Menu Close
Tingginya angka kasus cyberbullying pada anak-anak dipicu oleh tingginya konsumsi internet pada anak-anak. www.shutterstock.com

Merunut lemahnya hukum cyberbullying di Indonesia

Akhir 2018, aktris Ussy Sulistiawati melaporkan beberapa pengguna media sosial Instagram atas tindakan mereka yang menghina fisik anak-anaknya.

Yang menarik dari kasus tersebut adalah Ussy melaporkan para pelaku dengan delik pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 Ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Elektronik (ITE) bukan dengan delik cyberbullying yang terdapat dalam UU Nomor 19 Tahun 2016 yang mengganti sebagian substansi UU ITE yang lama.

Minimnya penggunaan delik cyberbullying nampaknya bermula dari definisi yang salah kaprah dalam penyusunan Undang-Undangnya. Istilah yang digunakan terkesan membingungkan.

Hal ini membuat para penegak hukum cenderung menganggap pencemaran nama baik dan cyberbullying adalah delik yang sama padahal sifat kedua tindak kejahatan tersebut berbeda. Jika pencemaran nama baik menyerang kehormatan atau reputasi, maka cyberbullying tak selalu berupa hinaan, namun bisa juga berbentuk ancaman atau intimidasi.

Akibatnya adalah pada produk hukum yang tidak efektif dalam penindakan kasus-kasus cyberbullying di Indonesia.

Banyak kasus, hukum melempem

Peristiwa cyberbullying kini semakin sering terjadi seiring dengan derasnya arus informasi melalui media sosial.

Data kasus cyberbullying di Indonesia secara menyeluruh sulit ditemukan. Namun, data dari Polda Metro Jaya menyebutkan bahwa setidaknya ada 25 kasus cyberbullying dilaporkan setiap harinya . Selain itu data tahun 2018 dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan jumlah angka anak korban bullying mencapai 22,4%. Tingginya angka tersebut dipicu oleh tingginya konsumsi internet pada anak-anak.

Sayangnya, dari ranah hukum, aturan hukum tentang cyberbullying masih lemah sehingga tidak bisa digunakan secara efektif di persidangan.

Padahal perilaku cyberbullying bisa berdampak fatal. Bahkan ada potensi upaya bunuh diri oleh si korban, bila tidak bisa mengatasi trauma atas cyberbullying.

Pemerintah berusaha mengisi kekosongan hukum terkait cyberbullying dengan memasukkan delik cyberbullying dalam Perubahan UU ITE. Namun pasal tersebut memiliki definisi yang terbatas karena hanya memaknai cyberbullying sebagai bentuk “ancaman kekerasan” atau “menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”. Padahal ada banyak bentuk-bentuk cyberbullying, antara lain pelecehan dan intimidasi.

Jadi menurut pengamatan saya, ketidakefektifan pasal cyberbullying yang ada dikarenakan definisi cyberbullying sendiri yang bermasalah.

Definisi yang kacau

Bullying dan cyberbullying jelas merupakan istilah asing. Sampai saat ini belum ada konsistensi padanan katanya dalam bahasa Indonesia. Setidaknya ada dua kata dalam bahasa Indonesia yang lekat dengan bullying, yaitu perundungan dan perisakan. Tetapi, pencarian melalui Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring (KBBI) pun tidak memberi banyak kejelasan arti. Perundungan dimaknai sebagai perbuatan merundung (yang juga tidak dapat ditemukan artinya). Sementara perisakan dimaknai sebagai proses, cara, perbuatan merisak yang lagi-lagi sebuah kata yang maknanya masih rancu karena tidak umum digunakan dalam Bahasa Indonesia.

Sebetulnya ada alternatif kata lain yang mungkin lebih tepat digunakan untuk menerjemahkan bullying, yaitu penindasan. Menurut saya, kata penindasan ini selaras dengan definisi bullying yang digunakan oleh seorang pakar dan konsultan pola asuh anak Barbara Coloroso.

Coloroso membagi tiga bentuk dasar penindasan tersebut : fisik, verbal dan relasional. Namun perlu diingat bahwa dalam ranah hukum, berbeda dengan fisik dan verbal, penindasan relasional sukar untuk dibuktikan di pengadilan karena sifatnya berupa pengucilan dari pergaulan.

Oleh karena itu dalam konteks kasus bullying dan cyberbullying, dua bentuk penindasan fisik dan verbal lebih tepat dipakai dibanding yang relasional. Hal ini dikarenakan pembuktian penindasan fisik bisa dilihat dari luka fisik, sementara kekerasan verbal bisa terlihat dari trauma dan rasa takut. Sedangkan untuk yang bersifat relasional susah untuk dibuktikan.

Sayangnya, saat ini pasal bullying dan cyberbullying yang ada di Indonesia tidak memasukkan penindasan fisik dan verbal. Definisi yang dibuat tampak tergesa-gesa sehingga terkesan tidak tegas. Akibat definisi yang terlalu sempit inilah maka banyak kasus cyberbullying yang salah kaprah menggunakan delik pencemaran nama baik.

Menggagas ulang hukum cyberbullying

Setidaknya ada beberapa hal yang bisa dirumuskan untuk mengisi pengaturan cyberbullying yang salah kaprah di Indonesia.

Pertama, definisikan terlebih dahulu apa itu bullying, lewat kata perisakan atau perundungan. Saya sendiri lebih condong kepada kata penindasan; meskipun bentuk-bentuk penindasan yang dilakukan harus dibatasi hanya fisik dan verbal saja atas dasar lebih mudah untuk dibuktikan.

Walau ada batasan definisi, setidaknya kategorisasi penindasan ini dapat dikaji kembali oleh para pembuat Undang-Undang, agar mampu mengakomodir cyberbullying yang sifatnya ancaman fisik dan psikis.

Langkah selanjutnya adalah merumuskan pasal baru di dalam UU ITE sebagai aturan hukum khusus terkait bullying di internet. UU ITE telah lama mendapat kritik karena beberapa masalah, termasuk terkait praktik cyberbullying. Hal ini membuat revisi terhadap delik cyberbullying menjadi penting. Perumusan pasal baru ini tentu akan jauh lebih efektif ketimbang sekadar melekatkan definisi cyberbullying pada pasal yang ada sekarang.

Setelah menegaskan definisi cyberbullying dalam UU ITE, maka langkah selanjutnya untuk menguatkan perlindungan terhadap korban anak-anak adalah perumusan pasal baru dalam Undang-Undang Perlindungan Anak.

Hal ini mengingat praktik bullying dan cyberbullying banyak menimpa anak-anak.

Menyusun ulang definisi cyberbullying dalam hukum Indonesia merupakan langkah yang tepat. Dengan definisi yang lebih tepat diharapkan aturan hukum akan lebih bisa melindungi mereka yang lemah dan mengalami penindasan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now