Menu Close

Pada masa depan, ponsel Anda dapat menguji coronavirus – begini caranya

Moha El-Jaw/Shutterstock

Mungkin kelihatannya tidak masuk akal, tapi penggunaan ponsel pintar Anda untuk mendeteksi penyakit sangat memungkinkan. Perangkat seluler dapat dikembangkan menjadi alat untuk mengidentifikasi berbagai agen penyebab penyakit secara cepat, termasuk bakteri, racun, dan virus.

Tes berbasis smartphone telah dikembangkan untuk mendeteksi HIV, malaria, tuberkulosis, dan berbagai kontaminan makanan.

Penggunaan smartphone untuk mendeteksi COVID-19 kini mulai diterapkan – meski muncul berbagai pertanyaan tentang kepraktisan dan kegunaan menggunakan teknologi dengan cara ini.

Kami telah terlibat dalam mengembangkan beragam cara dalam menggunakan ponsel pintar untuk memantau kontaminasi makanan sebagai bagian dari proyek FoodSmartphone oleh Uni Eropa. Di sini, kami mempertimbangkan potensi penggunaan teknologi yang menarik ini untuk melawan virus.

Bagaimana cara kerjanya?

Cara umum pengujian dengan ponsel pintar adalah menggunakannya bersama label yang dibuat khusus, yang dirancang untuk bereaksi terhadap keberadaan zat tertentu, seperti virus atau bakteri tertentu.

Untuk menguji sesuatu seperti cairan dari usap tenggorokan atau sampel darah, Anda menambahkannya ke label yang sensitif terhadap apa yang Anda cari. Jika zat yang dicari ada di sana, maka timbul reaksi. Reaksi ini menghasilkan sinyal cahaya, warna atau listrik, yang kemudian dideteksi dan ditafsirkan melalui kamera atau sensor cahaya dari ponsel atau melalui elektrokimia perangkat tambahan.

Hasilnya dapat ditampilkan pada aplikasi di telepon dan segera dikomunikasikan kepada otoritas terkait.

Untuk COVID-19, label yang ada dapat diadaptasi sehingga mereka dapat bereaksi terhadap bahan baru, seperti bahan genetik SARS-CoV-2 atau antibodi manusia terhadap virus. Penerapan pada teknologi seperti ini sudah disarankan.

Akan tetapi, tersedianya tes dengan smartphone untuk menguji coronavirus untuk umum masih harus menunggu waktu. Sebagian besar tes berbasis smartphone saat ini masih dalam tahap pembuktian konsep. Masih dibutuhkan beberapa putaran pengujian dengan pasien untuk membuktikan bahwa tes tersebut berhasil. Namun, ini bisa memakan waktu bertahun-tahun.

Sebagai contoh, mChip dongle yang merupakan tes berbasis smartphone untuk mendeteksi HIV dan sifilis, telah ada sejak 2015. Namun, uji coba fase kedua yang menguji penggunaan perangkat ini di rumah baru selesai pada April 2020. Hasil dari uji coba tersebut masih menunggu dan sekalipun jika hasilnya bagus, masih ada beberapa fase uji coba yang harus dilalui.

Di sisi lain, tekanan besar untuk mengendalikan pandemi dapat mempercepat pengembangan tes COVID-19. Pengembangan vaksin untuk penyakit menular umumnya membutuhkan waktu lebih dari satu dekade, tapi beredar kabar bahwa pemberian vaksin COVID-19 dimungkinkan dalam 12 hingga 18 bulan yang akan datang. Oleh karena itu, mungkin pengembangan tes berbasis smartphone juga dapat dipercepat.

Untuk apa kita menggunakan tes ini?

Untuk COVID-19, perangkat berbasis smartphone dapat digunakan dalam beberapa cara.

Pertama, perangkat dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus dari saluran pernapasan – dalam kurun waktu 2-3 minggu pertama infeksi - untuk menguji apakah seseorang sedang memiliki virus.

Kedua, perangkat dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi yang berkembang guna menghadapi virus dalam darah, yang menunjukkan apakah seseorang pernah memiliki virus pada masa lalu. Informasi dari tes ini dapat memberi kita wawasan yang lebih baik tentang kasus tanpa gejala beserta imunitas.

Di rumah menguji coba apakah ponsel pintar bisa menolong mengidentifikasi belanjaan yang terkontaminasi - tapi apakah ini diperlukan? EPA-EFE

Terakhir, perangkat dapat digunakan untuk menguji apa yang ada di permukaan, seperti kemasan makanan.

Hal ini mungkin bekerja paling baik jika menggunakan tes lain yang sedikit berbeda, seperti tes amplifikasi genetik yang memiliki sinyal yang lebih kuat terhadap reaksi dan lebih sensitif. Hal ini karena ada konsentrasi virus yang lebih rendah dan banyak zat lain pada permukaan.

Akankah manfaat yang dihasilkan lebih besar daripada potensi bahaya?

Diagnosis COVID-19 berbasis smartphone dapat meningkatkan pengukuran isolasi diri, pengumpulan data, dan pelacakan “hot spot” infeksi.

Selain itu, kami juga mengetahui bahwa masyarakat tertarik menggunakan teknologi berbasis smartphone untuk melacak dan mendiagnosis kondisi lainnya – jadi kemungkinan akan timbul fungsi serapan. Pengujian di rumah dapat membebaskan sumber daya dan menghentikan dampak COVID-19 terhadap terbatasnya akses rumah sakit, yang dapat meningkatkan kematian akibat kondisi lain.

Apabila tes tersebut populer, sejumlah besar tes berpotensi dilakukan sehingga perlu dipastikan bahwa metode tes harus sangat akurat. Tes-tes ini juga harus jelas dan mudah digunakan, untuk menghindarkannya dari kesalahan. Jika tes berbasis smartphone gagal di salah satu dari kedua persyaratan tersebut, maka dapat mengakibatkan banyak orang yang didiagnosis secara salah. Konsekuensinya dapat berkisar dari kehilangan pendapatan hingga membahayakan keberlangsungan hidup orang lain.

Namun, risiko-risiko ini telah diketahui dengan baik dan ditemukan pada metode pengujian mandiri lainnya. Solusi potensial, seperti beberapa tes simultan untuk mengkonfirmasi temuan sudah dibahas.

Pertanyaan lainnya adalah apakah sebenarnya relevan untuk melakukan pengujian permukaan. Sebuah laporan yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine dan sebuah terbitan lainnya baru-baru ini menyatakan COVID-19 dapat bertahan pada permukaan yang berbeda hingga tujuh hari. Akan tetapi, tidak ada penelitian yang menunjukkan bahwa virus itu tetap menular selama periode tersebut.

Pengujian permukaan yang luas dapat menyebabkan ketakutan yang tidak beralasan dengan mendeteksi partikel virus yang menimbulkan risiko infeksi yang sangat rendah.

Biosensor berbasis ponsel pintar mungkin terbukti sangat membantu untuk melacak dan mengendalikan penyebaran COVID-19. Namun, sebuah perangkat dengan potensi untuk digunakan secara luas harus memiliki kualitas yang sangat tinggi dalam hal kinerja.

Selain itu, kapabilitas penuh dan kekurangan yang tidak terhindarkan pada perangkat harus dikomunikasikan secara terbuka kepada publik untuk meminimalkan kebingungan. Hal Ini dapat dicapai dengan menyampaikan batasan pengujian di aplikasi smartphone dengan jelas.

Implementasi teknologi yang gagal akan menyebabkan hilangnya kepercayaan publik kepada para ilmuwan. Mengingat beberapa skandal profil tinggi yang sudah muncul selama era COVID-19, kegagalan bukan sesuatu yang dapat dibiarkan saja.

Michael Wolter Thomas menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now