Menu Close
kapal nelayan yang berjejer
Dashu/Freepik

Nasib perikanan tangkap: industri paling berbahaya, tapi tak ada standar keselamatannya

Perikanan tangkap merupakan salah satu industri yang paling berbahaya di dunia.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menaksir, kasus kecelakaan dari kapal perikanan menelan 24 ribu nyawa pekerja setiap tahun. Angka ini sepuluh kali lipat lebih besar dibandingkan kasus kematian pekerja di kapal komersial yang mengangkut barang ataupun penumpang.

Sayangnya, tak seperti kapal komersial yang dipayungi Konvensi Internasional tentang Keselamatan Penumpang di Laut (SOLAS), saat ini belum ada aturan global yang berlaku untuk mengatur aspek keselamatan kapal perikanan.

Situasi ini amat disayangkan. Pasalnya, kapal perikanan yang tidak aman juga kerap digunakan dalam aktivitas perikanan ilegal, tak dilaporkan, dan tak diatur (IUU fishing) dan dapat berkontribusi pada persoalan lainnya seperti alat tangkap ikan yang ditinggalkan, hilang maupun dibuang (ALDFG) yang semakin menjadi perhatian internasional karena dapat mengganggu lalu lintas pelayaran, sekaligus salah satu sumber utama pencemaran plastik di laut.

Karena itulah, seluruh negara semestinya menyepakati sekaligus meratifikasi perjanjian internasional yang mengatur seluruh aspek keselamatan kapal perikanan.

Keselamatan kapal perikanan dalam hukum internasional

Kapal perikanan di pelabuhan Mui Ne, Vietnam. Maxpixel

Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tentang Hukum Laut (UNCLOS) mewajibkan seluruh negara untuk memastikan keselamatan seluruh kapal yang terdaftar di negaranya.

Organisasi Maritim Internasional (IMO) – badan khusus PBB yang mengatur pelayaran internasional – sebenarnya telah beberapa kali mengadopsi aturan keselamatan kapal perikanan. Namun, belum ada satu pun di antaranya yang berlaku.

Perjanjian terbaru yang diadopsi IMO terkait keselamatan kapal perikanan adalah Perjanjian Cape Town. Perjanjian ini diadopsi pada tahun 2012 untuk memperbarui, mengubah, sekaligus menggantikan perjanjian sebelumnya: Protokol Torremolinos 1993.

Adapun Perjanjian Cape Town memuat sejumlah standar keselamatan untuk memastikan kelayakan operasional kapal perikanan dengan panjang 24 meter atau lebih. Beberapa di antaranya adalah keberadaan peralatan keselamatan, peralatan komunikasi, dan peralatan pencegahan dan penanggulangan kebakaran di atas kapal.

Namun, Perjanjian Cape Town baru diratifikasi oleh 17 negara dengan jumlah kapal perikanan yang memenuhi syarat hanya mencapai lebih dari seribu kapal. Angka tersebut masih jauh di bawah batas minimum agar perjanjian tersebut dapat mulai berlaku.

Pada Oktober 2019, IMO menginisiasi konferensi tentang keselamatan kapal perikanan dan perikanan ilegal, tak dilaporkan dan tak diatur. Konferensi ini menjadi momentum menggalang dukungan yang lebih luas untuk Perjanjian Cape Town.

Selama konferensi berlangsung dan setelahnya, ada 51 negara menyatakan komitmen mereka untuk meratifikasi Perjanjian Cape Town paling lambat pada 11 Oktober 2022, atau bertepatan dengan satu dekade diadopsinya perjanjian tersebut.

Namun komitmen tersebut cuma pepesan kosong. Sejak konferensi 2019 tersebut, hanya ada tambahan empat negara yang ikut meratifikasi Perjanjian Cape Town sehingga instrumen ini urung berlaku.

Bagaimana dengan Indonesia?

Nelayan migran dikategorikan sebagai pekerja yang rentan terutama dalam kondisi penangkapan ikan yang tidak aman.
Serikat Buruh Migran Indonesia dan Greenpeace Indonesia menggelar aksi damai di luar Istana Kepresidenan di Jakarta, meminta presiden untuk meratifikasi peraturan untuk melindungi nelayan migran Indonesia. Adhi Wicaksono/Greenpeace

Asia merupakan penghasil komoditas perikanan tangkap kelas kakap. Ada setidaknya 4,1 juta kapal perikanan berbendera negara-negara Asia.

Ironisnya, tak ada satupun negara-negara Asia yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town.

Sementara itu, Indonesia sebagai produsen komoditas perikanan terbesar kedua di dunia, mengklaim memiliki lebih dari 600 ribu kapal perikanan pada 2014. Namun, jumlah pastinya belum diketahui. Mayoritas kapal perikanan Indonesia pun berukuran kecil, sehingga sebagian besar tidak memenuhi syarat untuk terikat dalam Perjanjian Cape Town.

Pun demikian, banyak warga Indonesia yang bekerja di kapal perikanan asing. Misalnya, sekitar 186.430 warga Indonesia bekerja di kapal perikanan berbendera Malaysia; sebanyak 12,278 warga di kapal Taiwan; dan 4,885 warga di kapal Korea Selatan pada 2018.

Sayangnya tidak ada satu pun dari negara di atas yang menjadi peserta Perjanjian Cape Town. Artinya, besar kemungkinan aturan keselamatan kapal perikanan di negara-negara tersebut beragam. Menyerahkan pengaturan standar keselamatan kapal perikanan sepenuhnya ke masing-masing negara menjadi problematik karena negara bisa saja menerapkan aturan yang lebih ringan dari standar yang seharusnya.

Persoalan ini sebenarnya dapat diatasi dengan standar minimum internasional yang dapat diterapkan di seluruh negara, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Cape Town.

Pentingnya melindungi nyawa pekerja di lautan

Pekerja kapal penangkap ikan maupun kapal niaga memiliki hak yang sama untuk di lingkungan kerja yang aman di atas laut.
Perahu nelayan di laut. FAO

Pengaturan keselamatan kapal perikanan masih jauh tertinggal dari kapal komersial. Padahal, nyawa pekerja kapal perikanan maupun kapal komersial sama-sama berharga.

Karena seluruh pekerja berhak atas lingkungan kerja yang aman, kapal perikanan mestinya mendapatkan perhatian yang sama dengan kapal komersial.

Negara-negara yang memiliki banyak pekerja migran yang bekerja di kapal perikanan asing seperti Indonesia seharusnya memiliki kepentingan yang tinggi untuk memastikan Perjanjian Cape Town segera berlaku secara internasional. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pekerja migran tersebut tidak bertaruh nyawa dengan bekerja di atas kapal perikanan yang tak layak.

Negara-negara harus segera mengambil langkah tegas dengan meratifikasi Perjanjian Cape Town, supaya sektor perikanan tangkap tak lagi menelan korban puluhan ribu pekerja di laut setiap tahunnya.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,100 academics and researchers from 4,941 institutions.

Register now