Menu Close

Pascapandemi: sudah pulihkah pendidikan kita dari ‘learning loss’?

Akibat pandemi COVID-19, siswa di Indonesia mengalami learning loss. Vovan/Shutterstock.

Awal 2020, riset terbatas kami menunjukkan hanya 28% siswa yang melaksanakan pembelajaran daring, sementara sisanya belajar tatap muka di luar sekolah atau terpaksa tidak belajar sama sekali.

Riset lain kami juga menemukan terjadinya penurunan partisipasi sekolah dari tahun ajaran 2019/2020 ke 2020/2021.

Penurunan partisipasi sekolah selama pandemi telah membawa dampak signifikan terhadap pendidikan di Indonesia. Salah satunya adalah terjadinya learning loss, yaitu hilangnya kemampuan yang telah dikuasai siswa sebelumnya atau kesenjangan (learning gap) antara kemampuan belajar siswa dengan standar tertentu baik nasional maupun internasional.

Seperti apa learning loss yang terjadi di Indonesia dan sudah pulihkah kita dari kondisi tersebut?

Learning loss: siswa belum mencapai standar

Hasil studi kami menemukan bahwa siswa kelas awal di Indonesia mengalami indikasi kehilangan hasil belajar setara dengan 0,47 standar deviasi/sd (atau 6 bulan pembelajaran) untuk literasi dan 0,44 sd (atau 5 bulan pembelajaran) untuk numerasi setelah satu tahun belajar di masa pandemi. Standar deviasi atau simpangan baku adalah persebaran data pada suatu sampel untuk melihat seberapa jauh atau seberapa dekat nilai data dengan rata-ratanya.

Indikasi tersebut menunjukkan, capaian pembelajaran yang seharusnya sudah dikuasai siswa setelah satu tahun belajar di tahun ajaran normal, berkurang menjadi setengahnya saja.

Angka ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan di Amerika Serikat (0,14 sd) atau Cina (0,22 sd).

Terdapat indikasi penurunan hasil belajar siswa satu tahun setelah pandemi. INOVASI (2022)

Learning loss yang terjadi juga berkontribusi terhadap semakin melebarnya kesenjangan hasil belajar, dengan sejumlah besar siswa belum mencapai standar kompetensi yang diharapkan.

Studi kami menemukan pada tahun ajaran 2020/2021, di bidang numerasi, hanya satu dari lima anak kelas 1 (atau sekitar 22% siswa) yang telah mencapai standar kurikulum darurat, yaitu kurikulum nasional yang sudah disederhanakan dan digunakan di masa pandemi. Sebagai contoh, mayoritas siswa belum mampu melakukan operasi hitungan sederhana dengan jumlah hitungan lebih dari 20.

Sementara untuk literasi, hanya 1 dari 3 siswa kelas dua yang telah memenuhi standar kemampuan minimum berdasarkan indikator Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Artinya, sebagian besar siswa belum mampu membaca teks sederhana dengan lancar dan mandiri serta mengerti makna dari teks yang mereka baca.

Efek jangka panjang learning loss

Tidak hanya mendisrupsi perkembangan anak di masa sekarang, learning loss juga berpotensi mengganggu masa depan anak.

Keterampilan dasar yang diperoleh sejak dini, seperti literasi dan numerasi, sangat dibutuhkan siswa untuk mempelajari pengetahuan dan keterampilan yang lebih kompleks. Ketidakmampuan untuk memenuhi keterampilan dasar akan membatasi potensi siswa untuk berpikir kritis, memecahkan masalah dan menciptakan inovasi.

Studi Bank Dunia menunjukkan hilangnya hasil belajar siswa selama pandemi berpotensi mengurangi pendapatan generasi saat ini sebesar US$17 triliun atau setara Rp. 259,3 kuadriliun ketika dewasa.

Temuan ini serupa dengan hasil analisis yang dilakukan oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), organisasi internasional dari 38 negara yang berkomitmen pada demokrasi dan ekonomi pasar, yang menunjukkan bahwa kehilangan hasil pembelajaran juga berpotensi menurunkan pendapatan negara-negara G20.

Untuk konteks Indonesia, kehilangan hasil belajar anak bahkan berpotensi mengurangi pendapatan negara hingga 24-34%.

Selain itu, hilangnya akses ke sekolah yang kerap diikuti dengan perkembangan kemampuan belajar yang lebih lambat berpotensi menjerat anak terjebak pada masalah-masalah sosial. Misalnya, studi kami di Lombok, Nusa Tenggara Barat, menunjukkan bahwa anak-anak yang kehilangan akses belajar berpotensi terjebak pada perkawinan anak.

Apakah kita sudah pulih dari learning loss?

Untuk menjawab pertanyaan ini dan mengisi celah pengetahuan di mana studi-studi sebelumnya hanya fokus pada penurunan hasil pembelajaran yang terjadi tanpa melihat potensi siswa untuk terus berkembang, studi terbaru INOVASI, program kemitraan antara pemerintah Australia dan Indonesia, mencoba mengidentifikasi potensi pemulihan pembelajaran siswa pascapandemi di Indonesia.

Kami melakukan tes pada 4.100 siswa kelas awal di sekolah mitra INOVASI di 7 kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, dan Kalimantan Utara. Tes tersebut diambil secara berkelanjutan: sebelum pandemi (2020), satu tahun setelah pandemi (2021), dan dua tahun setelah pandemi (2022).

Seperti yang terlihat pada grafik di bawah, meskipun performa siswa masih lebih rendah dibandingkan sebelum pandemi, temuan baru kami menunjukkan adanya indikasi pemulihan pembelajaran yang setara dengan 0,16 sd untuk literasi dan 0,12 sd untuk numerasi (atau setara dengan 2 bulan pembelajaran).

Dua tahun setelah pandemi, terdapat indikasi positif pemulihan pembelajaran (‘learning recovery’) meskipun hasil belajar belum bisa pulih seperti sebelum pandemi. INOVASI (2022)

Sebagai ilustrasi, di akhir semester satu (bulan Desember), siswa kelas 1 diharapkan sudah memahami konsep dasar numerasi yaitu menyebutkan bilangan hingga 99. Namun, studi awal kami menggambarkan bahwa banyak siswa kelas 1 baru memahami konsep bilangan hingga 99 pada akhir semester dua (bulan Mei).

Dengan adanya indikasi pemulihan setara 2 bulan pembelajaran, siswa mampu menguasai konsep tersebut pada akhir Maret. Artinya, meskipun ada keterlambatan dalam capaian pembelajaran, upaya pemulihan telah membantu mengurangi jarak keterlambatan tersebut.

Temuan ini menunjukkan bahwa meskipun hasil belajar belum bisa pulih sepenuhnya, ada indikasi proses pemulihan pembelajaran. Temuan ini juga sejalan dengan studi serupa yang dilakukan di India yang menunjukkan bahwa ada indikasi pemulihan pembelajaran setelah sekolah dibuka kembali. Dengan kata lain, perkembangan akademis siswa saat ini lebih cepat jika dibandingkan dengan kondisi di awal pandemi.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,600 academics and researchers from 4,945 institutions.

Register now