Menu Close

Pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Kalimantan Barat: bencana baru bagi masyarakat adat?

nuclear power plant.

Indonesia merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat.

Proyek yang ditargetkan beroperasi tahun 2025 ini akan menjadi fasilitas setrum tenaga nuklir pertama skala komersial di Asia Tenggara, setelah Vietnam batal membangun PLTN skala komersial miliknya. Filipina pun memiliki PLTN yang dibangun tahun 1984 untuk keperluan skala komersial, namun hingga saat ini belum beroperasi.

Pembangunan PLTN di Indonesia masih menjadi kontroversi karena persoalan keamanan, kerentanan terhadap bencana, dan ancaman kerusakan lingkungan yang lebih masif.

Terlebih lagi, rancangan undang-undang masyarakat adat hingga kini masih belum disahkan. Sehingga ruang penghidupan mereka masih terancam.

Risiko bagi masyarakat adat

Di Bengkayang, sebagian besar warga pedesaan adalah masyarakat adat dari berbagai komunitas sub-suku Dayak yang sudah tinggal ratusan tahun lamanya.

Sementara, energi nuklir adalah hal baru bagi masyarakat lokal Kalimantan Barat. Meski radiasi dosis rendah diklaim tidak berbahaya, tetap saja masyarakat adat akan hidup dalam bayang-bayang bencana dari suatu proyek PLTN.

Meski sudah ada Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2019, tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat Kabupaten Bengkayang, pembangunan PLTN yang direstui oleh Pemerintah Kabupaten Bengkayang masih berpotensi memunculkan konflik pengelolaan lahan dengan masyarakat adat.

Risiko tersebut muncul lantaran calon tapak pembangunan PLTN berdekatan dengan wilayah wisata masyarakat, yaitu Pantai Gosong di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Pulau Lemukutan, dan Pulau Randayan. Selain di Bengkayang, konflik juga berpotensi lahir di areal penambangan uranium sebagai bahan baku PLTN di Kabupaten Melawi.

Masyarakat nelayan, petani kelapa dan petani karet di wilayah ini juga ikut terancam kehilangan mata pencaharian dari alam yang mereka andalkan. Terlebih lagi, Pulau Lemukutan dan Randayan yang termasuk dalam kawasan konservasi yang harus dijaga kelangsungannya.

Tiap-tiap kelompok/komunitas adat di Kalimantan Barat memiliki cara berdaulat dalam pengelolaan sumber daya alam. Masyarakat adat ini acap kali dijumpai mendiami wilayah terpencil dan jauh dari sistem perlindungan hukum yang layak.

Tanah ulayat yang digarap secara turun-temurun pun sebagian besar masih belum mendapatkan sertifikat sebagai tanda hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Letak permukiman yang jauh dari pusat kota juga membuat masyarakat adat tidak memiliki akses memadai ke sistem peradilan.

Akibatnya, masyarakat adat kerap menjadi korban pelanggaran hukum, bahkan kriminalisasi. Misalnya seperti yang terjadi pada masyarakat Laman Kinipan dan masyarakat adat lainnya di di banyak tempat di Tanah Air.

Pada banyak pengalaman masyarakat adat di dunia, risiko kriminalisasi dan pelanggaran akan semakin besar apabila berhadapan pada proyek pertambangan, agrobisnis, serta proyek skala besar lainnya.

Dalam benturan ini, risiko rentan terjadi hanya karena masyarakat adat berusaha mempertahankan tanah leluhurnya. Padahal, perjuangan mempertahankan tanah adat bukan semata-mata melestarikan hutan dan lingkungan, melainkan juga menyelamatkan generasi yang akan datang—untuk tetap hidup dan berdaulat.

Selain konflik agraria, dampak operasional PLTN lainnya adalah risiko radiasi yang dapat merusak kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya hingga ribuan tahun.

Reaktor PLTN skala komersial serta aktivitas penambangan bahan baku uranium untuk PLTN juga dapat mempercepat perubahan iklim yang berdampak pada krisis langsung bagi masyarakat adat. Ancaman gagal panen akibat perubahan iklim yang akan dihadapi oleh masyarakat adat di Kalimantan Barat dapat berdampak pada krisis pangan. Hal tersebut belum lagi risiko krisis air bersih yang dapat terjadi karena kemarau panjang.

Hentikan pembangunan PLTN skala komersial

Pembangunan PLTN skala komersial di Kalimantan Barat semestinya tidak dilakukan secara terburu - buru.

Pemerintah perlu melakukan kajian sosial dan budaya 100 tahun lagi guna memantapkan ide pembangunan ini. Sebab, pembangunan PLTN bukan semata urusan energi dan ekonomi, namun juga sosial dan budaya.

Harus dicatat bahwa keberadaan reaktor PLTN berskala besar akan memunculkan ingatan atas tragedi meledaknya reaktor PLTN di Chernobhyl, Uni Soviet pada tahun 1986 silam dan bencana nuklir Fukushima tahun 2011 silam.

Bencana semacam ini akan menjadi bayang - bayang bagi masyarakat di Kalimantan Barat apabila reaktor nuklir sudah beroperasi.

Kita bisa menengok PLTN di Metsamor, Armenia, yang kini beroperasi bak memakan buah simalakama. Jika operasinya dihentikan, maka kelangkaan sumber energi berisiko terjadi. Sementara, jika terus beroperasi, maka kekhawatiran dan potensi bencana akibat nuklir terus membayangi.

Masyarakat akhirnya dipaksa untuk beradaptasi dengan kekhawatiran akan bencana nuklir karena mereka tidak mempunyai pilihan lain atas sumber energi.

Sementara di Kalimantan Barat, sumber energi yang terbarukan dan ramah lingkungan masih tersedia. Dua di antaranya adalah tenaga matahari dan tenaga air yang masih bisa dikembangkan selama pemerintah menaati Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Aturan ini menyatakan bahwa pengembangan energi nuklir adalah pilihan terakhir ketika tidak ada lagi alternatif sumber energi yang tersedia.


Dapatkan kumpulan berita lingkungan hidup yang perlu Anda tahu dalam sepekan. Daftar di sini.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,000 academics and researchers from 4,940 institutions.

Register now