Menu Close

Pakar jelaskan lima penyebab mundurnya PM Inggris Liz Truss yang baru menjabat enam minggu

Perdana Menteri Inggris Liz Truss. EPA/Andy Rain

Liz Truss baru saja mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Perdana Menteri (PM) Inggris dan juga pemimpin Partai Konservatif. Ini berarti bahwa periode kepemimpinannya bertahan barangkali tidak lebih lama dari durasi kampanye yang ia lakukan, sebelum akhirnya terpilih enam minggu lalu.

Ketika Boris Johnson, PM sebelumnya, meninggalkan 10 Downing Street (sebutan untuk kantor PM), masyarakat Inggris mungkin mengira bahwa ia akan digantikan oleh politisi yang membosankan, namun kompenten, bisa menjaga stabilitas dan tegas dalam memimpin.

Ternyata, kepemimpinan Truss terbukti luar biasa goyah.

Ia melakukan apa yang bisa dianggap “kudeta kebijakan” terbesar dalam sejarah politik Inggris dan membuat masa jabatan Johnson seakan terlihat membosankan.

Sebagai gambaran, saat mulai menjabat sebagai PM Inggris pada bulan September, Truss mengusulkan agenda radikal yang menurutnya bisa memantik pertumbuhan ekonomi. Tapi Truss kemudian membatalkan agenda itu dan memutar balik kebijakannya ketika yang terjadi adalah sebaliknya. Paket kebijakannya justru langsung memicu krisis ekonomi yang tidak bisa ia pulihkan.

Liz Truss mengundurkan diri.

Masa jabatannya yang sangat singkat setidaknya memudahkan kita untuk melihat apa yang salah dari kepemimpinannya dan apa penyebabnya. Menurut saya, ada lima poin utama yang berperan dalam kebangkitan dan kejatuhannya.

Politik yang buruk

Sejak awal masa jabatannya, praktik politik Truss terlihat buruk.

Ia menutup pintu bagi siapa pun untuk masuk ke dalam pemerintahannya jika mereka tidak mendukungnya selama kampanye. Ini membuat pilihan politikus yang bisa ia tunjuk menjadi terbatas.

Truss menerapkan sikap tebang pilih “teman atau musuh” (jika musuh, maka harus keluar). Sikap ini membuatnya mendapat reputasi sebagai orang yang penuh balas dendam – ini tentu bukan awal yang baik bagi kepemimpinannya.

Kita bisa melihat dengan jelas bahwa ada kekurangan talenta di kabinet Truss. Setelah kurang dari dua bulan menjabat, ia sampai harus memecat Kanselir (setara Menteri Keuangan) dan Menteri Dalam Negerinya – dua posisi paling senior setelah PM dalam pemerintahan Inggris.

Proses yang buruk di internal partai

Perpecahan sebenarnya sudah muncul bahkan sebelum Truss menjabat, sebagai akibat langsung dari cara Partai Konservatif memilih pemimpinnya.

Meski Truss berhasil lolos hingga putaran terakhir dalam pemilihan pemimpin Partai Konservatif, ia tidak mendapat dukungan antusias dari partainya di parlemen. Untuk memenangkan pemilihan, ia ‘menjual’ dirinya kepada anggota partai dengan menawarkan kebijakan pajak yang sepenuhnya disesuaikan dengan kepentingan mereka semata, bukan mencerminkan kebutuhan atau prioritas negara secara lebih luas.

Truss mengadopsi persona Thatcherite (istilah untuk pendukung kebijakan mantan PM Inggris Margaret Thatcher) yang agak canggung dalam menampilkan dirinya. Truss juga mempraktikkan strategi “daging merah” (kebijakan yang dibuat hanya untuk menarik pemilih).

Dampaknya secara keseluruhan, Truss malah menjadi sangat tidak selaras dengan publik maupun partainya di parlemen.

Kebijakan yang buruk

Tingkat ketidakselarasan tersebut terlihat jelas ketika Truss mengumumkan “anggaran mini”, yang dianggap sebagai program bunuh diri.

Menghapus batasan terkait bonus bank dan mengurangi pajak bisnis tidak akan pernah berhasil di tengah krisis biaya hidup. Komunikasi politiknya terlihat kacau – mahasiswa politik tahun pertama pun tahu itu.

Kwasi Kwarteng walking out of !0. Downing Street.
Truss harus memecat Kanselirnya, Kwasi Kwarteng, tidak lama setelah ia menjabat. Alamy

Presentasi yang buruk

Politik, pada akhirnya, adalah bisnis pengelolaan orang-orang. Anda harus mampu berkomunikasi, menjalin koneksi secara emosional, dan berempati.

Oleh karena itu, bentuk intelijen yang paling penting bagi seorang PM bukan bersifat intelektual (karena ada banyak ahli di sekelilingnya yang dapat memberi masukan) ataupun dalam hal keuangan (setiap PM pasti memiliki penasihat), tetapi emosional.

Fakta sederhananya adalah Truss sepertinya tidak nyambung dan tidak bisa relaks. Tanggapannya dalam setiap wawancara terlalu normatif, bahasa tubuhnya terlalu kaku.

Keberpihakan yang buruk

Isu tentang Truss kemungkinan besar mengungkapkan setidaknya satu hal, yaitu bahaya konstitusi Inggris yang kerap menjadi wadah penimbunan kekuasaan, ketika sejumlah kecil orang dapat membuat keputusan besar dengan sangat sedikit, atau tidak ada sama sekali, pengawasan.

Contohnya adalah saat Truss meminggirkan peran Office for Budget Responsibility (OBR), lembaga pemerintah yang memberikan analisis independen dan nasihat ekonomi terkait kondisi keuangan publik.

“Segalanya buruk” bahkan mungkin cocok menjadi tulisan pada batu nisan untuk mengenang kehadiran Truss di kantor PM Inggris. Namun, saya pun penasaran, apakah pengalamannya adalah efek dari masalah yang jauh lebih besar dalam sistem pemerintahan Inggris? Apakah kita terlalu mudah menyalahkan Truss?

Yang jelas, selama sebulan terakhir ada kekosongan ambisi, imajinasi, dan visi di tubuh politik Inggris. Benar-benar tidak ada sedikitpun.

Dalam konteks pasca-Brexit, mengisi kekosongan tersebut harus menjadi perhatian utama bagi siapa pun yang selanjutnya memutuskan untuk menerima kunci 10 Downing Street.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,300 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now