Menu Close
Taksi berwarna kuning tenggelam oleh banjir dengan gedung sebagai latar belakang.
Muka tanah Jakarta menurun, sementara air laut naik. dani daniar / shutterstock

Muka laut meningkat cepat di kota-kota besar. Ini alasannya

Kita sudah mengetahui bahwa kenaikan muka laut akibat perubahan iklim adalah ancaman besar. Tetapi, tidak banyak orang yang mengetahui ancaman penurunan muka tanah.

Di daerah pesisir yang padat penduduk, permukaan tanah turun lebih cepat ketimbang kenaikan muka laut.

Sebagai contoh, beberapa bagian kota Tokyo turun hingga 4 meter sepanjang Abad ke-20, sementara kota-kota lain, seperti Shanghai, Bangkok, and New Orleans turun 2 meter atau lebih.

Kita mengenal proses ini sebagai subsiden.

Penurunan muka tanah secara perlahan terjadi alami di delta sungai dan bisa dipercepat dengan ekstraksi air tanah, minyak dan gas, yang menyebabkan tanah berkonsolidasi dan permukaan kehilangan ketinggian.

Subsiden akan berujung kepada kenaikan muka laut relatif (kenaikan muka laut ditambah penurunan tanah).

Hasilnya, lahan perkebunan menjadi asam, merusak bangunan, menimbulkan banjir dan bisa berakibat hilangnya kawasan pesisir.

Dibanding kenaikan muka laut, subsiden lebih berisiko menimbulkan banjir di kawasan pesisir di dataran rendah.

Namun, para peneliti baru memahami implikasi global dari ancaman ini sebatas pada kota-kota di pesisir.

Kawasan pesisir rata-rata mengalami kenaikan muka laut relatif kurang dari 3 milimeter (mm) per tahun, namun perumahan di kawasan pesisir rata-rata akan mengalami kenaikan sekitar 8mm hingga 10mm per tahun.

Hal ini terjadi karena banyak penduduk tinggal di delta sungai dan terutama perkotaan yang terletak di delta mengalami penurunan muka tanah.

Ini menjadi kunci penemuan dari riset terbaru kami, di mana kami menganalisis seberapa cepat perkotaan yang tenggelam di penjuru dunia dan membandingkan mereka dengan data subsiden global, termasuk kawasan pesisir dengan populasi sedikit.

Peta kenaikan muka laut relatif di 23 kawasan pesisir di dunia.
Ketika dibebani dengan populasi penduduk, kenaikan muka laut relatif terburuk di Asia Tenggara, diikuti oleh Asia bagian selatan dan timur, serta Mediterania bagian selatan. Nicholls et al, CC BY-SA

Temuan kami merefleksikan bahwa manusia lebih memilih tinggal di delta sungai, dataran banjir, dan daerah rawan tenggelam lainnya. Ini akhirnya mempercepat subsiden.

Kota-kota yang tenggelam memiliki penduduk lebih dari 150 juta jiwa di kawasan pesisir, atau sekitar 20% dari total penduduk tinggal di pesisir.

Artinya, kenaikan muka laut relatif akan lebih mendadak dan memiliki dampak parah daripada yang diprediksikan oleh peneliti.

Berikut beberapa kota-kota yang paling terdampak :

Jakarta

Jakarta memiliki penduduk 10 juta jiwa dan dibangun di dataran rendah dekat dengan laut.

Penyedotan air tanah menjadi penyebab kota ini turun lebih dari tiga meter dari tahun 1947 hingga 2010 dan banyak bagian dari kota tersebut menurun hingga 10 sentimeter (cm) atau lebih setiap tahun.

Subsiden ini tidak terjadi merata, sehingga menimbulkan risiko yang tidak sama; akibatnya, perencanaan perkotaan menjadi sulit.

Bangunan-bangunan terhantam banjir, banyak kerusakan infrastruktur terlihat di bangunan yang diabaikan.

Jakarta telah membangun dinding laut untuk mengatasi subsiden.

Namun, karena air tanah terus menerus disedot, kebijakan ini hanya akan bertahan sementara sebelum masalah yang sama berulang kembali.

Dan, kota ini perlu memompa karena air tanah masih digunakan sebagai air minum.

Menyedot air tanah, yang diperlukan agar manusia bisa bertahan hidup, pada akhirnya membuat kita menghadapi risiko banjir.

Perjuangan mengatasi subsiden semakin lemah, dengan pemerintah di tahun 2019 mengusulkan untuk memindahkan ibu kota negara ke Kalimantan.

Subsiden menjadi salah satu alasan perpindahan ini.

Shanghai

Berkembang pesat selama beberapa dekade belakangan dan kini memiliki 26 juta penduduk, Shanghai menjadi salah satu terancam tenggelam.

Laju maksimal subsiden kota ini mencapai sekitar 2,5cm per tahun.

Ini terjadi akibat rendahnya muka air tanah, yang dipengaruhi oleh saluran drainase untuk membangun pencakar langit, jalur kereta dan jalan (contohnya, Metro Line 1, dibangun tahun 1990-an, menyebabkan penurunan muka tanah).

Badan air di depan gedung pencakar langit
Shanghai berada di pertemuan antara sungai Yangtze dengan laut. John_T / shutterstock

Apabila tidak ada perlindungan, maka pada tahun 2100, laju subsiden dan kenaikan muka laut akan membuat sebuah badai dapat berisiko membanjiri sekitar 15% dari kota ini.

New Orleans

Di New Orleans, tanggul dan saluran air yang berusia ratusan tahun telah efektif membanjiri dan menenggelamkan kota. Setengah area kota ini berada di bawah muka laut.

Peta New Orleans dengan kawasan berwarna berada di bawah muka laut
Banyak kawasan New Orleans berada di bawah muka laut (merah) dan bergantung pada dinding laut untuk tetap kering. The Data Center, New Orleans, CC BY-SA

Ketika Badai Katrina menghantam di tahun 2005, kota ini luluh lantak.

Kerugian yang diakibatkan oleh badai ini mencapai sedikitnya 40 miliar dolar AS (Rp577 triliun) dan terutama dialami oleh komunitas Afrika-Amerika di kota tersebut.

Lebih dari 1.570 jiwa meninggal di negara bagian Louisiana.

Jika kota ini tidak mengalami subsiden, kerusakan sangat mungkin bisa dikurangi dan banyak jiwa bisa diselamatkan.

Keputusan yang dibuat puluhan tahun lalu telah membuka jalan untuk bencana yang kita lihat saat ini, dan akan mungkin terjadi di masa depan.

Tidak ada solusi mudah

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Membangun dinding laut atau tanggul merupakan salah satu solusi yang cepat-cepat.

Ini tentu saja bisa mencegah air masuk ke kota. Tetapi, harus diingat bahwa dinding laut juga terus turun, sehingga harus dibuat sangat besar untuk bisa efektif dalam jangka panjang.

Di kawasan urban, para teknisi tidak bisa menaikkan tanah begitu saja, ini bisa butuh puluhan tahun sementara bangunan dan infrastruktur tetap berkembang.

Tidak ada solusi yang mudah dan subsiden urban skala besar tidak bisa dicegah.

Beberapa kota telah menemukan “solusi”.

Misalnya, Tokyo yang berhasil menghentikan subsiden dari tahun 1960 hingga kini melalui aturan ketat terkait memompa air.

Namun, ini tidak bisa menghilangkan semua risiko karena banyak bagian dari kota ini sudah berada di bawah muka laut, dan bergantung kepada tanggul dan pompa untuk tetap bisa ditinggali.

Keinginan Indonesia untuk memindahkan ibu kota negara mungkin menjadi solusi akhir.

Meningkatnya urbanisasi terutama di area delta dan permintaan air bersih berarti penurunan muka tanah menjadi isu penting di beberapa dekade ke depan.

Mengatasi subsiden merupakan bagian dari mengatasi kenaikan muka laut akibat perubahan iklim. Kedua masalah ini masih perlu diatasi.

Kombinasi kenaikan muka laut dan tenggelamnya lahan akan terus meningkat dan mengancam keberadaan kota-kota pesisir.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now