Menu Close

Pecah rekor penonton, geliat festival, dan prestasi global: sinema Indonesia 2022 meroket setelah dua tahun tergerus pandemi

Tangkapan layar trailer film _Before, Now, and Then_.
Tak hanya pecahnya rekor penonton film di Indonesia lewat KKN di Desa Penari, tahun 2022 juga diwarnai prestasi internasional dari berbagai film seperti Before, Now, and Then (gambar di atas) besutan Kamila Andini. (Fourcolours Film - Youtube/Fair Use)

Pada 2022, Perfilman Indonesia sedang bergeliat dan dengan cepat bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, bahkan lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya.

Dari segi kuantitas, film KKN di Desa Penari meraih lebih dari 9,2 juta penonton – rekor baru dalam sejarah perfilman Indonesia.

Tak hanya itu, Pengabdi Setan 2 dan Miracle in Cell no 7 juga meraih angka penonton tinggi, masing-masing lebih dari 6,3 juta dan 5,8 juta. Lima film menembus 2 juta penonton, dan empat judul meraup lebih dari sejuta penonton.

Walau genre horor mendominasi, perfilman tahun ini menyajikan cukup banyak variasi. Di antaranya drama, komedi, hingga film heist (perampokan) seperti Mencuri Raden Saleh yang menyegarkan maupun film pahlawan super perempuan pertama dalam bentuk Sri Asih.

Perolehan penonton tahun ini lebih baik dari sebelum pandemi, yakni pada 2019, yang padahal dianggap sebagai tahun emas perfilman Indonesia. Pada tahun itu, peringkat pertama jatuh pada Dilan 1991 yang meraih 5,2 juta penonton, disusul empat film di atas 2 juta, dan 10 film melampaui satu juta pemirsa.

Tak hanya capaian penonton, momentum kebangkitan pada 2022 juga terlihat dalam ramainya festival film, raihan prestasi global, hingga tren positif di industri film hingga layanan streaming.

Bangkit dari keterpurukan

Pandemi COVID membuat perfilman Indonesia pada 2020 tiarap. Kala itu, produksi film terhenti mengingat belum adanya protokol kesehatan yang baku, dengan harga tes antigen atau PCR yang sangat mahal. Bioskop, sebagai etalase eksibisi karya film, juga berujung tutup.

Meski pada 2021 bioskop mulai buka kembali dengan protokol ketat, tren lesu ini masih relatif berlanjut. Raihan penonton tertinggi jatuh pada film Makmum 2 yang hanya meraup 1,7 juta jiwa, disusul Nussa dan Yowis Ben 3 dengan lebih dari 400 ribu penonton.

Kesuraman tahun-tahun ini hanya sedikit terselamatkan oleh layanan platform streaming yang memungkinkan orang menonton film terbaru dari rumah masing-masing.

Namun, pada 2021, para sineas pelan-pelan beradaptasi dengan pandemi dan kembali menggenjot produksi. Tren pemulihan ini secara konstan terus terjadi dan berpuncak pada perolehan jumlah penonton tahun 2022.

Raihan 9 juta lebih penonton oleh KKN di Desa Penari dianggap sebagai jumlah terbanyak dalam sejarah perfilman Indonesia (setidaknya sejak 1998 mengingat sebelum tahun itu pencatatan angka penonton di Indonesia kurang reliabel karena hanya berpusat di bioskop-bioskop Jakarta). Bahkan, sebelum film tersebut dan juga Pengabdi Setan 2 pada tahun ini, hanya ada dua film yang mencatatkan lebih dari 6 juta penonton sejak tahun 1998 – yakni Dilan 1990 (2018) dan Warkop DKI Reborn Part 1 (2016).

Hal ini bisa terjadi karena setidaknya ada empat elemen penting yang meretas jalan tersebut.

Pertama adalah dibukanya kembali bioskop, yang merupakan salah satu sumber pendapatan utama para sineas, terutama secara komersial.

Kedua, penonton sudah jenuh berdiam diri selama sekitar dua tahun dan ingin ke bioskop, festival film, maupun konser musik.

Ketiga, kualitas film-film komersial yang terbit di bioskop cenderung membaik dan juga variatif.

Keempat, para sineas sudah menemukan cara untuk menjalankan produksi secara aman dan nyaman di tengah pandemi, serta didukung protokol kesehatan dari pemerintah pusat dan daerah.

Di luar bioskop: festival dan prestasi

Selain capaian komersial, kebangkitan sinema Indonesia pascapandemi juga diwarnai capaian internasional di festival bergengsi – melanjutkan momentum sejak 2021.

Pada 2021, misalnya, festival film pelan-pelan kembali berjalan secara luring, di antaranya edisi perdana Jakarta Film Week, Jogja Netpac-Asia Film Festival (JAFF) ke-16, dan ajang penghargaan Festival Film Indonesia (FFI) ke-41.

Dari segi prestasi internasional, tahun 2021 juga melihat film Yuni karya Kamila Andini menyabet Platform Prize di Toronto International Film Festival (TIFF) 2021. Sementara, Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas besutan Edwin menyabet Golden Bear, penghargaan puncak di festival bergengsi Locarno International Film Festival 2021.

Kemudian pada tahun 2022, tren raihan prestisius ini berlanjut.

Film Before, Now, and Then besutan Kamila Andini lolos kompetisi utama Berlinale, salah satu festival film paling bergengsi di dunia, dengan Laura Basuki meraih penghargaan Pemeran Pendukung Terbaik. Film ini juga dinobatkan menjadi Film Terbaik di Asia Pacific Screen Awards (APSA) dan mendapat Jury Prize di Brussels International Film Festival (BRIFF).

Sementara, Autobiography arahan Makbul Mubarak masuk ke Venice Film Festival yang tak kalah bergengsinya dan meraih International Federation of Film Critics (FIPRESCI) Award. Film ini juga menyabet Best Film di Tokyo Filmex dan NETPAC Award di Golden Horse Film Festival.

Pengadaan festival film di Indonesia selama 2022 pun makin bergeliat. Sebagian masih berjalan secara campuran (daring dan luring), tapi tidak sedikit yang luring.

Hanya dalam bulan Oktober, dan di Jakarta saja, ada sekitar lima festival film. Ini termasuk Festival Film Madani, Jakarta Film Week, World Cinema Week, Festival Sinema Perancis, Korea Indonesia Film Festival, dan 100% Manusia Film Festival. Sementara bulan November di Yogjakarta dimeriahkan oleh Festival Film Dokumenter dan Jogja Netpac-Asia Film Festival (JAFF) ke-17. Suasana kemeriahan terasa dan menjadi perayaan atas berbagai jenis film.

Terakhir adalah Festival Film Indonesia (FFI) yang acap dianggap barometer perfilman Indonesia. Tahun ini, FFI ke-42 tampak merayakan dua pencapaian terbesar sinema Indonesia selama dua tahun terakhir: Seperti Dendam dan Before, Now, and Then.

Seperti Dendam meraih empat Piala Citra, masing-masing untuk Penyutradaraan, Aktor, Aktris, Skenario Adaptasi, dan Desain Kostum. Sedangkan Before, Now, and Then meraih lima Piala Citra untuk kategori Film Terbaik, Sinematografi, Penyuntingan, dan Score Orisinal.

Tak hanya itu, hal baik lainnya adalah FFI memutuskan menyiarkan secara langsung di kanal YouTube mereka, dan tidak bekerja sama dengan stasiun televisi. Ini memungkinkan mereka menayangkan penerimaan penghargaan di semua kategori, yang sebelumnya tidak terjadi, termasuk kategori Kritik Film dan Film Pendek.

Sineas kecil mulai diakui

Yang juga patut dicatat, para sineas yang selama ini berkutat di film pendek dan rajin mengkampanyekan film “sampah” (B-movies), pada tauhun ini mulai diakui oleh ekosistem.

Sosok seperti Azzam Fi Rullah, penggagas rumah produksi Kolong Sinema yang sebelumnya berkolaborasi dengan sineas Monty Tiwa, masuk dalam tim penulis Keramat 2: Caruban Larang yang disutradarai Monty. Film pendek Azzam sendiri, Bootlegging My Way Into Hell, masuk ke dalam JAFF 2022.

Film pendek Gugun Arief dari komunitas Wlingiwood, penggagas Festival Film Jenglot, masuk dalam serial antologi Piknik Pesona produksi Palari Films dan bahkan menjadi film pembuka di JAFF 2022. Reza Pahlevi, yang dikenal sebagai pembuat film pendek Makmum (2019), kini menulis di film layar lebar Khanzab yang produksinya masih berjalan.

Layanan streaming tak mau kalah

Hal menggembirakan lainnya adalah semakin berperannya layanan over-the-top (OTT) atau streaming dalam distribusi film daring.

Platform daring ini menjadi alternatif tontonan yang bisa menampung film-film baru, dari Before, Now, and Then hingga Ashiap Man yang rilis tahun ini – keduanya ada di Amazon Prime Video – sekaligus sebagai outlet bagi film-film lama yang sebelumnya susah diakses secara legal.

Kita juga melihat makin banyak sineas Indonesia yang terlibat di platform internasional seperti Netflix dan Disney+ Hotstar untuk produksi original mereka. Saya sendiri menantikan karya Mouly Surya (Trigger Warning), Kamila Andini (Gadis Kretek), Joko Anwar (Nightmares and Daydreams), dan Timo Tjahjanto (The Big 4).

Puncaknya adalah platform Vidio asal Indonesia. Menurut Bloomberg, layanan ini di Indonesia mengalahkan dua raksasa dunia, Netflix dan Disney+ Hotstar. Berdasarkan riset Media Partners Asia (MPA), Vidio menjadi layanan paling populer bagi pelanggan tontonan premium di negara ini.

Berbagai raihan ini menunjukkan kabar gembira bangkitnya sinema Indonesia setelah terpuruk karena COVID, dan merupakan bekal penting untuk menyongsong tahun-tahun berikutnya. Film apa yang kamu nantikan pada 2023?


CATATAN EDITOR: Kami menambahkan sedikit penjelasan terkait pencatatan angka penonton film di Indonesia sebelum 1998 untuk mengklarifikasi anggapan capaian penonton ‘KKN di Desa Penari’ sebagai “jumlah terbanyak dalam sejarah perfilman Indonesia”.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now