Menu Close

Pemenang Nobel Ekonomi 2019 dan solusi mereka bagi masalah kemiskinan di Indonesia

Ekonom Massachusetts Institute of Technology Esther Duflo (kiri) dan Abhijit Banerjee, dua dari tiga pemenang Nobel untuk Ekonomi tahun ini. Mereka berbagi penghargaan dengan ekonom dari Harvard, Michael Kremer. CJ Gunther/EPA

Pemenang penghargaan Nobel untuk Ekonomi baru saja diumumkan Senin kemarin.

Tahun ini, Nobel Ekonomi diberikan kepada Abhijit Banerjee, ekonom dari India, yang mengajar di Massachusetts Institute of Technology (MIT), dan rekannya Esther Duflo yang berasal dari Prancis, serta ekonom Amerika Serikat Michael Kremer yang mengajar di Harvard University, Amerika Serikat.

Ketiga ekonom yang berbeda kebangsaan ini memenangkan Nobel karena menggunakan metode randomised controlled trial (RCT) atau “Uji Acak Terkendali” untuk mengidentifikasi persoalan kemiskinan di negara berkembang.

Peneliti dalam metode RCT memilih responden secara acak, kemudian membagi responden ke dalam kelompok uji dan kelompok kontrol. Peneliti memberi perlakuan berbeda terhadap kelompok uji dan kelompok kontrol untuk mengidentifikasi efek sebab akibat. Metode ini bertujuan untuk memecah masalah besar ke dalam pertanyaan spesifik yang dapat diuji pada unit analisis terkecil individu dan kelompok. RCT juga mendorong eksperimen berkala terhadap apa yang ingin diteliti.

Kemenangan ketiga ekonom bisa dianggap sebagai sebuah pengakuan terhadap perkembangan pesat penggunaan metode eksperimen dalam pengentasan kemiskinan. Hal ini mungkin bermanfaat bagi banyak negara yang menghadapi masalah kemiskinan seperti Indonesia.

Metode RCT

Pada era di mana data begitu berlimpah, peneliti perlu jeli membaca data. RCT menyediakan kerangka kerja yang aplikatif, kekinian, dan bisa disesuaikan nantinya dengan skala ekonominya.

Aplikasi metode RCT yang dilakukan oleh Kremer pada penelitian tentang pendidikan di Kenya pada tahun 1990-an diakui oleh panitia Nobel memberi pendekatan segar bagi ilmu ekonomi pembangunan.

Sebelum Kremer, ekonom fokus pada sebuah pertanyaan besar tentang kebijakan di negara miskin yang sering kali susah dijawab dan tidak memberikan solusi. Sementara Kremer memecah pertanyaan tersebut sampai dia mempunyai usulan kebijakan yang konkret yang efektivitasnya kemudian dites lewat beberapa percobaan.

Sementara itu kompilasi riset suami-isteri Banerjee dan Duflo dengan menggunakan metode RCT bisa ditemukan dalam buku mereka Poor Economics yang terbit pada terbit tahun 2011.

Buku ini bercerita tentang pilihan-pilihan yang dibuat orang miskin untuk bertahan hidup dan menjelaskan mengapa pilihan tersebut masuk akal dan bagaimana pemerintah dapat mendesain kebijakan yang tepat untuk mengentaskan kemiskinan.

Salah satu bab dalam buku tersebut yang menarik adalah cerita tentang Sudarno, seorang pengumpul sampah dan keluarga besarnya di wilayah kumuh di Cicadas, Bandung.

Meski miskin, Sudarno punya sembilan anak karena tidak sanggup membeli kontrasepsi. Dia berharap dengan punya banyak anak, hari tuanya akan terjamin. Syukur-syukur dari sembilan anak, separuhnya berhasil di masa depan, begitu pikirnya.

Penelitian tersebut mengungkap pentingnya pemerintah untuk memastikan alat kontrasepsi terjangkau bagi masyarakat miskin. Banerjee dan Duflo juga memberi rekomendasi perbaikan jaminan kesehatan universal sambil mendidik bahwa punya banyak anak justru bukan jalan terbaik bagi jaminan hari tua.

Studi ketiganya secara terpisah maupun bersama-sama telah memotret secara mikro atas perubahan standar kehidupan.

Riset mereka berkesimpulan bahwa pembacaan terhadap persoalan kemiskinan harus disesuaikan dengan tingkat standar kehidupan masyarakat yang diteliti. Misalnya definisi miskin di Indonesia tidak sama dengan menjadi miskin di Singapura. Dan definisi tersebut perlu penyesuaian secara berkala.

Kesejahteraan ekonomi meningkat dobel antara tahun 1995 dan 2018 di negara termiskin. Pertumbuhan ekonomi ini juga bisa dilihat dari angka kematian bayi yang menurun tajam, kehadiran anak usia belajar di sekolah meningkat menjadi 56-80%.

Meskipun demikian, tantangan untuk kemiskinan global masih jauh dari selesai.

Lebih dari 700 juta orang masih hidup di ambang batas hampir miskin.

RCT membantu pelaksanaan evaluasi kebijakan dalam pengentasan kemiskinan menjadi lebih efektif.

Tanpa evaluasi yang akurat maka kesalahan program mengentaskan kemiskinan selalu berulang dari masa ke masa.

Aplikasi RCT untuk Indonesia

Aplikasi metode RCT bagi pengentasan kemiskinan di Indonesia sangat relevan. Kemiskinan merupakan fenomena yang kompleks di Indonesia. Kemiskinan hadir melalui kombinasi tingkat pendidikan rendah, kesehatan buruk, dan terbatasnya akses kepada pelayanan dasar.

Angka kemiskinan Indonesia menyentuh satu digit pada tahun 2018 untuk pertama kalinya.

Persentase penduduk miskin pada Maret 2019 sebesar 9,41%, atau turun 0,41% di banding tahun sebelumnya, sehingga jumlah penduduk miskin pada periode tersebut berjumlah sebesar 25,14 juta orang.

Pencapaian ini seharusnya tidak membuat pemerintah terlena dan kita menjadi puas diri. Justru tantangan ke depan ialah menjaga angka kemiskinan tidak kembali dua digit.

Sifat kemiskinan di Indonesia yang bersifat multidimensional membutuhkan pendekatan baru seperti RCT dalam mencari solusi nyata mengatasi kemiskinan.

Aplikasi RCT di Indonesia pernah dilakukan oleh ekonom Bank Dunia Joppe De Ree lewat penelitiannya tentang efek sertifikasi guru yang memberikan insentif tambahan pada gaji guru.

De Ree dan koleganya menggunakan eksperimen acak dengan sampel yang mewakili populasi sekolah di Indonesia.

Sampel yang representatif diacak untuk mewakili jenis wilayah (kota atau desa), sebaran guru, serta tingkat indeks pembangunan manusia.

Kemudian, peneliti membedakan antara guru yang mendapat sertifikasi dengan guru yang tidak tersertifikasi, lalu antara sekolah dengan mayoritas guru tersertifikasi dengan sekolah yang gurunya tidak tersertifikasi. Peneliti mengambil data yang sama pada lokasi yang sama secara teratur setiap tahun.

Hasil penelitiannya menunjukkan efek sertifikasi guru memperbaiki kepuasan kerja guru, mengurangi kemungkinan guru ambil pekerjaan sampingan yang tidak relevan, dan menurunkan masalah keuangan keluarga.

Kerja untuk Indonesia

Salah satu pemenang Nobel Ekonomi tahun ini, Duflo, yang tercatat sebagai ekonom perempuan kedua peraih Nobel Ekonomi dengan usianya yang tergolong termuda yaitu 46 tahun, memiliki riset yang sangat dekat dengan Indonesia.

Untuk disertasinya di MIT, Duflo meneliti tentang dampak pendidikan bagi upah melalui program Sekolah Instruksi Presiden (Inpres) tahun 1973-1978. Ia menyimpulkan bahwa intervensi pemerintah lewat pembangunan Sekolah Inpres berdampak penting bagi peningkatan pendidikan dan upah.

Dia menghitung estimasi nilai keuntungan yang didapat individu ketika mengeluarkan biaya untuk pendidikan sekolah mencapai angka antara 6,4% sampai 9,1%.

Bersama dengan Banerjee, Duflo juga mendirikan Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) pada tahun 2003 yang fokus pada penelitian untuk pengentasan kemiskinan dan menjadikan pengentasan kemiskinan global sebagai gerakan bersama aksi kolektif. Organisasi J-PAL merupakan jaringan global yang salah satu cabangnya berada di Indonesia.

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,500 academics and researchers from 4,943 institutions.

Register now