Menu Close

Pakar Menjawab: lukisan Van Gogh disiram sup tomat atas nama aksi lingkungan, apakah aktivisme seperti ini efektif?

Aksi dua aktivis Just Stop Oil di depan lukisan Van Gogh. (Just Stop Oil)

Pertengahan Oktober lalu, pengunjung National Gallery di London, Inggris, dikejutkan oleh ulah dua anak muda dari komunitas pegiat isu lingkungan, Just Stop Oil. Keduanya menyiramkan sup tomat ke lukisan (yang dilapisi kaca) berjudul Sunflowers karya maestro lukisan Van Gogh.

Pelaku penyiraman bernama Anna Holland (20 tahun) dan Phoebe Plummer (21 tahun) – keduanya langsung mengelem tangan mereka ke dinding dekat lukisan.

Setelah mendengar luapan kekagetan pengunjung lainnya, mereka langsung berteriak, “Apa yang lebih berharga, seni atau kehidupan? Apakah seni lebih berharga dari makanan? Dari keadilan? Apakah kalian lebih mengkhawatirkan soal pelestarian karya seni dibandingkan planet dan orang-orang?”

Aksi tersebut sontak memancing reaksi beragam. Ada yang memuji langkah Anna dan Phoebe, tak sedikit pula yang mengecamnya.

Kejadian ini pun bukan kali pertama. Sejak beberapa tahun lalu, anak-anak muda yang tergabung dalam komunitas independen seperti Extinction Rebellion, Animal Rebellion, Just Stop Oil, ramai melakukan aksi damai dengan cara kontroversial di berbagai belahan dunia. Beberapa di antaranya seperti penutupan bandara, menumpahkan susu di pasar swalayan, hingga mengacak-acak gudang perusahaan belanja online Amazon.

Para pegiat melakukan aksi-aksi tersebut dalam rangka “pembangkangan” atas kelambanan pimpinan negara maupun dunia dalam menyikapi krisis iklim. Ada pula yang menuntut pemenuhan kesejahteraan hewan, ataupun penutupan pertambangan energi fosil. Pandemi yang merebak kemudian menambah alasan pemuda tersebut untuk turun ke jalan.

Terlepas dari tujuannya, banyak pihak menyayangkan aksi lingkungan anak-anak muda tersebut karena bisa membuat publik antipati terhadap aktivisme iklim.

Ini sudah mulai terjadi, misalnya munculnya stigma negatif terhadap anggota Extinction Rebellion sebagai ‘sekte kiamat’. ataupun penyebar ketakutan (fearmongerer.)

Lantas, apakah gerakan ini bisa efektif meraup dukungan publik sekaligus menekan para pengambil kebijakan?

Efektif sebagai pemantik

Aktivis Extinction Rebellion memblokir kantor pemerintah di Berlin. Stefan Müller/Flickr

Kandidat doktor bidang politik lingkungan dari University of Leeds di Inggris, Stanislaus Risadi Apresian, mengemukakan bahwa aksi yang dilakukan anak-anak muda saat ini memang sengaja memilih aksi yang menimbulkan disrupsi guna menarik perhatian masyarakat. Sebab, menurut mereka, aksi-aksi konvensional seperti demonstrasi jalanan dan lobi-lobi politik, tak efektif mengatasi krisis iklim yang dianggap sudah darurat.

Aksi-aksi pun dilakukan secara terstruktur dan terencana. “Aksi itu dipilih karena mereka punya tujuan,” kata dia.

Para pegiat lingkungan pun menyadari bahwa aksi ini menciptakan kontroversi. Harapannya, dibalik perdebatan soal ini, publik dapat menyadari pesan utama agar warga dunia sama-sama memprioritaskan perhatiannya terhadap persoalan lingkungan.

Para aktivis ini, kata Apres, juga rela ditangkap apabila aksinya melanggar hukum. Mereka menganggap penangkapan tersebut sebagai salah satu jalan agar pesan-pesan yang disampaikan dapat viral di media sosial.

“Ketika itu jadi viral, orang mengetahui isu ini, maka tujuannya tercapai. Tujuan lebih jauhnya adalah orang-orang [menjadi] lebih teredukasi,” tutur Apres yang juga mengajar di Departemen Hubungan Internasional, Universitas Katolik Parahyangan.

Meski demikian, Apres mengingatkan bahwa aksi-aksi seperti ini harus mengenal batas. Kondisi ‘chaos’ (kekacauan) yang diciptakan, semestinya tidak menimbulkan kerugian – kemudaratan yang ditimbulkan tak boleh lebih besar dibandingkan manfaatnya.

“Ketika aksi radikal sudah dilakukan, jangan kebablasan. Cukup sampai diberitakan di media dan sebarkan. Ketika poin itu sudah dibuat, jangan dilanjutkan,” ujar dia.


Read more: Riset: aksi iklim anak muda didominasi konsumsi ramah lingkungan -- penting tapi perlu aktivisme yang lebih berdampak


Bagaimana risikonya?

Pakar komunikasi lingkungan dari Universitas Padjadjaran, Herlina Agustin, mengatakan aksi yang dilakukan anak-anak muda berpotensi menjadi blunder. Sebab, aksi yang menciptakan sikap antipati publik justru mempertajam polarisasi kelompok-kelompok konservatif dengan pro-lingkungan.

Dia memahami kegelisahan anak-anak muda seputar kelambanan pemerintah merespon berbagai tuntutan untuk memperbaiki kondisi lingkungan. Namun, kata Herlina, aksi-aksi disruptif akan memperberat perjuangan mereka.

“Orang akhirnya nggak mau mendukung kelompok pro-lingkungan karena dianggap melakukan aksi yang tidak elegan. Padahal, maksudnya menarik perhatian supaya persoalan lingkungan tidak terjadi lagi,” ujar dia.

Aksi Extinction Rebellion di Jakarta. Extinction Rebellion Indonesia

Dia mengharapkan anak-anak muda bisa merumuskan cara aksi baru yang bisa menuai simpati publik agar aktivisme iklim memiliki daya tekan ke pemerintah. Salah satu cara yang ia sarankan adalah merancang karya satir. Melalui karya tersebut, publik dapat memahami pesan yang disampaikan, sekaligus mengakui perancang karya sebagai orang yang pintar. Dengan begitu, simpati dapat lebih mudah diraih.

“Misalnya, kalau memberontak, buatlah karya tiruan Van Gogh tapi dengan satir,” tuturnya.

Herlina memprediksi, seiring dengan bencana akibat perubahan iklim yang semakin intens, upaya protes yang kontroversial akan lebih banyak terjadi hingga ke Indonesia. Dia meminta pemerintah tak memperburuk persoalan ini –- misalnya dengan menerbitkan kebijakan yang merugikan lingkungan.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 180,900 academics and researchers from 4,919 institutions.

Register now