Menu Close
Shinzo Abe. Wikimedia Commons, CC BY

Pembunuhan mantan PM Shinzo Abe: Bagaimana sejarah kekerasan bermotif politik di Jepang?

Reaksi banyak orang setelah mendengar berita penembakan terhadap mantan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe sepertinya hampir sama: terkejut dan tidak percaya. Yang terjadi selanjutnya adalah ramainya pemberitaan dan gosip tentang segala hal terkait peristiwa tersebut, sampai akhirnya kematian beliau diumumkan beberapa jam kemudian.

Sepintas, pembunuhan Abe mengingatkan kita pada tahun 1920-an dan 1930-an, ketika rangkaian pembunuhan terhadap para perdana menteri yang sedang menjabat (Hara Kei, Hamaguchi Osachi, Inukai Tsuyoshi, Takahashi Korekiyo, dan Saitō Makoto) menjadi ciri khas politik Jepang. Kami tidak bermaksud mengaitkan secara langsung praktik pembunuhan dan kekerasan bermotif politik tersebut dengan sistem pemerintahan Jepang pascaperang – yang bersifat demokratis dan antikekerasan.

Memang, tidak heran jika banyak laporan yang menyatakan bahwa kekerasan politik di Jepang “tidak dapat diprediksi”. Namun, seperti di negara mana pun, tindakan kekerasan politik yang terjadi secara tiba-tiba dan ekstrem di Jepang bukanlah suatu hal yang terjadi tanpa preseden.

Selama masa pemerintahan Abe (2012-2020), salah satu inisiatifnya yang paling kontroversial adalah interpretasi ulang atas pelaksanaan hak bela diri kolektif Jepang. Inisiatif tersebut dianggap sebagai pergeseran menuju Jepang yang lebih termiliterisasi, dan mengakibatkan dua insiden pembakaran diri yang terjadi pada Juni dan November 2014 sebagai bentuk protes. Dalam insiden terakhir, pelaku pembakaran diri tersebut dinyatakan meninggal.

Pada periode pertama masa jabatan Abe (2006-2007), walikota Nagasaki periode 1995-2007, Itō Icchō, meninggal dunia setelah ditembak oleh anggota Yamaguchi-gumi – sindikat kejahatan terorganisir terbesar di Jepang – karena masalah kompensasi atas kerusakan mobilnya yang sebenarnya adalah hal sepele. Pada tahun 1990, pendahulu Itō, Motoshima Hitoshi, juga menjadi target percobaan pembunuhan – namun gagal – oleh seorang ekstremis sayap kanan karena pernyataan publik yang ia buat mengenai tanggung jawab perang Kaisar Hirohito.

Pada tahun 2006, rumah politisi senior Partai Demokrat Liberal, Katō Kōichi, menjadi sasaran serangan pembakaran oleh seorang simpatisan sayap kanan yang marah atas kritik Katō tentang kunjungan perdana menteri Koizumi Junichirō ke Kuil Yasukuni. Kuil ini telah lama menjadi simbol kontroversial dari warisan masa perang Jepang.

A building with crowds of people.
Kuil Yasukuni di Tokyo, Jepang. Sean Pavone/Alamy

Kudeta yang diinisiasi oleh penulis terkenal dunia, Mishima Yukio, pada 1970 mengejutkan seluruh penjuru Jepang. Mishima memiliki akar pandangan politik ultra-nasionalis yang kuat. Dua tahun sebelum kudeta, Mishima mendirikan Shield Society, sebuah organisasi paramiliter, dan merekrut simpatisan sayap kanan yang ingin mengembalikan sistem politik kekaisaran sebagai anggota. Mishima kemudian bunuh diri setelah upaya kudetanya gagal.


Read more: Shooting of Shinzo Abe is a huge shock for Japan and the world


Tahun 1960 adalah masa-masa penuh gejolak dalam sejarah Jepang pascaperang. Penyebabnya adalah revisi perjanjian keamanan antara Jepang dan Amerika Serikat (AS). Kakek Abe, Kishi Nobusuke, adalah korban dari percobaan pembunuhan yang gagal pada bulan Juli tahun itu. Kemudian pada tahun yang sama, pemimpin Partai Sosialis Jepang, Asanuma Inejirō meninggal dunia setelah ditusuk oleh seorang mahasiswa yang memiliki paham ultra-nasionalis radikal.

Asanuma adalah seorang kritikus yang sering blak-blakan berkomentar tentang hubungan Jepang-AS dan cenderung menginginkan Jepang memperkuat hubungan dengan negara-negara komunis di Asia. Sebuah foto terkait insiden pembunuhan tersebut bahkan memenangkan hadiah Pulitzer.

Insiden-insiden yang disebutkan di atas semuanya adalah tindakan individual. Jepang sudah tidak asing dengan kekerasan politik terorganisasi oleh sekelompok orang.

Tidak diragukan lagi, insiden kekerasan politik yang paling menghancurkan pascaperang adalah serangan gas sarin di kereta bawah tanah Tokyo pada Maret 1995. Stasiun kereta bawah tanah utama yang melayani pusat-pusat politik dan kegiatan di Tokyo tersebut menjadi sasaran serangan sekte keagamaan, Aum Shinrikyō, yang memiliki misi untuk mengakhiri dunia. Peristiwa tersebut merenggut 14 nyawa, dan melukai lebih dari 1.000 orang. Pemimpin sekte tersebut, Asahara Shōkō, dan beberapa anggota intinya dieksekusi pada tahun 2018.

Selama periode 1970-an sampai 1980-an, terjadi rangkaian teror domestik yang dilakukan oleh beberapa kelompok revolusioner sayap kiri. Kelompok yang paling terkenal adalah Tentara Merah Jepang (Japanese Red Army/JRA), yang membajak pesawat, menyerang kedutaan-kedutaan dan sektor bisnis, sertawarga sipil.

Poster-poster buronan para individu yang terlibat JRA hingga kini masih terpampang di kereta-kereta Jepang. Baru-baru ini, Kepolisian Tokyo juga membuat video yang memperingatkan masyarakat bahwa para simpatisan JRA masih bebas berkeliaran.

Berdasarkan angka, kejahatan yang menggunakan senjata jarang terjadi di Jepang. Sehingga, terjadinya kekerasan politik merupakan hal yang mengejutkan dan ekstrem. Namun, seperti halnya di negara lain, seperti pembunuhan dua anggota parlemen Inggris, Jo Cox dan David Amess , kekerasan politik sangat tidak dapat diprediksi.

Sayangnya, penyerangan Shinzo Abe hanyalah satu kasus terbaru dalam daftar panjang sejarah serangan bermotif politik di Jepang.

Terlebih lagi, proses hukum penuntutan kasus kriminal di Jepang memberi ruang besar bagi para pelaku untuk menyatakan pandangan mereka. Ini tidak hanya terjadi di Jepang. Proses peradilan seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan politik dalam beberapa kasus yang baru-baru ini terjadi di Eropa dan AS, seperti kasus Breivik di Norwegia – contoh yang sangat mengerikan. Hal yang sama mungkin akan terjadi di Jepang pada waktunya.

Akan ada banyak tulisan tentang kejadian ini selama berjam-jam, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun ke depan. Tetapi, untuk saat ini doa dan simpati kita mengalir untuk keluarga Abe.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now