dibutuhkan salah satunya untuk memberdayakan masyarakat agar bisa turun serta dalam pertempuran melawan hoaks dan misinformasi.

Tanggung jawab yang akhirnya dipenuhi

Perusahaan media sosial seharusnya turun tangan menghentikan jaringan propaganda dan misinformasi yang berujung pada perpecahan politik seperti yang terjadi di Amerika Serikat, Brazil, Moldova, dan Indonesia. Ketidakpedulian para pengelola media sosial pada isu ini mengakibatkan penyebaran ujaran kebencian yang diikuti genosida (di Myanmar), pembunuhan (di India), dan krisis kesehatan di Liberia dan Nigeria.

Selama ini, perusahaan media sosial selalu berargumen bahwa mereka hanyalah sekadar penyedia platform, bukan pengelola informasi yang harus memiliki kebijakan tentang informasi yang beredar melalui platform mereka. Bos Twitter, Jack Dorsey, tahun lalu mengatakan dalam satu wawancara bersama CNN bahwa Twitter tidak bisa menjadi “penentu kebenaran” dalam platform mereka.

Setidaknya ada empat alasan penting mengapa platform tidak boleh lepas tangan dari upaya pencegahan ini.

Pertama, penyebaran misinformasi melibatkan jaringan pengguna yang sangat besar, luas, dan bekerja dengan cepat. Kemampuan literasi individu saja tidak akan cukup untuk membentengi seseorang dari terpaan misinformasi yang disebarkan jaringan yang besar ini. Penelitian saya bersama kolega saya, M. Laeeq Khan, menunjukkan seorang individu bisa turut menyebarkan misinformasi meski mereka mengetahui informasi tersebut tidak benar. Artinya, literasi individu harus didukung oleh kebijakan platform.

Kedua, sistem rekomendasi informasi yang ada di linimasa media sosial menggunakan algoritma dan kecerdasan buatan yang dibangun dan dikembangkan oleh pengelola. Sehingga, merekalah yang paling mengerti bagaimana sistem rekomendasi tersebut bekerja yang kemudian dapat menjebak pengguna pada gelembung informasi yang menyesatkan.

Ketiga, hanya perusahaan media sosial yang memiliki akses terhadap keseluruhan data di media sosial. Data tersebut termasuk pola interaksi dan konten yang beredar. Dengan demikian, merekalah yang seharusnya pertama kali dapat mengenali jika ada manipulasi jaringan informasi dan mengambil keputusan cepat untuk menutup akun-akun tersebut.

Terakhir, sebagai bagian dari masyarakat, perusahaan media sosial memiliki tanggung jawab etik untuk menjaga proses penyebaran dan kualitas informasi yang ada di sana.

Dampak penutupan akun pada demokrasi?

Lalu, bagaimanakah pengaruh aksi penutupan akun-akun ini terhadap kebebasan berpendapat, kualitas diskusi publik, dan demokrasi?

Dalam buku Stephen Ward berjudul Ethics and The Media: An Introduction, Internet dipercaya sebagai pasar bebas ide-ide yang menjadi pondasi demokrasi. Akan tetapi, percakapan dan diskusi di media sosial biasanya hanya di permukaan. Kebanyakan diskusi tersebut hanya fokus pada isu ringan dan popular sehingga tidak berkontribusi pada isu yang menyangkut hajat hidup orang banyak.

Di Indonesia, misalnya, setelah debat calon presiden putaran kedua percakapan di linimasa media sosial riuh tentang ketidaktahuan calon presiden Prabowo mengenai istilah “Unicorn”. Sementara, diskusi tentang isu yang lebih penting seperti kualitas kedua calon pasca debat tidak mendapat perhatian.

Ward juga mengatakan tujuan utama demokrasi adalah menciptakan masyarakat harmonis yang mendukung kebebasan, kesetaraan, dan saling menghargai dalam kehidupan sosial. Untuk mencapainya, demokrasi membutuhkan adanya partisipasi dan kebebasan publik yang berlandaskan pada fakta dan rasa saling menghargai.

Rusaknya tatanan publik akibat ujaran kebencian di media sosial sudah terjadi sejak pemilihan umum (pemilu) 2014 lalu, Pemilihan Gubernur DKI Jakarta tahun 2017, hingga masa kampanye pemilihan presiden hari ini. Pada pemilu tahun ini, polarisasi di masyarakat semakin tajam, terlebih dengan semakin banyaknya jaringan akun-akun yang turut serta membentuk opini publik dan membakar kebencian.

Dengan menutup akun-akun yang berkontribusi dalam penyebaran ujaran kebencian dan misinformasi, berarti pengelola platform turut serta dalam menjaga kualitas demokrasi dan tatanan publik.

Masih diperlukan transparansi dalam penutupan akun

Perusahaan media sosial lain perlu mengikuti langkah Facebook dalam menutup akun yang dicurigai bagian dari penyebaran misinformasi. Namun, yang masih perlu dilakukan oleh Facebook adalah membuka metode yang digunakan dalam menutup akun-akun tersebut. Hal ini semata untuk memastikan bahwa akun yang ditutup memang akun yang bermasalah, bukan akun yang hanya kritis terhadap pemerintah.

Di Indonesia, misalnya, jaringan yang dihapus adalah jaringan yang terindikasi merupakan bagian dari kelompok Saracen. Kelompok Saracen sendiri adalah jaringan penyebar ujaran kebencian dan SARA yang dapat menyerang siapapun sesuai pesanan. Akhir 2017 lalu, kelompok ini ditangkap oleh Kepolisian Republik Indonesia (Polri) karena menyebarkan konten kebencian.

Dalam keterangannya, Facebook mengatakan mereka bekerja sama dengan pemerintah, pakar dari luar, perusahaan swasta, dan masyarakat sipil dalam menjaga kualitas pemilu dan menghentikan penyebaran misinformasi. Pertanyaannya: rekomendasi dari pihak manakah yang paling didengar Facebook dalam memberantas jaringan penyebar misinformasi?

Sejauh ini, penjelasan Facebook masih di permukaan. Mereka mengatakan bahwa ada indikasi adanya pihak yang mengkoordinasi jaringan akun-akun menyesatkan tersebut. Hanya saja, di Indonesia terdapat 130 juta pengguna aktif media sosial dan jaringan akun-akun menyesatkan tentu masih banyak, bukan hanya jaringan yang berafiliasi dengan Saracen. Perlu ada penjelasan mengapa jaringan yang satu dihapus, tapi jaringan yang lain tidak/belum dihapus.

Transparansi ini tidak saja penting untuk memastikan kasus di Kamboja, di mana Facebook mendukung kepentingan rezim tertentu, tidak terjadi di Indonesia.

Penjelasan mengenai cara kerja algoritma dan sistem pendeteksi jaringan misinformasi penting diungkap agar para pengguna Facebook sendiri tahu bagaimana dampak keduanya terhadap informasi yang beredar di lini masa.

Banyaknya informasi yang tersebar melalui Facebook setiap hari, membuat siapapun bisa terterpa misinformasi dari berbagai jaringan pertemanan yang terhubung di Facebook. Transparansi penting agar masyarakat paham akan apa yang sedang terjadi sehingga dapat memberdayakan diri mereka, paling tidak dalam menghindari misinformasi.

Apalagi, sebagai pengelola Whatsapp and Instagram–dua media sosial paling popular di Indonesia—, Facebook harus bekerja lebih cepat menangkal penyebarluasan misinformasi, mengingat pemilihan umum sudah di depan mata dan penyebaran misinformasi dapat terjadi setiap saat.

Reza Pahlevi ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now