Menu Close
Seorang pegawai kecamatan membawa kotak surat suara sehari sebelum disebarkan ke seluruh tempat pemungutan suara (TPS) di Bogor, Jawa Barat. Indonesia akan menyelenggarakan pemilu presiden dan legislatif yang berlangsung esok hari. EPA/ADI WEDA

Pemilu legislatif dan pilpres: Apa yang penting dan apa yang dipertaruhkan?

Besok, Indonesia, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, akan menggelar pemilihan umum (pemilu) kelima sejak jatuhnya rezim otoriter Soeharto pada 1998.

India mungkin menyelenggarakan pemilu terbesar dan termahal di dunia tapi tidak serumit di Indonesia.

Sebagai negara yang memiliki populasi keempat terbesar di dunia dan penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya banyak hal yang dipertaruhkan dalam pemilu ini. Hasil pemilu besok akan menentukan stabilitas Indonesia sebagai negara yang demokratis dari sudut pandang ekonomi dan keamanan.

Inilah yang perlu kita ketahui tentang pemilu kali ini dan apa yang dipertaruhkan.

Lima pencoblosan sekaligus

Untuk pertama kalinya, Indonesia akan mengadakan pemilihan presiden (pilpres) dan legislatif secara bersamaan. Pemerintah mengklaim bahwa sistem simultan ini akan menghemat biaya.

Jadi, begitu memasuki bilik suara, seorang pemilih harus berurusan dengan lima surat suara sekaligus, menjadikannya pemilu paling kompleks di dunia.

Tentang angka-angka

Jumlah pemilih terdaftar mencapai 192,8 juta orang dengan hampir 50% berusia di bawah 40 tahun.

Pada Rabu pagi, para pemilih yang berhak akan pergi ke 810.329 bilik suara di seluruh negeri untuk memilih presiden dan wakil presiden dan hampir 20.500 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten, serta 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Setidaknya 300.000 calon maju untuk kursi legislatif.

Untuk kursi presiden, seorang pemilih harus memilih antara Jokowi “Jokowi” Widodo dan saingannya, Prabowo Subianto.

Ada beberapa kekhawatiran terkait pemilu besok.

Para pakar mempertanyakan kualitas demokrasi Indonesia, di tengah-tengah penindasan yang meningkat, meningkatnya konservatisme yang ditambah dengan maraknya Islamisme dan tren anti-feminisme

Beberapa pihak juga khawatir pengaruh militer juga semakin meningkat. Beberapa mungkin berpikir Indonesia mungkin berada di ambang perang saudara.

Tidak mengherankan, banyak orang yang percaya bahwa banyak yang dipertaruhkan dalam pemilu besok. Pada dasarnya, ini adalah pertempuran antara pihak yang mewakili Indonesia moderat, inklusif versus populis nasionalis yang merangkul kelompok Islam garis keras dengan agenda non-liberal mereka.

Pertarungan lama Jokowi dan Prabowo

Pemilihan presiden 2019 merupakan pertandingan ulang antara Jokowi, seorang warga sipil dan mantan penjual furnitur yang menjadi politikus, dan Prabowo, mantan jenderal dan mantan menantu mantan diktator Soeharto. Dalam pemilu presiden 2014 Jokowi memenangkan pemilu dengan selisih kecil.

Untuk dapat dipilih kedua kalinya, Jokowi menonjolkan pencapaian ekonomi di bawah pemerintahannya. Salah satunya adalah pencapaian Jokowi dalam pembangunan infrastruktur, sesuatu diabaikan oleh para pendahulunya.

Strategi lain Jokowi adalah membangun sekutu dengan Nadlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di Indonesia dengan memilih Ma'ruf Amin, seorang tokoh senior di NU, sebagai pasangannya. Dengan menerapkan strategi ini, Jokowi membuang pendekatan yang digunakan pada 2014 ketika dia memperjuangkan nilai-nilai pluralisme.

Dengan memilih Ma'ruf, Jokowi berharap untuk tidak diserang dengan dalih agama seperti rekannya, Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama. Ahok adalah mantan wakil Jokowi ketika ia menjadi gubernur Jakarta.

Ahok, yang beretnis Cina dan beragama Kristen, adalah korban dari kampanye hitam yang dijalankan oleh kaum konservatif untuk mencegahnya memenangkan pemilihan gubernur Jakarta 2017. Ahok tidak hanya gagal memenangkan pemilihan, tetapi ia juga kemudian dinyatakan bersalah atas tuduhan penistaan agama. Baru-baru ini, dia dibebaskan dari penjara.

Di sisi lain adalah Prabowo. Dia berpasangan dengan Sandiaga Uno, salah satu orang terkaya di Indonesia.

Pendukung Prabowo adalah mereka yang merindukan stabilitas di bawah pemerintahan Soeharto yang otoriter. Dibandingkan dengan Jokowi, Prabowo dipandang sebagai pemimpin yang lebih kuat karena pengalamannya di militer.

Pendukung Prabowo termasuk kaum konservatif yang bergabung dengannya karena mereka membenci Jokowi.

Selain menyerang kebijakan ekonomi Jokowi, strategi lain dari para pendukung Prabowo adalah menciptakan citra bahwa Jokowi anti dengan segala yang berhubungan dengan umat Islam.

Sebagai balasannya, para pendukung Jokowi menyerang balik Prabowo dengan mengatakan bahwa ia bukan seorang Muslim yang baik. Mereka mempertanyakan kesalehan Prabowo dengan menanyakan di mana dia melakukan salat Jum'at yang merupakan kewajiban bagi setiap laki-laki Muslim. Mereka juga menuduh Prabowo mendukung pembentukan negara Islam. Prabowo menyangkal keras tuduhan itu selama debat presiden kemarin.

Memprediksi hasilnya, siapa pun yang menang

Pada dasarnya, jika Jokowi menang ini akan membuktikan bahwa kebijakan ekonominya disukai pemilih dan memberi isyarat kepada oposisi - atau lebih tepatnya, kandidat untuk pemilihan presiden 2024, bahwa merangkul pihak garis keras bukan strategi jitu untuk meraih suara mayoritas pemilih.

Tentu saja, ini tidak berarti bahwa para kandidat dapat mengabaikan peran Islam dalam politik - seperti yang dialami Ahok pada pemilihan gubernur Jakarta 2017. Tapi tentu saja, lebih menguntungkan untuk mengambil sikap yang lebih moderat untuk mendapatkan dukungan.

Jika Prabowo menang, ini akan menunjukkan bahwa politik identitas tetap kuat dan berada di sisi ekstrimis memang membuahkan hasil. Memang, ini tidak berarti bahwa Prabowo menyetujui taktik semacam itu. Namun, fakta bahwa mereka sering menggunakan serangan berbasis agama di sebagian besar kampanyenya, menyiratkan bahwa sayangnya, kemenangannya, dapat dipandang sebagai kemenangan politik identitas yang nantinya dapat digunakan lagi di pilpres mendatang.

Jamiah Solehati menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris

This article was originally published in English

Want to write?

Write an article and join a growing community of more than 181,000 academics and researchers from 4,921 institutions.

Register now