Menu Close
Mutu pembelajaran antarsekolah dan antarmurid bervariasi. Artem Beliaikin / Shutterstock.com

Peduli sekolah—tanggung jawab masyarakat dan kewajiban pemerintah

Persoalan besar yang menghadang Indonesia ke depan adalah buruknya kualitas hasil pembelajaran murid sekolah. Kalau hal ini dibiarkan maka mayoritas sumber daya manusia kita tidak akan mampu berkompetisi secara global. Artinya, kita tidak bisa mengambil manfaat dari Revolusi Industri 4.0 yang memerlukan tenaga kerja yang handal dan inovatif.

Upaya memperbaiki kualitas pembelajaran ini adalah kewajiban utama pemerintah. Namun kemampuan pemerintah melayani publik terbatas.

Oleh karena itu dalam upaya memenuhi kebutuhan rakyat yang terus berkembang dan berubah makin luas dan rumit pemerintah perlu menyediakan ruang bagi inisiatif masyarakat. Berbagai kebijakan pemerintah mesti lebih berciri “membangun dengan rakyat” bukan “membangun untuk rakyat.”

Contohnya di bidang pendidikan, pemerintah bisa bekerja sama dengan masyarakat untuk membangun dan memelihara sekolah. Dalam kaitan ini kemampuan masyarakat cukup nyata. Sebanyak 30% gedung sekolah dibangun dan dipelihara pihak swasta.

Perbandingan jumlah sekolah negeri dan swasta, 2015/2016. Indonesia Educational Statistics in Brief, Pusat Data Pendidikan dan Kebudayaan, Diunduh 10 April 2017.

Tapi masalah kualitas hasil pembelajaran murid sekolah di Indonesia tidak hanya karena fasilitas gedung sekolah. Masyarakat pun perlu terlibat dalam kegiatan pembelajaran murid.


Read more: Kualitas buruk pelajar Indonesia akibat proses belajar tidak tuntas. Apa yang bisa dilakukan?


Membangun sekolah sejak masa Hindia Belanda

Pada tahun 1983 sebagai peneliti proyek Development Policy and Implementation Studies yang merupakan kerjasama Pemerintah Indonesia dengan Harvard Institute for International Development, Amerika Serikat, saya mencatat bahwa Pemerintah Hindia Belanda mulai 1907 mengizinkan pendirian sekolah untuk penduduk setempat yang disebut volksschool atau sekolah rakyat. Setahun setelah keluarnya izin tersebut, masyarakat di sebuah daerah yang terletak jauh di pedalaman Sumatera Selatan, sekarang dikenal dengan Kecamatan Tanjung Agung, mendirikan volksschool pertama.

Sampai 1945, masyarakat daerah Kecamatan Tanjung Agung membangun enam gedung sekolah. Pada masa perjuangan kemerdekaan Indonesia dari Belanda (1945-1949), mereka sempat membangun empat gedung sekolah. Sepanjang dekade 1950 rakyat mendirikan sembilan gedung sekolah, enam di antaranya berstatus negeri, tiga lainnya swasta.

Pada 1972 sebelum keluar Instruksi Presiden No. 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung Sekolah Dasar atau Program Inpres SD, di Kecamatan Tanjung Agung terdapat 29 sekolah yang menampung lebih dari 75% anak usia 7–12 tahun. Namun, secara nasional angkanya tersendat di bawah 70%.

Bersamaan dengan menguatnya keprihatinan pemerintah terhadap fasilitas pendidikan, produksi minyak bumi meningkat dan harganya naik pesat. Dengan demikian, pemerintah mempunyai keleluasaan untuk mengalokasikan pendapatan negara guna membiayai pembangunan, termasuk membangun banyak gedung sekolah dasar.

Sejak saat itu hampir semua gedung sekolah, misalnya, yang dibangun masyarakat Kecamatan Tanjung Agung di masa lalu, kemudian dibangun kembali melalui Program Inpres SD yang dananya bersumber dari APBN. Setelah lebih dari empat dekade jumlah gedung SD di kecamatan ini hanya bertambah dua, tetapi ada tambahan enam gedung sekolah menengah pertama negeri dan dua gedung sekolah menengah atas.

Dampak program Inpres SD

Sebelum muncul Program Inpres SD, rakyat di berbagai daerah membangun gedung sekolah dengan kemampuan lokal. Mereka mengambil kayu di hutan sekitar pemukiman dan bergotong royong membangun sekolah. Orang tua murid menyediakan meja dan bangku.

Hasilnya, gedung dan peralatan berbeda antarsekolah, tetapi secara umum kondisinya layak dan terpelihara. Namun, sejak diluncurkan Program Inpres SD, tidak ada lagi gedung SD negeri yang dibangun masyarakat.

Program ini sendiri bukan tanpa keberhasilan besar. Menurut penelitian ekonom Esther Duflo pada 2000, angka bersekolah anak usia 7-12 tahun secara nasional meningkat dari 69% pada 1973 menjadi 84% pada 1978. Pada 1990 Bank Dunia melaporkan angka tersebut telah mencapai 92% pada 1987. Selain itu, sejak Program Inpres SD akses bersekolah anak berdasarkan gender dan tingkat kesejahteraan mulai setara.

Sayangnya, keberhasilan itu menimbulkan pula dua masalah. Pertama, masyarakat cenderung menjadi “penadah” hasil pembangunan, diiringi menghilangnya “modal sosial” berupa tanggung jawab dan kerja gotong royong membangun gedung sekolah.

Kedua, antusiasme pemerintah dan masyarakat untuk memperluas akses bersekolah, membuat perhatian terhadap mutu pembelajaran terabaikan yang dampaknya terasa sampai sekarang.

Menjelang dekade 1990an, setelah “booming” minyak bumi berlalu, kemampuan pemerintah membangun dan memperbaiki gedung SD Negeri menurun. Sejak saat itu, meski ada gedung sekolah yang rusak bahkan roboh, masyarakat tetap cenderung tidak peduli.


Read more: Pendidikan, setelah 20 tahun Reformasi


Menyadari kondisi ini, beberapa pemerintah daerah mencoba mengembalikan tanggung jawab memelihara gedung sekolah kepada masyarakat. Berdasarkan penelitian SMERU Research Institute yang saya ikuti di tahun 2001, Kabupaten Kebumen di Jawa Tengah, misalnya, pernah melakukan pendekatan kepada masyarakat untuk ikut memperbaiki gedung sekolah.

Bupati berkunjung dari desa ke desa memberitahukan bahwa pemerintah daerah hanya mempunyai dana sekitar seperlima dari biaya rehabilitasi gedung. Hasil pendekatan “membangun dengan rakyat” seperti ini, berhasil memperbaiki hampir seribu ruang kelas.

Perangkat lunak: kegiatan pembelajaran

Tujuan anak bersekolah adalah untuk belajar. Namun, mutu pembelajaran antarsekolah dan antarmurid bervariasi. Oleh karena itu, hasil pembelajaran anak satu sama lain berbeda dengan kesenjangan yang kerap kali besar. Perbedaan itu ditentukan baik oleh proses pembelajaran di sekolah maupun di rumah. Sebagaimana dikemukakan mantan Menteri Pendidikan (periode 1978-1983)Daoed Joesoef bahwa guru seharusnya menjadi orangtua kedua di sekolah, sementara orangtua adalah guru kedua di rumah.

Di sekolah, titik berat peningkatan mutu pembelajaran terletak pada manajemen guru yang meliputi rekrutmen, penempatan, pengembangan profesi, dan insentif. Untuk itu, bidang pendidikan mendapat alokasi sebesar 20% dana APBN.

Namun, menurut penelitian tahun 2017 dari peneliti kebijakan di bidang pendidikan Joppe de Ree dengan beberapa peneliti lain investasi pendidikan yang besar itu tidak diikuti dengan kenaikan mutu pembelajaran secara memadai. Mayoritas guru yang mengikuti Uji Kompetensi Guru 2015, misalnya, dinyatakan tidak lulus. Akibat mutu guru yang rendah itu wajar saja kalau skor Programme for International Student Assessment (PISA) selalu menempatkan murid Indonesia pada kelompok bawah.


Read more: Guru makin sejahtera di era desentralisasi, tapi tidak berdampak pada kualitas pendidikan


Di rumah, orang tua kurang memberi perhatian terhadap kegiatan pembelajaran anak. Di banyak tempat orang tua masih cenderung menyerahkan sepenuhnya kegiatan pembelajaran anaknya kepada sekolah. Alasannya, mereka sibuk dengan pekerjaan sehari-hari, berpendidikan rendah, dan tidak mengikuti perubahan metode pembelajaran mutakhir.

Berdasarkan hasil tes Programme for International Assessment of Adult Competencies (PIAAC), kemampuan akademis orang dewasa di Jakarta lulusan sekolah menengah atas lebih rendah dibandingkan orang dewasa Denmark yang belum lulus sekolah menengah pertama.

Terkait dengan kondisi tersebut, hasil kajian Research on Improving Systems of Education (RISE) Indonesia 2018, misalnya, memperlihatkan bahwa antara tahun 2000 sampai 2014, kemampuan berhitung murid yang tengah bersekolah di semua jenjang kelas justru mengalami penurunan.

Kemampuan berhitung murid yang sedang bersekolah. Diolah berdasarkan Indonesia Family Life Survey (IFLS), Author provided

Ekspektasi rendah

Menurut hasil riset tahun 2010 dari peneliti senior Australian National University Blane Lewis, masyarakat Indonesia merasa puas atas praktik layanan pendidikan. Penyebabnya, mungkin harapan warga atas taraf layanan pendidikan memang tergolong rendah. Oleh karena itu, mayoritas masyarakat tidak mempunyai gairah untuk merespons atas kenyataan rendahnya kualitas hasil pembelajaran murid.

Sementara itu, orang tua yang ingin anaknya mendapat layanan pembelajaran yang baik mengirim mereka mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah dengan biaya yang cukup mahal.

Masyarakat perlu mengubah sikap dan tidak cepat puas mengenai praktik layanan pendidikan di Indonesia. Orang tua perlu lebih terlibat dalam pendidikan anak dan memperjuangkan perbaikan kualitas layanan pendidikan di Indonesia. Jika tidak, birokrasi sekolah akan berlangsung rutin saja, tanpa upaya untuk melakukan perbaikan proses pembelajaran.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,800 academics and researchers from 4,938 institutions.

Register now