Menu Close
Peraturan baru mengenai ABK perikanan migran diharapkan dapat menjawab sejumlah tantangan dalam melindungi pelaut Indonesia di kapal asing. Bedis ElAcheche/Pexels, CC BY

Pemerintah punya aturan baru untuk melindungi nelayan migran asal Indonesia – tapi masih ada tiga kelemahan hukum

Awal bulan lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan sistem satu pintu untuk meregulasi dan mengontrak anak buah kapal (ABK) perikanan migran. Aturan ini telah lama ditunggu-tunggu pegiat hak pekerja.

Peraturan pemerintah ini bertujuan untuk membuat proses perekrutan menjadi lebih teratur sekaligus meningkatkan kesejahteraan ABK perikanan migran asal Indonesia yang bekerja di kapal berbendara asing, termasuk dari Taiwan.

Perhitungan konservatif dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) menunjukkan sekitar 23.000 ABK perikanan migran direkrut tiap tahunnya. Namun, angka ini bisa jadi lebih tinggi karena belum memasukkan data dari seluruh instansi pemerintah yang mengelola jalannya proses perekrutan.

Temuan dari penelitian yang saya lakukan sebelumnya bersama ILO menunjukkan bahwa kebanyakan pekerja ini berasal dari area pedesaan di pesisir utara Jawa Tengah. Upah Minimum Provinsi (UMP) di kawasan tersebut hanya berada di kisaran Rp 1.8 juta per bulannya – jauh jika dibandingkan dengan upah antara US$300 hingga US$400 (Rp 4.47 juta hingga Rp 5,96 juta) yang dijanjikan kepada pekerja migran.

Namun, realitanya, ABK perikanan migran kerap hanya menerima US$50 (sekitar Rp 750 ribu) per bulan selama lima bulan pertama masa kerja mereka. Sisanya ditahan sebagai ongkos perekrutan dan untuk memastikan para pekerja ini menyelesaikan dua tahun kontrak mereka.

Dalam beberapa kasus, para agen tidak mengembalikan upah yang ditahan. Akibatnya, pekerja memutuskan bertahan walaupun harus menghadapi perundungan fisik dan kondisi kerja yang buruk.

Pemerintah berharap peraturan yang baru terbit dapat mengatasi persoalan tersebut. Sayangnya, regulasi ini masih memiliki sejumlah permasalahan legal yang dapat menghalangi upaya melindungi ABK perikanan migran.

Kemenaker “memenangkan” wewenang perizinan

Saat ini, tidak ada satu orang pun di lingkungan pemerintahan yang mengetahui berapa banyak ABK perikanan migran yang direkrut untuk bekerja di luar negeri. Hal ini menyulitkan usaha pemerintah untuk mengawasi potensi praktik penyiksaan dan eksploitasi.

Simpang siur data ini merupakan dampak dari perebutan kontrol perizinan antara berbagai lembaga pemerintah – seperti Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Kementerian Perhubungan (Kemenhub), hingga dinas perdagangan di daerah – yang masing-masing ingin menerapkan sistemnya sendiri.

Walaupun kendali atas proses perizinan ini memang akan mendatangkan pemasukan tambahan, alasan utama perebutan kewenangan ini adalah karena badan terkait akan memiliki pengaruh yang besar dalam industri perekrutan. Kewenangan ini, misalnya, memberikan celah bagi mereka untuk mengantungi dana ilegal sebagai imbalan meloloskan perekrut dari jerat aturan.

Pada akhirnya, peraturan baru ini secara tegas memberi kontrol kepada satu lembaga pemerintah, yakni Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).

Dengan terbitnya peraturan, Kemenaker memegang kewenangan untuk memberikan perizinan pada perusahaan rekrutmen, atau kerap dikenal dengan sebutan “agen pengawakan kapal”.

Kementerian tersebut juga memiliki wewenang perizinan yang sama untuk perusahaan yang menyalurkan pekerja migran untuk rumah tangga, perkebunan, dan pabrik di kawasan Asia Pasifik dan Teluk Persia, berdasarkan mandat dari Undang-Undang (UU) No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

PR bagi pembuat kebijakan

Lembaga swadaya masyarakat seperti Serikat Buruh Migran Indonesia dan MigrantCare telah lama menyerukan perlunya regulasi yang mengatur persoalan ABK perikanan migran ini.

Pemerintah kini telah menerbitkan regulasi tersebut.

Namun, aturan ini memunculkan pekerjaan rumah bagi pembuat kebijakan, advokat, dan pengacara yang nantinya terlibat dalam penerapan dan pengawasan sistem baru tersebut.

Kami mengidentifikasi tiga isu legal yang harus segera diselesaikan.

1. Tumpang tindih terminologi: awak kapal perikanan atau pelaut perikanan?

Peraturan pemerintah tersebut menggunakan istilah legal baru, “awak kapal perikanan migran”, untuk menyebut ABK perikanan migran.

Penamaan ini menyerupai istilah legal “awak kapal perikanan” yang tertuang dalam aturan turunan dari Undang-Undang (UU) No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Namun, perlu digarisbawahi bahwa peraturan mengenai ABK perikanan migran yang baru terbit merupakan peraturan pelaksana dari UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran, yang merujuk para ABK ini sebagai “pelaut perikanan”.

Hal ini membuka peluang bagi agen pengawakan kapal dan pemerintah untuk mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap ABK perikanan migran yang telah direkrut. Mereka bisa berdalih bahwa perubahan dalam praktik rekrutmen tidak berlaku akibat istilah yang berbeda, terutama saat ongkos bisnis berpotensi membengkak.

Selain itu, hal ini juga memberi sinyal bahwa pemerintah ingin mengintegrasikan cakupan kebijakan terkait “perlindungan migran” di luar negeri dan “perlindungan kerja” di dalam negeri, yang biasanya diurus secara terpisah.

Selama ini, kasus penyiksaan dan eksploitasi pekerja migran Indonesia di luar negeri banyak menarik perhatian masyarakat. Sementara, kondisi kerja yang tak layak bagi pekerja rumah tangga, pekerja konstruksi, dan pelaut perikanan di dalam negeri cenderung dimaklumi.

Integrasi ini dapat berarti bahwa pemerintah harus menerapkan standar bantuan yang sama untuk orang Indonesia yang bekerja di dalam maupun luar negeri.

Tetapi, perlu amendemen legislatif untuk menyamakan istilah hukum antara peraturan yang ada. Ini penting untuk benar-benar mewujudkan kesetaraan tersebut – bukan malah menurunkan standar perlindungan bagi pekerja di luar negeri.

2. Potensi sistem perizinan lain bagi ABK perikanan migran

Peraturan pemerintah tersebut tidak secara tegas menyatakan bahwa sistem perizinan yang baru akan menjadi satu-satunya sistem yang berlaku ke depannya.

Regulasi tersebut menyatakan bahwa Kemenaker hanya akan mengakui izin yang sebelumnya dikeluarkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) maksimal selama dua tahun ke depan. Selama periode tersebut, pemegang izin harus menyesuaikan diri dengan persyaratan-persyaratan baru, termasuk menyetor dana sebesar Rp 1.5 miliar demi menutup biaya bagi tanggung jawab keuangan yang belum mereka bayarkan untuk rekrutan mereka.

Peraturan yang baru terbit menyudahi berlakunya regulasi tahun 2013 yang dijadikan landasan oleh Kemenhub untuk mengeluarkan perizinan terkait. Akan tetapi, Kemenhub telah menyatakan bahwa regulasi tersebut tidak lagi berlaku per 7 Juli 2021 dan telah menggantinya dengan peraturan baru.

Oleh sebab itu, para pemegang izin dapat berargumen bahwa mereka tidak diwajibkan secara hukum untuk mematuhi peraturan baru dari Kemenaker.

3. Perlunya hakim khusus untuk menyelesaikan sengketa

Peraturan baru ini mencakup contoh inovasi kebijakan yang, seiring waktu, dapat meningkatkan kepatuhan.

Peraturan tersebut mewajibkan Pengadilan Hubungan Industrial untuk mengadili sengketa antara agen pengawakan kapal dan ABK perikanan migran mengenai hak dan kewajiban dalam perjanian penempatan.

Kontrak ini kerap dilanggar ketika perusahaan merekrut pekerja migran untuk rumah tangga dan pabrik. Walaupun beberapa pelanggaran dilaporkan ke pemerintah, hanya sedikit tuntutan hukum yang akhirnya lanjut ke pengadilan negeri untuk diproses secara perdata melalui hukum kontrak.

Inovasi kebijakan yang muncul dalam aturan baru ini bertujuan untuk menindak pelanggaran sebagai kasus perdata khusus dan mengharuskan pengadilan yang menangani perselisihan hubungan industrial untuk menangani kasus-kasus tersebut. Agar efektif, pemerintah perlu melatih hakim ahli khusus untuk menyelesaikan sengketa terkait pekerja migran.

Peran yang lebih besar untuk sistem legal

Penyelesaian perkara melalui sistem pengadilan Indonesia, walaupun terkenal lamban, harapannya dapat memberikan jawaban atas masalah ini.

Para lembaga swadaya masyarakat yang terkemuka memang masih terbelah mengenai seberapa efektifnya sistem pengadilan dalam hal perekrutan.

Namun, Serikat Buruh Migran Indonesia telah memanfaatkan sistem peradilan dengan berbagai macam cara untuk mengadvokasi kasus-kasus tertentu. Mereka juga memberikan tekanan pada pemerintah untuk membuat aturan yang “lebih baik” yang berpihak pada pekerja migran ketimbang agen pengawakan kapal – seperti aturan yang baru dikeluarkan ini.

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 182,400 academics and researchers from 4,942 institutions.

Register now