Menu Close

Pakar menjawab: misteri Supersemar, kronologi yang janggal dan naskah asli yang tidak pernah ditemukan

Lukisan Soekarno dan Soeharto. Fanny Octavianus/Antara Foto

Tepat hari ini 56 tahun yang lalu, Presiden Republik Indonesia pertama Soekarno menulis dan mendatangani secarik kertas yang dikabarkan berisi mandat kepada Letnan Jenderal Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengatasi situasi keamanan negara.

Surat yang dibuat pada tanggal 11 Maret 1966 itu hingga kini dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dan menjadi penanda beralihnya kekuasaan Orde Lama yang dipimpin Soekarno ke Orde Baru yang dipimpin Soeharto.

Namun, hingga kini, Supersemar masih menjadi kontroversi sejarah, mulai dari pro-kontra tentang apa sebenarnya isi surat tersebut, anggapan bahwa Soeharto telah memanipulasinya demi merebut kursi kekuasaan, sampai kecurigaan apakah surat tersebut benar-benar ada. Ini semua karena sampai detik ini, naskah asli Supersemar tidak pernah ditemukan.

Proses janggal terbitnya Supersemar

Menurut Asvi Warman Adam, sejarawan dan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sejak 9 Maret 1966 Soekarno sudah didesak untuk melepaskan kekuasaannya. Di hari itu, Soekarno didatangi oleh Agoes Moesin Dasaad dan Hasjim Ning – dua pengusaha yang dekat dengannya – di Istana Bogor. Keduanya dikabarkan diutus oleh Mayor Jenderal Alamsjah Ratoe Prawiranegara, salah satu loyalis Soeharto yang kala itu menjabat sebagai asisten keuangan beliau.

Dasaad dan Hasjim membawa surat dari Soeharto yang isinya meminta Soekarno menyerahkan pemerintahan kepada Soeharto. Isi surat itu menjelaskan bahwa Soekarno tetap menjadi presiden, namun pemerintahan sehari-hari diserahkan kepada Soeharto.

Asvi mengatakan peristiwa tersebut diceritakan oleh Hasjim Ning dan Alamsjah di buku biografi masing-masing.

Surat itu, menurut Asvi, tidak berhasil membujuk Soekarno menyerahkan kekuasaan dan justru membuatnya marah, sehingga Soeharto pun mengambil langkah keras dengan mengerahkan mahasiswa untuk berdemo di depan Istana Merdeka pada 11 Maret 1966. Sejarah mencatat bahwa massa pada saat itu bukan hanya mahasiswa, tapi terdapat pula pasukan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang dipimpin Kemal Idris.

Menurut Terra Erlina, dosen Pendidikan Pancasila dari Universitas Galuh, pada masa itu mahasiswa berperan penting dalam memberikan tekanan-tekanan politik terhadap Soekarno.

Di tanggal 11 Maret itu, menurut Terra, Soekarno sedang memimpin rapat kabinet Dwi Komando Rakyat (Dwikora) saat mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran, menutup jalan menuju istana untuk menggagalkan sidang kabinet. Para mahasiswa menuduh bahwa orang-orang yang duduk dalam kabinet adalah mereka yang terlibat dalam Gerakan 30 September / Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI).

Desakan demo membuat Soekarno terpaksa menghentikan rapat dan mengamankan diri ke Istana Bogor bersama Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I, dan Chairul Saleh, Wakil Perdana Menteri III. Saat kegentingan ini terjadi, Soeharto tidak muncul, bahkan tidak hadir di rapat Dwikora, dengan alasan sedang sakit.

Di Istana Bogor, menurut Terra, Soekarno didatangi oleh tiga jenderal yang diduga utusan Soeharto, yakni M. Jusuf, Amirmachmud dan Basuki Rahmat. Mereka menyampaikan pesan dari Soeharto yang isinya “Sampaikan kepada Presiden bahwa saya sanggup mengatasi keadaan”. Ketiganya kemudian mengusulkan pada Soekarno bahwa sebaiknya Soeharto diberi perintah untuk mengamankan Presiden dan mengatasi situasi keamanan negara.

Setelah berdialog, Soekarno memutuskan untuk mengeluarkan surat perintah untuk Soeharto.

Pelantikan Soeharto. DOK IPPHOS/Antara Foto

Secarik kertas yang hilang

Laba Sinuor Yosephus, dosen Filsafat Liberal Arts dari Universitas Pelita Harapan, mengutip buku berjudul “Misteri Supersemar” yang ditulis oleh Eros Djarot yang menjabarkan bahwa naskah Supersemar yang asli diketik berlapis karbon tiga rangkap memakai mesin ketik. Yang mengetiknya adalah Ali Ebram, Staf Asisten I Inteligen Resimen Cakrabirawa, ditemani oleh Sobur, ajudan utama Soekarno. Dalam prosesnya disebutkan bahwa Soekarno mendikte langsung ketikan Ebram tersebut.

Namun, tetap saja, ketikan aslinya tidak pernah ditemukan. Inilah yang kemudian menimbulkan pro-kontra legalitas Supersemar sebagai dokumen negara, karena tidak ada yang bisa memastikan kebenaran isi surat tersebut.

Menurut Yosephus, sebelum ditangkap pada tahun 1967 dan dipenjara selama 12 tahun tanpa diadili, Ebram sempat mengaku bahwa ia masih ingat persis poin yang terkandung di Supersemar, yakni menjalankan ajaran Soekarno, koordinasi dengan panglima-panglima angkatan lain, dan laporan pertanggungjawaban Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) kepada presiden.

Ebram tidak mau mengonfirmasi apakah Supersemar tersebut berisi atau mengandung makna perintah pembubaran PKI dan pelimpahan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto. Sikap Ebram tersebut memunculkan asumsi bahwa ada manipulasi yang disengaja untuk memuluskan jalan Soeharto menuju kursi presiden dan melengserkan Soekarno.

Hingga kini, tidak ada yang dapat memastikan apakah Supersemar hanya perintah untuk menjaga stabilitas keamanan negara atau justru dijadikan alat kudeta.

Menurut Asvi, Lembaga Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyimpan tiga versi naskah Supersemar yang didapat dari tiga sumber, yaitu dari Sekretariat Negara, dari Pusat Penerangan (Puspen) TNI dan dari seorang Kyai di Jawa Timur. Namun, berdasarkan uji forensik di laboratorium Polri tahun 2012 lalu, ketiganya dipastikan bukan merupakan naskah asli. ANRI telah menetapkan Supersemar ke dalam daftar pencarian arsip (DAP).

Kontroversi isi Supersemar

Menurut Asvi, Supersemar diyakini tidak menyebut secara eksplisit penyerahan kekuasaan kepada Soeharto. Inti utama surat tersebut adalah memberikan perintah kepada Soeharto, bukan memberikan kekuasaan, untuk mengamankan presiden beserta keluarganya dan mengamankan kondisi negara. Namun, saat itu Amirmachmud menafsirkan bahwa surat itu bermakna pengalihan kekuasaan, dan itu yang diterapkan oleh Soeharto.

Pada tanggal 12 Maret 1966, hanya berselang 24 jam setelah surat itu dibuat dan diserahkan kepada Soeharto, Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden No. 1/3/1966 tentang Pembubaran PKI, dengan mengatasnamakan Soekarno dan berpegang pada Supersemar.

Isi keputusan itu adalah pembubaran PKI termasuk bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai daerah beserta organisasi yang terafiliasi dengan PKI, serta menetapkan PKI sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah Indonesia.

Asvi mengatakan bahwa tafsiran pembubaran PKI sejatinya tidak ada dalam Supersemar. Pembubaran tersebut hanya tafsiran sepihak dari pihak Soeharto sebagai tindakan yang dianggap perlu untuk “mengamankan situasi negara”.

Saat Soekarno tahu bahwa PKI dibubarkan, menurut Asvi, ia marah dan memanggil Soeharto, lalu meminta surat itu dicabut. Ia kemudian memerintahkan beberapa orang kepercayaannya untuk membuat surat pada tanggal 13 Maret 1966 yang menyatakan bahwa Supersemar tidak sah. Beberapa sumber sejarah, menurut Asvi, menyebut terkait surat bantahan Supersemar tersebut. Namun, sama seperti Supersemar, surat perintah 13 Maret tidak pernah terendus keberadaan otentiknya.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 183,300 academics and researchers from 4,953 institutions.

Register now